Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan
untuk Transformasi Sosial”
Menyingkirkan
Diskriminasi
KOMPAS, 18 Agustus 2015 |
Dunia pendidikan Indonesia
mewarisi sistem pendidikan kolonial yang di satu sisi bersifat diskriminatif
dan selektif (terbatas jumlahnya), tetapi di sisi lain memperlihatkan mutu
amat tinggi. Kurikulumnya amat ketat dengan introduksi berbagai bahasa asing,
tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat kegagalan yang tinggi
bahkan untuk orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu setinggi itu, putra Indonesia
seperti Agoes Salim mampu tampil sebagai lulusan terbaik dari seluruh HBS
yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana pembelajaran yang baik,
manusia Indonesia bisa berprestasi.
Kenanglah juga kualitas dan kuantitas
penelitiannya. Eijkman, peraih Nobel Kedokteran (1929), melakukan
penelitiannya di Indonesia, malah pernah menjadi direktur Stovia dan memimpin
Laboratorium Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini.
Hingga akhir 1930-an setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian
bereputasi tinggi. Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak
ilmuwan terbaik Eropa dan Amerika Serikat hijrah ke Indonesia dan menemukan
apa yang mereka sebut sebagai the
scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal ilmu pengetahuan
yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero dunia,
terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan, ketika
Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus
mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.
Ingat pula sejenak inisiatif
pemerintah mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pustaka (BP)
dengan proyek penerje- mahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun
agenda tersembunyi di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting
dalam penyediaan bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain
itu, BP juga berfungsi sebagai medan permagangan bagi para pengarang
bumiputra membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat
universal Respublica litteraria, Republik susastra dunia.
Kantong
kreativitas
Alhasil, seiring dengan
pertumbuhan kaum borjuis di perkotaan, tumbuh pula kantong- kantong
kreativitas ilmu dan budaya. Kelas tinggi jadi penyangga dari budaya tinggi.
Tak mengherankan jika kualitas peradaban kita jadi ukuran kemajuan,
setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara. Bandingkanlah dengan Malaysia. Hingga
awal abad ke-20, kota-kota pantai di negeri ini lebih banyak dihuni orang
Eropa, Tionghoa, dan pendatang lain. Karena infrastruktur pengetahuan terbaik
didirikan di kota-kota, bangsa Melayu jauh terbelakang dalam pendidikan.
Kelak kehendak memajukan bangsa Melayu mendorong pemerintahnya mendatangkan
tenaga pengajar dari Indonesia yang lebih maju dan lebih bisa diterima karena
kedekatan budayanya.
Tantangan rezim pendidikan dalam
RI merdeka adalah bagaimana menyingkirkan diskriminasi dan memperluas
kesempatan belajar, seraya tetap mempertahankan mutu pendidikan. Dalam
kenyataannya keduanya tak selalu berjalan seiring. Tekanan pada kuantitas
sering kali mengorbankan kualitas.
Lima tahun pertama setelah
Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh, perhatian pemerintah lebih tertuju
pada pemulihan berbagai kerusakan infrastruktur pascarevolusi di tengah
sengitnya persaingan ideologi partai politik yang menguras energi. Pada tahap
ini perhatian rezim pendidikan lebih tertuju pada penyusunan kebijakan dengan
perhatian yang memprioritaskan pendidikan dasar.
Proyek modernisasi Orde Baru
memerlukan dukungan bidang pendidikan. Maka, rezim ini aktif memajukan bidang
pendidikan. Sejak Repelita II (1974/1975-1978/1979) ke Repelita IV
(1984/1985-1988/1989) anggaran pendidikan di Indonesia terus-menerus naik.
Meski demikian, rata-rata persentase anggaran pendidikan itu dari GNP selama
periode itu (2,5 persen) selalu lebih rendah dibandingkan dengan figur yang
sama di negara tetangga seperti Malaysia (4,2 persen) dan Singapura (3,0
persen). Itu membuat pendidikan di negeri ini makin terasa tertinggal, bahkan
dari perkembangan pendidikan di negeri jiran yang sebelumnya jauh lebih
terbelakang dari Indonesia.
Orde Reformasi bangkit dengan
janji perhatian yang lebih besar memajukan dunia pendidikan. Lewat amandemen
Konstitusi, Pasal 31 UUD 1945 yang semula terdiri atas dua ayat diberikan
perubahan dan tambahan menjadi lima ayat, yang menunjukkan kemauan dan
komitmen politik mendukung kemajuan pendidikan. Kuatnya kemauan dan komitmen
politik ini antara lain tecermin dari mandat konstitusi yang mewajibkan
pemerintah membiayai pendidikan dasar yang wajib diikuti setiap warga negara
(ayat 2), dan pencantuman secara eksplisit mengenai anggaran pendidikan yang
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD (ayat 3).
Pada kenyataannya masih saja ada
jarak lebar antara teks tertulis yang diamanatkan konstitusi dan pelaksanaan
di lapangan. Selain perlu waktu, terbukti pula bahwa dukungan anggaran saja
tak cukup. Tanpa tanggung jawab dan kreativitas penyelenggara negara, besar
anggaran bisa saja memacu penyalahgunaan keuangan selain sekadar melahirkan
berbagai program asal-asalan, asal dapat menyerap anggaran.
Perkara tanggung jawab inilah yang
diingatkan Bung Hatta dengan menyarankan pentingnya mengajarkan rasa cinta
akan kebenaran dan keadilan: "Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam
dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan
masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa
tanggung jawab yang sebe- sar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri
dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi."
Isu penting lain dalam pendidikan
berorientasi kemajuan adalah usaha memuliakan talenta. Indonesia sebagai
masyarakat multietnis diberkati multi-DNA, yang mengandung potensi
multi-inteligensia dan multitalenta. Tanda-tandanya bisa dilihat dalam
berbagai ajang kompetisi internasional dalam matematika, fisika, dan robotik.
Anak-anak Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara terpandang
seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali
mengalahkan mereka.
Di balik kisah yang membanggakan
itu terselip pertanyaan miris, "Bagaimana negara ini bisa memuliakan
talenta-talenta terbaik bangsa?" Tanpa komitmen negara dalam menunaikan
tugas konstitusinya melindungi segenap bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa,
berapa kali pun kita menjuarai berbagai olimpiade sains internasional tidak
akan berdampak signifikan bagi kemajuan bangsa.
Alhasil, jalan talenta memajukan
Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa komitmen negara dan masyarakat
menumbuhkan ekosistem kreativitas yang kondusif, entah berapa banyak talenta
terbaik bangsa yang terbuang sia-sia, menempuh jalan kreativitas destruktif,
atau lebih dimanfaatkan bangsa lain yang lebih beradab.
Pendidikan
dan kepribadian
Para pendiri bangsa menyadari
benar arti pentingnya pendidikan bagi kehormatan dan kemuliaan manusia dan
bangsa. Pujangga besar Melayu Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam
12-nya itu menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia: ilmu, akal,
dan adab. "Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan
adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya," tulis
Raja Ali Haji.
Krisis multidimensional yang
mendera Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi
secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam
penetrasinya, menyerupai zaman kalabendu yang penuh prahara, pertikaian,
kedunguan, kehancuran tata nilai, dan keteladanan. Akutnya krisis yang kita
hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari
sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa
mengatakan where there is no vision, the people perish. Visi ini harus
mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada
penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha national
healing perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke
dalam wacana publik. Dengan kata lain, kita memerlukan penguatan etika
politik dan pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Krisis ini terjadi karena
pembangunan Indonesia dalam waktu yang panjang terlalu menekankan pembangunan
material, dengan mengabaikan pembangunan mental-karakter. Dengan pengabaian
aspek mental-karakter ini, perkembangan kehidupan bangsa menyimpang dari
trayek impian revolusi Indonesia.
Pada peringatan Hari Kemerdekaan
17 Agustus 1956, Bung Karno menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase
telah dilalui secara berhasil, dan satu fase lagi menghadang sebagai
tantangan. Indonesia telah melewati taraf revolusi fisik (1945-1949) dan
taraf sintas (1950-1955). Lantas ia tandaskan, "Sekarang kita berada
pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang
seluas-luasnya: investment of human
skill, material investment, dan
mental investment."
Investasi
mental
Dalam pandangannya, investasi
keterampilan dan material amat penting. Namun, yang paling penting adalah
investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak bisa jadi dasar
persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa
kekayaan mental, upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan
melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, "Lebih baik kita membuka hutan
kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada
menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk
rubel." Ditambahkannya pula, "Mental kita harus mengangkat diri
kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran
mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting."
Itu sebabnya Bung Karno sangat
menekankan program Nation and Character
Building. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, tapi sering
kali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil; masih
belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan
rendah diri.
Bung Karno menyadari bahwa sebagai
akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter
rakyat yang disebut abdikrat, meminjam istilah dari Verhaar dalam bukunya
Identitas Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh
perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri. Memasuki alam
kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis.
Rakyat harus berjiwa merdeka, berani berkata "ini dadaku, mana
dadamu"; berani mandiri dan menghargai diri sendiri.
Hingga taraf tertentu, usaha Nation and Character Building di masa
Soekarno itu berhasil. Rakyat dari Sabang sampai Merauke mulai merasa terikat
dalam suatu negara bangsa, dan merasa bangga sebagai bangsa Indonesia.
Kepercayaan diri bangsa ini juga meningkat berkat kepeloporan Indonesia dalam
berbagai isu internasional. Rakyat berani menolak bantuan yang merendahkan
bangsa sendiri dengan seruan, "Go to hell with your aid!"
Pemerintah Orde Baru bangkit
dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi material. Kebijakan investasi
manusia lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan
memprioritaskan pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai
"sekolah inpres" (instruksi presiden). Investasi mental memang
diberikan tapi bersifat permukaan. Penataran Pancasila digalakkan tapi miskin
kreativitas; terlalu menekankan dimensi kognitif (hafalan), kurang menyentuh
aspek afektif dan dorongan bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik
modernitas kehidupan bangsa, mental bangsa tetap terbelakang.
Orde Reformasi hadir sebagai
kulminasi dari paradoks antara kemajuan material dan keterbelakangan mental,
dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14 tahun Reformasi tak kunjung
mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan, kepastian hukum, serta
pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar budi kesadaran baru.
Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam yang membuat kekayaan
bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran asing; dan
bahwa mental yang terkorupsi adalah akar tunjang dari merajalelanya praktik
korupsi.
Untuk keluar dari krisis yang
akut, kita harus kembali memperhatikan pembangunan mental-karakter. Usaha ini
pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan
dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal,
nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru
Indonesia dengan karakter yang kuat.
Karakter yang mencerminkan
kualitas kepribadian dan merit sebagai pribadi dan kelompok. Yakni
kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral seseorang/sekelompok orang,
seperti ketepercayaan dan kejujuran; serta kekhasan kualitas
seseorang/sekelompok orang yang membedakan dirinya dari orang lain, yang
membuatnya berkemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan
(aktualitas potensi diri). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar