Sabtu, 01 Agustus 2015

Tolikara Menguji Kita

Tolikara Menguji Kita

Ilham Khoiri  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 29 Juli 2015

                                                                                                                                     
                                                

Hingga kini, insiden kekerasan dan intoleransi di Tolikara, Papua, saat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli, masih terasa mengagetkan. Pada setiap kasus semacam ini, kita diuji: sejauh mana kita sungguh-sungguh mengatasi gesekan berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan itu, lantas mengacu kembali kepada kesepakatan bersama sebagai bangsa Indonesia.

Kita semua tentu prihatin dengan kasus Tolikara, dan masih menyimpan rasa penasaran. Bagaimana kekerasan itu bisa meletup saat kaum Muslim sedang menjalankan shalat Idul Fitri setelah sebulan penuh berpuasa selama Ramadhan? Kenapa massa tiba-tiba menyerang kaum Muslim yang sedang beribadah, bahkan kemudian membakar kios yang lantas merembet ke masjid setempat? Bukankah selama ini masyarakat di wilayah itu hidup secara damai.

Penjelasan secara gamblang masih membutuhkan investigasi mendalam oleh lembaga-lembaga yang berwenang, terutama kepolisian dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Namun, ada beberapa keterangan awal yang bisa dijadikan informasi sementara.

Kepolisian Negara RI, sebagaimana disampaikan Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, di Jakarta, Kamis (23/7), mengungkapkan, peristiwa bermula dari surat edaran yang dikeluarkan Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara, Papua. Surat itu melarang umat Islam di daerah itu untuk melaksanakan shalat Idul Fitri. Alasannya, bahwa saat bersamaan tengah digelar seminar internasional dan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) remaja GIDI, 13 sampai 19 Juli.

Sebenarnya Kepala Polres Tolikara dan Bupati Tolikara Usman Wanimbo telah mendesak agar surat itu dicabut. Namun, saat jemaah Muslim sedang shalat Idul Fitri, Jumat pagi, massa berdatangan dan meminta jemaah untuk menghentikan kegiatannya. Kepala polres dan polisi berusaha menahan massa, tetapi kondisi memanas. Polisi menembakkan peluru ke atas untuk memperingatkan massa. Namun, massa sulit dikendalikan.

Jemaah Muslim bubar. Ada 12 korban terkena tembakan, dan satu orang meninggal. Beberapa orang lantas membakar kios yang kemudian merembet ke masjid. Hingga kini, kepolisian tengah bekerja untuk mengusut kasus ini.

Usut secara adil

Kita semua berharap, kepolisian bekerja profesional. Buka kasus Tolikara sesuai fakta yang ada. Jangan ditutup-tutupi, apalagi dikaburkan. Siapa pun yang bersalah, harus ditindak tegas, adil, dan cermat.

Komnas HAM juga diharapkan segera menuntaskan investigasinya dan memaparkan hasilnya kepada publik. Hal ini diperlukan agar masyarakat mengetahui duduk perkara secara jelas, tidak diombang-ambing oleh isu, apalagi jika isu itu sengaja disebarkan secara tidak benar.

Sembari menunggu proses penyidikan kepolisian dan investigasi Komnas HAM, kita perlu mendorong agar semua pemangku kepentingan di Tolikara meneruskan dialog, meresolusi konflik, dan rekonsiliasi. Langkah itu telah dijalani tak lama setelah insiden meletup. Kita patut apresiasi hal tersebut.

Bagaimana dengan publik di luar Tolikara? Kita semua, bangsa Indonesia, ikut mendorong pengusutan hukum dan proses perdamaian. Setiap elemen bangsa perlu menekankan kesadaran, bahwa bangsa Indonesia terdiri dari masyarakat yang majemuk dalam suku, agama, ras, budaya, dan golongan. Ini fitrah atau anugerah yang harus kita terima. Berdasarkan keberagaman itu, kita perlu membangun kehidupan yang saling menghargai di tengah perbedaan.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, adalah filosofi, dasar, dan konsitusi yang hendaknya terus kita acu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsitusi kita menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan, serta beribadah sesuai agama dan keyakinannya itu. Negara beserta semua aparatnya dituntut untuk hadir dan menegakkan konstitusi itu. Jangan biarkan ada kelompok-kelompok, dari manapun asal kelompok itu, yang hanya ingin hidup sendiri seraya menafikan kelompok lain yang berbeda.

Sekali lagi, kita semua menginginkan agar kasus Tolikara dapat ditangani secara lokal sesuai fakta di lapangan. Jangan diperluas, apalagi dibiarkan menjadi isu liar yang memicu sentimen konflik agama di wilayah-wilayah lain di Nusantara.

Ingat, bangsa Indonesia ini lahir dari keberagaman, dan tetap akan hidup, jika kita mampu menjaga toleransi di tengah keberagaman itu. Kasus Tolikara, dan kasus-kasus lain serupa, adalah ujian bagi kita, sejauh mana kita mampu menjaga kesepakatan untuk hidup bersama sebagai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar