Senin, 10 Agustus 2015

NU dan Inspirasi dari Cheng Ho

NU dan Inspirasi dari Cheng Ho

Endang Suryadinata  ;   Penggemar Sejarah
                                                 KORAN TEMPO, 06 Agustus 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) pengurus besar NU menggelar seminar "Ekspedisi Cheng Ho dan Islam Nusantara", di Gedung PBNU Kramat Raya, dengan narasumber Profesor Chi Min Tan dari Universitas Nanking, Selasa, 28 Juli lalu.

Berdasarkan sejarah, Cheng Ho lahir pada 1370 M dari keluarga miskin etnis Hui di Yunan yang muslim. Namun kariernya melesat pada era Cheng Tzu, kaisar ketiga Dinasti Ming yang berkuasa dari tahun 1403 sampai 1424. Karier puncaknya adalah laksamana yang memimpin ekspedisi sejak 11 Juli 1405 ke sekitar 37 negara, termasuk Nusantara.

Maka, ada banyak jejak historis Cheng Ho di berbagai tempat di Nusantara. Di Sumatera dan Jawa, ada banyak hal yang dikaitkan dengan sosok Cheng Ho. Misalnya klenteng Mbah Ratu di Surabaya atau Sam Po Kong di Semarang. Jadi, sosoknya sampai diapresiasi oleh umat beragama selain Islam.

Sewaktu singgah di Surabaya, yang bersamaan dengan hari Jumat, Cheng Ho sempat berkhotbah di hadapan ratusan warga dan mengajari mereka cara-cara bertani yang efektif. Bahkan, ketika menghadap Raja Majapahit Wikramawardana, Cheng Ho menunjukkan jiwa besarnya. Padahal, kalau mau menuruti nafsu amarah, ia punya alasan yang dibenarkan menurut hukum Islam. Bayangkan, sekitar 170 anggota ekspedisinya baru saja dibantai oleh Raja Majapahit tersebut. Raja sendiri semula juga menduga kehadiran Cheng Ho untuk melampiaskan api dendamnya. Ternyata semua hal buruk itu tidak terbukti.

Yang menarik lagi, Cheng Ho datang menghadap raja disertai para pendeta Han San Wei, yaitu tiga agama besar beraliran Han: Buddha, Konghucu, dan Tao. Padahal Cheng Hoo maupun juru mudi dan juru masaknya beragama Islam. Dengan demikian, spirit toleransi dan penghormatan atas perbedaan agama sudah dihayati Cheng Ho sejak dini.

Tidak mengherankan jika kemudian kehadiran Cheng Ho mampu membentuk sebuah relasi harmonis antara nilai-nilai Islam, Cina, dan Jawa dalam suatu jalinan harmoni. Elemen dan arsitektur Masjid Demak yang terkenal, misalnya, sangat dipengaruhi arsitektur Cina (Sugeng Haryadi, Sejarah Berdirinya Masjid Agung Demak dan Grebek Besar, 2002).

Apa yang dilakukan Cheng Ho kian membenarkan uraian sejarawan Prancis, Prof Dr Denys Lombard dalam mahakaryanya Nusa Jawa: Silang Budaya (1996), bahwa ada kontribusi positif dari peradaban Cina atau Tionghoa yang memperkaya peradaban lokal di Nusantara.

Dan dalam hal corak penghayatan Islam yang dibawa Cheng Ho ke Nusantara, ternyata bercorak moderat atau jalan tengah serta menjauhi penghayatan keagamaan yang ekstrem. Perbedaan, termasuk perbedaan keyakinan, juga sungguh dihargai, bukan dikutuk. Ini semua sangat sesuai dengan gagasan Islam Nusantara yang kian mengemuka di kalangan NU belakangan ini.

Terbukti penghayatan Islam khas Indonesia yang moderat itu diapresiasi, termasuk oleh Perdana Menteri Inggris David Cameron. Beberapa negara Eropa pun meminta NU mengirim dai atau guru agama moderat. Maklum, di tengah godaan menggunakan cara-cara ekstrem, termasuk kekerasan, Islam sebagaimana diperlihatkan Gus Dur dan para Nahdliyin, tetap lebih suka Islam yang memberikan rahmat dan damai bagi semesta. Bukan Islam yang garang dan antikemanusiaan seperti ISIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar