Senin, 10 Agustus 2015

Memahami Islam Nusantara

Memahami Islam Nusantara

Husein Ja'far Al Hadar  ;   Penulis
                                                 KORAN TEMPO, 06 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Islam Nusantara yang sebenarnya secara praktis telah ada sejak Islam awal di Indonesia, kian harus muncul ke permukaan sebagai sebuah konsep untuk merespons besar dan kuatnya ancaman terhadap Islam di Indonesia, berupa kecenderungan keberislaman yang jumud (terbelakang) dan takfir (gemar mengkafirkan yang berbeda). Namun, di samping itu, ini juga peluang bagi Islam Nusantara untuk menjadi kiblat bagi Islam dunia yang tengah dirundung krisis ekstremisme, dengan tawaran keberislaman yang moderat, toleran, dan sadar kebudayaan. Itulah peran yang kian ingin dipegang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dengan menjadikan Muktamar NU ke-33 pada 1 Agustus ini sebagai titik tolaknya.

Konseptualisasi Islam Nusantara itu harus berhadapan dengan tantangan besar. Sebab, pengonsepan secara rigid bisa justru menjebaknya dalam kekakuan, yang itu artinya paradoks dengan karakter dasarnya yang dinamis. Bahkan, ia adalah sebuah "proses" (becoming) yang tak pernah usai seiring dengan pergerakan ruang dan waktu yang melingkupinya dalam ke-Nusantara-annya. Atau bisa jadi upaya konseptualisasi itu mereduksinya, bahkan menjebaknya menjadi semacam mazhab atau golongan yang sebenarnya serta bertentangan dengan karakternya, yang justru menaungi seluruh wajah dalam Islam di Indonesia.

Terkait dengan hal itu, ada kesalahpahaman yang patut diluruskan karena rentan membuat Islam Nusantara seolah-seolah tercerabut dari nilai-nilai dasar Islam dan hanya mementingkan identitas kebudayaannya.

Pertama, kesalahpahaman yang menilai keberadaan Islam Nusantara berarti menyalahi prinsip "Islam yang satu". Padahal, sejatinya Islam Nusantara adalah Islam yang satu itu sendiri, sebagaimana Islam di Arab yang dibawa Nabi. Hanya, ketika ia dibawa ke Indonesia, budaya Arab yang melingkupinya digantikan dengan budaya Indonesia yang akan menjadi konteks barunya di sini.

Hal itu dilakukan tentu bukan karena kita anti-Arab, melainkan agar Islam bisa sesuai dengan konteks Indonesia, sebagaimana Nabi menyesuaikan Islam dengan budaya Arab saat pertama kali turun dulu. Nabi memberikan kita gandum dan kita olah menjadi roti agar sesuai dengan cita rasa Indonesia.

Islam Nusantara bahkan bukan hanya berangkat dari kesatuan, tapi juga bervisi persatuan. Ia hendak menegaskan bahwa Islam yang satu berarti persatuan (ukhuwah) di bawah bendera Islam dengan merangkul seluruh perbedaan pandangan, tafsiran, dan mazhab yang ada di dalam Islam itu sendiri.

Kedua, kesalahpahaman bahwa Islam Nusantara keluar dari konsep Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan dipraktekkan Nabi. Tentu, jika yang dimaksud Islam murni sebagaimana kesalahpahaman itu, Islam murni merupakan sebuah gagasan yang bukan hanya utopis, tapi juga salah kaprah. Pasalnya, hal itu bertentangan dengan sunnatullah dan prinsip dasar Islam yang bisa ditemui dalam QS Al Hujurat: 13.

Islam Nusantara sejatinya menjaga prinsip Islam murni yang berasaskan pada Quran dan hadis. Ia menjadi fondasi dan substansi Islam Nusantara. Adapun kreasi atau ijtihad dilakukan pada tataran yang memang dibolehkan-bahkan diwajibkan-untuk itu, yakni pada tatanan syariat ijtihadiyyat atau syariat yang sejatinya dinamis dan memang seharusnya dikontekstualisasi dengan ruang dan zaman untuk menjunjung prinsip rahmatan lil 'alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar