Kamis, 20 Agustus 2015

Pungguk Merindukan Bulan

Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan untuk Transformasi Sosial”

Pungguk Merindukan Bulan

KOMPAS, 18 Agustus 2015


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Persoalan pendidikan nasional tak kunjung berhenti dibahas. Hari Pendidikan Nasional terus diperingati, sementara disadari atau tidak, spirit pendidikan nasional sudah lama mati. Raganya memang masih ada, tetapi roh atau jiwanya sudah tiada.

Kita mengakui spirit pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara sebagai spirit pendidikan nasional dan, karena itu, kita jadikan hari lahir Ki Hajar sebagai Hari Pendidikan Nasional. Namun, sistem pendidikan nasional yang kita praktikkan selama ini justru kian mengingkari hakikat pendidikan Ki Hajar.

Pendidikan nasional yang dirintis Ki Hajar Dewantara disandarkan pada semangat pemerdekaan kehidupan manusia dan penciptaan jiwa-jiwa merdeka, cakap, dan berguna bagi masyarakat. Spirit pendidikan ini terbukti mampu membangkitkan para pejuang bangsa dan membawa Indonesia pada kemerdekaan. Sementara sistem pendidikan nasional yang berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa.

Hakikat pendidikan

Ki Hajar Dewantara menempatkan kemerdekaan sebagai syarat sekaligus tujuan pendidikan: melahirkan individu-individu yang merdeka lahir dan batin. Merdeka lahiriah berarti bebas dari kemiskinan dan kebodohan. Merdeka batiniah berarti otonom dalam berpikir dan mengambil keputusan, bermartabat, dan bermentalitas demokratik. Manusia merdeka yang dimaksudkan Ki Hajar bukanlah manusia individualis dan hedonistis, melainkan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan bangsanya.

Metode pendidikan yang ia tawarkan adalah sistem among, metode pengajaran dan pendidikan yang didasarkan pada asih, asah, dan asuh. Dengan metode ini, setiap individu tidak hanya dididik kepalanya, tetapi juga hati dan tangannya. Sistem among tak mengenal paksaan atau kekerasan karena paksaan dan kekerasan hanya akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem among ini tecermin dalam tiga semboyan kepemimpinan Ki Hajar: di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan.

Dalam sistem among, guru adalah pelaksana among (pamong) yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Peran utama guru menjadi model keteladanan dan fasilitator kelas. Guru yang baik tidak hanya tahu cara mengajar, tetapi juga memahami karakter peserta didik dan mengerti tujuan pengajaran. Dengan demikian, hasil didikannya mumpuni secara intelektual, budi pekerti, dan semangat membangun bangsa. Untuk mencapai tujuannya, pendidikan tidak bisa tidak harus dimulai dari persepsi pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Lalu bagaimana dengan praktik pendidikan sekarang?

Dalam diskusi ini mengemuka setidaknya empat persoalan krusial yang menjauhkan sistem pendidikan nasional dari hakikat pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Pertama, pendidikan Indonesia memiliki persoalan serius terkait rendahnya mutu pendidikan, termasuk mutu guru dan siswanya. Rendahnya mutu pendidikan ini terungkap dari berbagai hasil survei yang dilakukan lembaga internasional, seperti Political and Economic Risk Consultant (PERC), UNESCO, ASPBAE, Bank Dunia, Pearson, juga hasil tes TIMS dan Program for International Student Assessment (PISA).

Survei yang dilakukan PERC menyimpulkan, pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara Asia. Studi yang dilakukan ASPBAE dan Global Campaign for Education pada 2005 di 14 negara menunjukkan, Indonesia mendapat nilai 42 dari 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam aspek penyediaan pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan menduduki peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai F dan menduduki peringkat ke-11. Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia mendapat nilai F dan menduduki peringkat terbawah.

Laporan pemantauan global tentang kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO pada 2005 menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara menunjukkan hasil serupa. Pada 2013, sistem pendidikan Indonesia terendah di dunia bersama Brasil dan Meksiko. Pada 2014, kualitas pendidikan Indonesia merosot dan Indonesia berada di urutan ke-40 dari 40 negara.

Rendahnya mutu pendidikan kita tecermin dari rendahnya kemampuan siswa dalam matematika, sains, dan membaca. Ini terungkap dari hasil tes PISA terhadap siswa berumur 15 tahun pada 2003, 2006, dan 2009. Hasil tes itu, siswa Indonesia berkemampuan rendah mengimplementasikan pengetahuannya dalam menyelesaikan masalah di dunia nyata. Hasil tes TIMSS terhadap kemampuan siswa dalam matematika menunjukkan posisi Indonesia di urutan ke-38 dari 42 negara. Dalam sains, siswa Indonesia di urutan ke-40 dari 42 negara. Bahkan, kecakapan siswa Indonesia dalam matematika dan sains berada di bawah Palestina yang dilanda konflik berkepanjangan.

Bagaimana mungkin mutu siswa tinggi kalau kualitas guru rendah? Penelitian Bank Dunia 2012 di 12 negara Asia menunjukkan bahwa kualitas guru Indonesia berada di urutan ke-12. Hasil uji kompetensi guru oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012 menunjukkan bahwa para guru hanya mencapai nilai rata-rata 4,30, jauh di bawah nilai minimal yang ditargetkan 7,00. Sulit berharap guru bisa menjalankan peran sebagai pamong jika kapasitas guru tak ditingkatkan. Survei Federasi Serikat Guru Indonesia 2012 di 29 kabupaten/kota menunjukkan bahwa 62 persen guru SD tidak pernah mengikuti pelatihan. Kalaupun ada pelatihan, pelatihan itu dilaksanakan dalam kerangka proyek.

Kedua, pendidikan Indonesia menghadapi situasi darurat kekerasan terhadap anak. Kajian yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women mendapati 84 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kekerasan di banyak sekolah dan banyak wilayah di Indonesia dinilai sudah mengkhawatirkan karena kekerasan tak dianggap sebagai persoalan.

Di kalangan siswa, misalnya, muncul anggapan bahwa kekerasan yang mereka alami atau lakukan merupakan hal biasa. Hasil kajian yang dilakukan Plan International menyebutkan, para guru dan orangtua mengakui bahwa anak-anak cenderung tak akan mengadukan kekerasan di sekolah karena ada kekhawatiran akan menjadi pihak yang disalahkan. Ini bisa dipahami mengingat pelaku kekerasan adalah guru atau anggota staf non-guru dan sesama pelajar di sekolah. Pada akhirnya, siswa dibuat tunduk karena mempersoalkan kekerasan di sekolah berarti siap menghadapi tekanan dan ancaman.

Ketiga, pendidikan kebangsaan kian luntur dalam praktik pendidikan nasional. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah 2012 menemukan bahwa pemahaman radikal sudah masuk ke ruang pendidikan formal. Bahkan, 48,9 persen siswa dan 28,2 persen guru di 100 SMP dan SMA di Jakarta menyetujui kekerasan atas nama agama. Ini juga sesuai dengan temuan ICRP dalam pelatihan untuk para guru agama di Indonesia pada tahun 2013 yang mengungkapkan bahwa di kalangan para siswa mulai berkembang paham radikal.

Keempat, rendahnya mutu pendidikan di Indonesia tak terlepas dari problem korupsi. Berbagai kasus penyalahgunaan dana BOS dan BOP oleh kepala sekolah sudah masuk ke ranah hukum dan berakhir dengan pidana. Namun, kasus korupsi di dunia pendidikan tak juga berhenti. Maraknya korupsi tak terlepas dari sistem birokrasi yang tidak akuntabel dan transparan yang menciptakan dan memelihara sistem setoran dan upeti dari sekolah ke pihak dinas. Terlebih jika pemilihan kepala sekolah ditentukan oleh pejabat pendidikan setempat tanpa transparansi. Kondisi ini diperburuk rendahnya pemahaman para kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana pendidikan.

Meski pendidikan Indonesia bermutu rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan, guru, dan siswa tak mendapat perhatian. Padahal, hasil survei yang kaya informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai basis evaluasi kebijakan. Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistem pendidikan nasional tak ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk merindukan bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar