Mitos Kemenangan Inkumben
Wawan Sobari ;
Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas
Brawijaya
|
KORAN
TEMPO, 06 Agustus 2015
Tingginya popularitas dan
elektabilitas calon inkumben mendorong pragmatisme partai politik dalam
pencalonan pilkada serentak 2015. Bahkan muncul dua isu miring membayangi
pilkada, yakni calon tunggal dan calon boneka. Sebegitu kuatkah calon
inkumben hingga mendorong pesimisme partai politik untuk memunculkan calon
alternatif?
Posisi inkumben memang istimewa,
karena memegang jabatan, inkumben mempunyai akses absolut terhadap pembuatan
kebijakan dan penganggaran daerah, jejaring personalnya luas, serta ada
kemungkinan penyalahgunaan wewenang. Inkumben memiliki kesempatan untuk
mengarahkan alokasi dan distribusi anggaran sesuai dengan kepentingan
pribadinya. Dalam pilkada, posisi itu tentunya jauh lebih menguntungkan
daripada non-inkumben.
Secara rinci, inkumben bisa
mengangkat popularitasnya melalui distribusi anggaran yang memberi manfaat
langsung bagi warga, seperti pemberian dana-dana bantuan. Lalu, karena
posisinya, inkumben bisa menjadi patron bagi birokrasi, pengusaha, dan partai
politik, termasuk penyelenggara dan pengawas pilkada. Terakhir, karena lebih
awal duduk di pemerintahan, inkumben mendapat liputan media massa yang jauh
lebih intens.
Namun, keuntungan-keuntungan itu
bukanlah jaminan keberhasilan dalam pilkada kedua. Menurut Lingkaran Survei
Indonesia (LSI), dalam lima tahun pertama penyelenggaraan pilkada
(2005-2010), angka kegagalan inkumben meningkat. Dalam kurun Juni 2005 hingga
Desember 2006, 37,83 persen inkumben kandas, baik dalam pilkada
kabupaten/kota maupun provinsi. Pada 2010, angka kekalahan meningkat hingga
mencapai 44 persen.
Logika kekalahan inkumben ternyata
cukup jelas lewat studi yang dilakukan penulis. Dalam rangkaian pilkada pada
2010 di Jawa Timur, tak ada konsistensi logis antara besaran alokasi anggaran
untuk sektor-sektor utama (pendidikan, kesehatan ekonomi, bantuan sosial, dan
pekerjaan umum) dan hasil pilkada bagi inkumben.
Berikutnya, peningkatan nilai
politik uang tak menjamin kemenangan inkumben. Menurut ICW, besaran politik
uang nasional dalam pilkada 2010 lebih besar daripada lima tahun sebelumnya.
Pun, menurut temuan survei LSI pada 2010, publik mengkonfirmasi bahwa
frekuensi politik uang meningkat 11,9 persen ketimbang pilkada 2005 (8,9
persen).
Pun, inkonsistensi kegagalan
inkumben terkait dengan penjelasan logika para memilih. Keberhasilan dan
kegagalan inkumben tak selalu konsisten dengan logika imbalan dan hukuman.
Keberhasilan inkumben mempertahankan jabatannya bukan merupakan imbalan dari
kinerjanya yang baik. Sebaliknya, kegagalan inkumben tidak membuktikan bahwa
mereka dihukum oleh pemilih.
Survei LSI di empat provinsi dan
empat kabupaten/kota (2006) menemukan pola hasil pilkada yang berbeda. Tidak
selalu tampak koneksi antara kegagalan/keberhasilan para inkumben dan kinerja
mereka selama menjabat. Lantas, mengapa inkumben yang memiliki akses penuh
terhadap berbagai sumber daya dan berkesempatan berkampanye selama menjabat
mengalami kekalahan?
Rangkaian studi komparatif yang
dilakukan penulis dalam kasus pilkada 2008 dan 2010 di Jawa Timur menemukan
tiga elemen saling terkait yang menjelaskan logika keberhasilan dan kegagalan
inkumben. Pertama, populisme penting bagi inkumben-mencakup pula kebijakan
dan aktivitas populer guna mengkonstruksi kesan "disukai" warga.
Kedua, kemampuan mengelola risiko
rivalitas. Merangkul aktor-aktor informal dan aktor formal partisan di daerah
penting bagi keberhasilan inkumben. Inkumben saling "bertransaksi"
dengan para elite itu demi dukungan dalam meminimalkan risiko rivalitas
politik yang berpotensi menggerus posisi dan citra populismenya.
Ketiga, kemampuan menyediakan
aspek-aspek materiil keluaran kebijakan dan kehadirannya di tengah-tengah
warga (tangibility). Kebijakan yang bisa dirasakan secara langsung manfaatnya
dan tampak kasatmata akan diingat dan bisa mendorong preferensi para pemilih.
Sementara itu, blusukan melengkapi kinerja materiil inkumben yang penting
untuk mengkonstruksi citra inkumben yang "perhatian dan dekat"
dengan warga.
Di antara ketiga elemen tersebut,
faktor-faktor keunggulan kompetitif populisme dan aspek-aspek konkret
keluaran kebijakan tak cukup bagi inkumben untuk menang kembali, melainkan
dengan kemampuan memainkan politik partikularisme melalui
"transaksi" insentif material di antara para elite. Studi
komparatif penulis menemukan, praktek politik informal itu membuat inkumben
berhasil dalam mengelola oposisi dan dukungan di kalangan elite daerah.
Bahkan solidnya dukungan para elite lokal bisa menahan serangan politik uang.
Melihat fakta seretnya pencalonan
pilkada di sejumlah daerah, seperti Pacitan, Surabaya, dan Purbalingga,
mungkin saja karena bagusnya kinerja inkumben hingga tak ada rival yang
berani berkompetisi. Bila faktanya demikian, tentu merupakan kabar gembira
bagi perbaikan demokrasi. Sebaliknya, minimnya nominasi kepala daerah diduga
sebagai siasat para saingan inkumben untuk menunda pilkada hingga 2017, dan
mereka berkesempatan membangun mesin dan dukungan politik selama masa jeda
dengan efek "inkumbensi" minimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar