Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan
untuk Transformasi Sosial”
Pungguk
Merindukan Bulan
KOMPAS, 18 Agustus 2015 |
Persoalan pendidikan nasional tak
kunjung berhenti dibahas. Hari Pendidikan Nasional terus diperingati,
sementara disadari atau tidak, spirit pendidikan nasional sudah lama mati.
Raganya memang masih ada, tetapi roh atau jiwanya sudah tiada.
Kita mengakui spirit pendidikan
yang diajarkan Ki Hajar Dewantara sebagai spirit pendidikan nasional dan,
karena itu, kita jadikan hari lahir Ki Hajar sebagai Hari Pendidikan
Nasional. Namun, sistem pendidikan nasional yang kita praktikkan selama ini
justru kian mengingkari hakikat pendidikan Ki Hajar.
Pendidikan nasional yang dirintis
Ki Hajar Dewantara disandarkan pada semangat pemerdekaan kehidupan manusia
dan penciptaan jiwa-jiwa merdeka, cakap, dan berguna bagi masyarakat. Spirit
pendidikan ini terbukti mampu membangkitkan para pejuang bangsa dan membawa
Indonesia pada kemerdekaan. Sementara sistem pendidikan nasional yang
berlangsung selama ini justru menciptakan jiwa tunduk pada kuasa.
Hakikat
pendidikan
Ki Hajar Dewantara menempatkan
kemerdekaan sebagai syarat sekaligus tujuan pendidikan: melahirkan
individu-individu yang merdeka lahir dan batin. Merdeka lahiriah berarti
bebas dari kemiskinan dan kebodohan. Merdeka batiniah berarti otonom dalam
berpikir dan mengambil keputusan, bermartabat, dan bermentalitas demokratik.
Manusia merdeka yang dimaksudkan Ki Hajar bukanlah manusia individualis dan
hedonistis, melainkan manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai hidup
bersama dan bertanggung jawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan
bangsanya.
Metode pendidikan yang ia tawarkan
adalah sistem among, metode pengajaran dan pendidikan yang didasarkan pada
asih, asah, dan asuh. Dengan metode ini, setiap individu tidak hanya dididik
kepalanya, tetapi juga hati dan tangannya. Sistem among tak mengenal paksaan
atau kekerasan karena paksaan dan kekerasan hanya akan menghilangkan jiwa
merdeka anak. Sistem among ini tecermin dalam tiga semboyan kepemimpinan Ki
Hajar: di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang
memberi dorongan.
Dalam sistem among, guru adalah pelaksana among
(pamong) yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Peran
utama guru menjadi model keteladanan dan fasilitator kelas. Guru yang baik
tidak hanya tahu cara mengajar, tetapi juga memahami karakter peserta didik
dan mengerti tujuan pengajaran. Dengan demikian, hasil didikannya mumpuni
secara intelektual, budi pekerti, dan semangat membangun bangsa. Untuk
mencapai tujuannya, pendidikan tidak bisa tidak harus dimulai dari persepsi
pemangku pendidikan tentang mendidik itu sendiri. Lalu bagaimana dengan
praktik pendidikan sekarang?
Dalam diskusi ini mengemuka
setidaknya empat persoalan krusial yang menjauhkan sistem pendidikan nasional
dari hakikat pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara. Pertama,
pendidikan Indonesia memiliki persoalan serius terkait rendahnya mutu
pendidikan, termasuk mutu guru dan siswanya. Rendahnya mutu pendidikan ini
terungkap dari berbagai hasil survei yang dilakukan lembaga internasional,
seperti Political and Economic Risk
Consultant (PERC), UNESCO, ASPBAE, Bank Dunia, Pearson, juga hasil tes
TIMS dan Program for International
Student Assessment (PISA).
Survei yang dilakukan PERC
menyimpulkan, pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara
Asia. Studi yang dilakukan ASPBAE dan Global
Campaign for Education pada 2005 di 14 negara menunjukkan, Indonesia
mendapat nilai 42 dari 100 dengan nilai rata-rata E. Dalam aspek penyediaan
pendidikan dasar lengkap, Indonesia memperoleh nilai rata-rata C dan
menduduki peringkat ke-7. Dalam aspek aksi negara, Indonesia memperoleh nilai
F dan menduduki peringkat ke-11. Untuk aspek kualitas pengajar, Indonesia
mendapat nilai F dan menduduki peringkat terbawah.
Laporan pemantauan global tentang
kualitas pendidikan dasar yang dikeluarkan UNESCO pada 2005 menunjukkan bahwa
Indonesia menduduki peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang di kawasan Asia
Pasifik. Survei yang dilakukan firma pendidikan Pearson di 40 negara
menunjukkan hasil serupa. Pada 2013, sistem pendidikan Indonesia terendah di
dunia bersama Brasil dan Meksiko. Pada 2014, kualitas pendidikan Indonesia
merosot dan Indonesia berada di urutan ke-40 dari 40 negara.
Rendahnya mutu pendidikan kita
tecermin dari rendahnya kemampuan siswa dalam matematika, sains, dan membaca.
Ini terungkap dari hasil tes PISA terhadap siswa berumur 15 tahun pada 2003,
2006, dan 2009. Hasil tes itu, siswa Indonesia berkemampuan rendah
mengimplementasikan pengetahuannya dalam menyelesaikan masalah di dunia
nyata. Hasil tes TIMSS terhadap kemampuan siswa dalam matematika menunjukkan
posisi Indonesia di urutan ke-38 dari 42 negara. Dalam sains, siswa Indonesia
di urutan ke-40 dari 42 negara. Bahkan, kecakapan siswa Indonesia dalam
matematika dan sains berada di bawah Palestina yang dilanda konflik
berkepanjangan.
Bagaimana mungkin mutu siswa
tinggi kalau kualitas guru rendah? Penelitian Bank Dunia 2012 di 12 negara
Asia menunjukkan bahwa kualitas guru Indonesia berada di urutan ke-12. Hasil
uji kompetensi guru oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012
menunjukkan bahwa para guru hanya mencapai nilai rata-rata 4,30, jauh di
bawah nilai minimal yang ditargetkan 7,00. Sulit berharap guru bisa
menjalankan peran sebagai pamong jika kapasitas guru tak ditingkatkan. Survei
Federasi Serikat Guru Indonesia 2012 di 29 kabupaten/kota menunjukkan bahwa
62 persen guru SD tidak pernah mengikuti pelatihan. Kalaupun ada pelatihan,
pelatihan itu dilaksanakan dalam kerangka proyek.
Kedua, pendidikan Indonesia
menghadapi situasi darurat kekerasan terhadap anak. Kajian yang dilakukan Plan International dan International Center for Research on Women
mendapati 84 persen anak Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Kekerasan
di banyak sekolah dan banyak wilayah di Indonesia dinilai sudah
mengkhawatirkan karena kekerasan tak dianggap sebagai persoalan.
Di kalangan siswa, misalnya,
muncul anggapan bahwa kekerasan yang mereka alami atau lakukan merupakan hal
biasa. Hasil kajian yang dilakukan Plan
International menyebutkan, para guru dan orangtua mengakui bahwa
anak-anak cenderung tak akan mengadukan kekerasan di sekolah karena ada
kekhawatiran akan menjadi pihak yang disalahkan. Ini bisa dipahami mengingat
pelaku kekerasan adalah guru atau anggota staf non-guru dan sesama pelajar di
sekolah. Pada akhirnya, siswa dibuat tunduk karena mempersoalkan kekerasan di
sekolah berarti siap menghadapi tekanan dan ancaman.
Ketiga, pendidikan kebangsaan kian
luntur dalam praktik pendidikan nasional. Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah 2012 menemukan bahwa pemahaman radikal sudah masuk ke
ruang pendidikan formal. Bahkan, 48,9 persen siswa dan 28,2 persen guru di
100 SMP dan SMA di Jakarta menyetujui kekerasan atas nama agama. Ini juga
sesuai dengan temuan ICRP dalam pelatihan untuk para guru agama di Indonesia
pada tahun 2013 yang mengungkapkan bahwa di kalangan para siswa mulai
berkembang paham radikal.
Keempat, rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia tak terlepas dari problem korupsi. Berbagai kasus penyalahgunaan
dana BOS dan BOP oleh kepala sekolah sudah masuk ke ranah hukum dan berakhir
dengan pidana. Namun, kasus korupsi di dunia pendidikan tak juga berhenti.
Maraknya korupsi tak terlepas dari sistem birokrasi yang tidak akuntabel dan
transparan yang menciptakan dan memelihara sistem setoran dan upeti dari
sekolah ke pihak dinas. Terlebih jika pemilihan kepala sekolah ditentukan
oleh pejabat pendidikan setempat tanpa transparansi. Kondisi ini diperburuk
rendahnya pemahaman para kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana
pendidikan.
Meski pendidikan Indonesia bermutu
rendah, pemerintah tetap tutup mata dan mempertahankan orientasi proyek dalam
pengelolaan pendidikan. Berbagai hasil survei terkait kualitas pendidikan,
guru, dan siswa tak mendapat perhatian. Padahal, hasil survei yang kaya
informasi itu sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai basis evaluasi kebijakan.
Kita dipaksa menerima kenyataan bahwa sistem pendidikan nasional tak
ditujukan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka. Mendamba lahirnya jiwa merdeka
dari praktik pendidikan yang dikelola dalam kerangka proyek ibarat pungguk
merindukan bulan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar