Kamis, 20 Agustus 2015

Menyingkirkan Diskriminasi

Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan untuk Transformasi Sosial”

Menyingkirkan Diskriminasi

KOMPAS, 18 Agustus 2015


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dunia pendidikan Indonesia mewarisi sistem pendidikan kolonial yang di satu sisi bersifat diskriminatif dan selektif (terbatas jumlahnya), tetapi di sisi lain memperlihatkan mutu amat tinggi. Kurikulumnya amat ketat dengan introduksi berbagai bahasa asing, tak kalah hebat dari pendidikan Eropa, dengan tingkat kegagalan yang tinggi bahkan untuk orang Belanda sendiri. Toh dengan mutu setinggi itu, putra Indonesia seperti Agoes Salim mampu tampil sebagai lulusan terbaik dari seluruh HBS yang ada; memberi bukti bahwa jika mendapat wahana pembelajaran yang baik, manusia Indonesia bisa berprestasi.

Kenanglah juga kualitas dan kuantitas penelitiannya. Eijkman, peraih Nobel Kedokteran (1929), melakukan penelitiannya di Indonesia, malah pernah menjadi direktur Stovia dan memimpin Laboratorium Anatomi Patologis dan Bakteriologi (berdiri 1886) di negeri ini. Hingga akhir 1930-an setidaknya telah berdiri 26 institut penelitian bereputasi tinggi. Ketika terjadi depresi ekonomi dunia pada 1930-an, banyak ilmuwan terbaik Eropa dan Amerika Serikat hijrah ke Indonesia dan menemukan apa yang mereka sebut sebagai the scientific paradise. Tidaklah mengherankan jika jurnal ilmu pengetahuan yang terbit di Indonesia waktu itu sangat terkenal di seantero dunia, terutama yang berkaitan dengan penelitian tanaman tropis. Bahkan, ketika Jepang masuk, sebuah perpustakaan di New York sengaja didirikan untuk terus mengoleksi karya-karya ilmiah dari Indonesia.

Ingat pula sejenak inisiatif pemerintah mendorong minat tulis dan baca. Pendirian Balai Pustaka (BP) dengan proyek penerje- mahannya pada 1917 memberi contoh hal itu. Apa pun agenda tersembunyi di balik pendiriannya, keberadaan BP berperan penting dalam penyediaan bahan bacaan yang murah bagi khalayak umum di Hindia. Selain itu, BP juga berfungsi sebagai medan permagangan bagi para pengarang bumiputra membuka jalan bagi keterpautan literati Hindia ke dalam semangat universal Respublica litteraria, Republik susastra dunia.

Kantong kreativitas

Alhasil, seiring dengan pertumbuhan kaum borjuis di perkotaan, tumbuh pula kantong- kantong kreativitas ilmu dan budaya. Kelas tinggi jadi penyangga dari budaya tinggi. Tak mengherankan jika kualitas peradaban kita jadi ukuran kemajuan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara. Bandingkanlah dengan Malaysia. Hingga awal abad ke-20, kota-kota pantai di negeri ini lebih banyak dihuni orang Eropa, Tionghoa, dan pendatang lain. Karena infrastruktur pengetahuan terbaik didirikan di kota-kota, bangsa Melayu jauh terbelakang dalam pendidikan. Kelak kehendak memajukan bangsa Melayu mendorong pemerintahnya mendatangkan tenaga pengajar dari Indonesia yang lebih maju dan lebih bisa diterima karena kedekatan budayanya.

Tantangan rezim pendidikan dalam RI merdeka adalah bagaimana menyingkirkan diskriminasi dan memperluas kesempatan belajar, seraya tetap mempertahankan mutu pendidikan. Dalam kenyataannya keduanya tak selalu berjalan seiring. Tekanan pada kuantitas sering kali mengorbankan kualitas.

Lima tahun pertama setelah Indonesia mendapatkan kedaulatan penuh, perhatian pemerintah lebih tertuju pada pemulihan berbagai kerusakan infrastruktur pascarevolusi di tengah sengitnya persaingan ideologi partai politik yang menguras energi. Pada tahap ini perhatian rezim pendidikan lebih tertuju pada penyusunan kebijakan dengan perhatian yang memprioritaskan pendidikan dasar.

Proyek modernisasi Orde Baru memerlukan dukungan bidang pendidikan. Maka, rezim ini aktif memajukan bidang pendidikan. Sejak Repelita II (1974/1975-1978/1979) ke Repelita IV (1984/1985-1988/1989) anggaran pendidikan di Indonesia terus-menerus naik. Meski demikian, rata-rata persentase anggaran pendidikan itu dari GNP selama periode itu (2,5 persen) selalu lebih rendah dibandingkan dengan figur yang sama di negara tetangga seperti Malaysia (4,2 persen) dan Singapura (3,0 persen). Itu membuat pendidikan di negeri ini makin terasa tertinggal, bahkan dari perkembangan pendidikan di negeri jiran yang sebelumnya jauh lebih terbelakang dari Indonesia.

Orde Reformasi bangkit dengan janji perhatian yang lebih besar memajukan dunia pendidikan. Lewat amandemen Konstitusi, Pasal 31 UUD 1945 yang semula terdiri atas dua ayat diberikan perubahan dan tambahan menjadi lima ayat, yang menunjukkan kemauan dan komitmen politik mendukung kemajuan pendidikan. Kuatnya kemauan dan komitmen politik ini antara lain tecermin dari mandat konstitusi yang mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar yang wajib diikuti setiap warga negara (ayat 2), dan pencantuman secara eksplisit mengenai anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD (ayat 3).

Pada kenyataannya masih saja ada jarak lebar antara teks tertulis yang diamanatkan konstitusi dan pelaksanaan di lapangan. Selain perlu waktu, terbukti pula bahwa dukungan anggaran saja tak cukup. Tanpa tanggung jawab dan kreativitas penyelenggara negara, besar anggaran bisa saja memacu penyalahgunaan keuangan selain sekadar melahirkan berbagai program asal-asalan, asal dapat menyerap anggaran.

Perkara tanggung jawab inilah yang diingatkan Bung Hatta dengan menyarankan pentingnya mengajarkan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan: "Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada kita, jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa. Untuk mendapat rasa tanggung jawab yang sebe- sar-besarnya, kita harus mendidik diri kita sendiri dengan rasa cinta akan kebenaran dan keadilan yang abadi."

Isu penting lain dalam pendidikan berorientasi kemajuan adalah usaha memuliakan talenta. Indonesia sebagai masyarakat multietnis diberkati multi-DNA, yang mengandung potensi multi-inteligensia dan multitalenta. Tanda-tandanya bisa dilihat dalam berbagai ajang kompetisi internasional dalam matematika, fisika, dan robotik. Anak-anak Indonesia bukan saja bisa bersaing dengan utusan negara terpandang seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok, bahkan berulang kali mengalahkan mereka.

Di balik kisah yang membanggakan itu terselip pertanyaan miris, "Bagaimana negara ini bisa memuliakan talenta-talenta terbaik bangsa?" Tanpa komitmen negara dalam menunaikan tugas konstitusinya melindungi segenap bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa, berapa kali pun kita menjuarai berbagai olimpiade sains internasional tidak akan berdampak signifikan bagi kemajuan bangsa.

Alhasil, jalan talenta memajukan Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Tanpa komitmen negara dan masyarakat menumbuhkan ekosistem kreativitas yang kondusif, entah berapa banyak talenta terbaik bangsa yang terbuang sia-sia, menempuh jalan kreativitas destruktif, atau lebih dimanfaatkan bangsa lain yang lebih beradab.

Pendidikan dan kepribadian

Para pendiri bangsa menyadari benar arti pentingnya pendidikan bagi kehormatan dan kemuliaan manusia dan bangsa. Pujangga besar Melayu Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam 12-nya itu menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia: ilmu, akal, dan adab. "Jikalau beberapa pun bangsa jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga diperolehnya," tulis Raja Ali Haji.

Krisis multidimensional yang mendera Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai zaman kalabendu yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai, dan keteladanan. Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan where there is no vision, the people perish. Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha national healing perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan kata lain, kita memerlukan penguatan etika politik dan pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Krisis ini terjadi karena pembangunan Indonesia dalam waktu yang panjang terlalu menekankan pembangunan material, dengan mengabaikan pembangunan mental-karakter. Dengan pengabaian aspek mental-karakter ini, perkembangan kehidupan bangsa menyimpang dari trayek impian revolusi Indonesia.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956, Bung Karno menjelaskan tiga fase revolusi bangsa. Dua fase telah dilalui secara berhasil, dan satu fase lagi menghadang sebagai tantangan. Indonesia telah melewati taraf revolusi fisik (1945-1949) dan taraf sintas (1950-1955). Lantas ia tandaskan, "Sekarang kita berada pada taraf investment, yaitu taraf menanamkan modal-modal dalam arti yang seluas-luasnya: investment of human skill, material investment, dan mental investment."

Investasi mental

Dalam pandangannya, investasi keterampilan dan material amat penting. Namun, yang paling penting adalah investasi mental. Investasi keterampilan dan material tak bisa jadi dasar persatuan dan kemakmuran bersama tanpa didasari investasi mental. Tanpa kekayaan mental, upaya pemupukan keterampilan dan material hanya akan melanggengkan perbudakan. Dikatakannya, "Lebih baik kita membuka hutan kita dan menggaruk tanah kita dengan jari sepuluh dan kuku kita ini daripada menjual serambut pun daripada kemerdekaan kita ini untuk dollar, untuk rubel." Ditambahkannya pula, "Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran mempertentangkan urusan tetek bengek yang tidak penting."

Itu sebabnya Bung Karno sangat menekankan program Nation and Character Building. Dalam pandangannya, Indonesia adalah bangsa besar, tapi sering kali memberi nilai terlalu rendah pada bangsanya alias bermental kecil; masih belum terbebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering mengidap perasaan rendah diri.

Bung Karno menyadari bahwa sebagai akibat penjajahan dan feodalisme selama ratusan tahun, terbentuklah karakter rakyat yang disebut abdikrat, meminjam istilah dari Verhaar dalam bukunya Identitas Manusia. Akibatnya, terbentuklah mentalitas pecundang dengan penuh perasaan tak berdaya dan tidak memiliki kepercayaan diri. Memasuki alam kemerdekaan, Bung Karno menyerukan agar watak demikian harus dikikis habis. Rakyat harus berjiwa merdeka, berani berkata "ini dadaku, mana dadamu"; berani mandiri dan menghargai diri sendiri.

Hingga taraf tertentu, usaha Nation and Character Building di masa Soekarno itu berhasil. Rakyat dari Sabang sampai Merauke mulai merasa terikat dalam suatu negara bangsa, dan merasa bangga sebagai bangsa Indonesia. Kepercayaan diri bangsa ini juga meningkat berkat kepeloporan Indonesia dalam berbagai isu internasional. Rakyat berani menolak bantuan yang merendahkan bangsa sendiri dengan seruan, "Go to hell with your aid!"

Pemerintah Orde Baru bangkit dengan kebijakan yang memprioritaskan investasi material. Kebijakan investasi manusia lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat kuantitatif dengan memprioritaskan pemacuan pendidikan dasar lewat apa yang dikenal sebagai "sekolah inpres" (instruksi presiden). Investasi mental memang diberikan tapi bersifat permukaan. Penataran Pancasila digalakkan tapi miskin kreativitas; terlalu menekankan dimensi kognitif (hafalan), kurang menyentuh aspek afektif dan dorongan bertindak. Akibatnya, di balik gebyar fisik modernitas kehidupan bangsa, mental bangsa tetap terbelakang.

Orde Reformasi hadir sebagai kulminasi dari paradoks antara kemajuan material dan keterbelakangan mental, dengan segala krisis yang menyertainya. Setelah 14 tahun Reformasi tak kunjung mendekati janji-janji kesejahteraan, keadilan, kepastian hukum, serta pemerintahan yang baik dan bersih, mestinya timbul fajar budi kesadaran baru. Bahwa perbudakan mental merupakan pangkal terdalam yang membuat kekayaan bangsa ini terus dipersembahkan bagi seluas-luasnya kemakmuran asing; dan bahwa mental yang terkorupsi adalah akar tunjang dari merajalelanya praktik korupsi.

Untuk keluar dari krisis yang akut, kita harus kembali memperhatikan pembangunan mental-karakter. Usaha ini pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, nonformal, maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat.

Karakter yang mencerminkan kualitas kepribadian dan merit sebagai pribadi dan kelompok. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral seseorang/sekelompok orang, seperti ketepercayaan dan kejujuran; serta kekhasan kualitas seseorang/sekelompok orang yang membedakan dirinya dari orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan (aktualitas potensi diri).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar