Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi
Rumadi Ahmad ;
Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Peneliti Senior the Wahid Institute Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 Juli 2015
Di samping soal Islam Nusantara yang ramai diperbincangkan
masyarakat, ada persoalan lain yang sekarang menjadi perdebatan menjelang
Muktamar NU Ke- 33, 1-5 Agustus 2015, di Jombang Jawa Timur, yaitu terkait
dengan mekanisme pemilihan pemimpin tertinggi NU yang disebut rais am dan
ketua umum tanfidziyah.
Jika selama ini pemilihan rais am dan ketua umum
tanfidziyah dilakukan dengan mekanisme pemilihan langsung oleh pengurus
cabang dan pengurus wilayah NU (PC dan PW NU), kini mekanisme tersebut akan
diubah dengan model formatur yang dipopulerkan dengan sebutan ahlul halli wal
aqdi (AHWA).
Model pemilihan seperti ini mempunyai legitimasi tinggi
dari sisi sejarah Islam, karena pernah diterapkan dalam pengangkatan Usman
bin Affan sebagai khalifah ketiga. Gagasan mengenai AHWA muncul setelah
Muktamar Ke- 32 di Makassar pada awal 2010.
Ada dua persoalan penting dalam muktamar ini yang kemudian
menjadi landasan pentingnya AHWA diimplementasikan dalam Muktamar Ke-33.
Pertama, dalam proses pemilihan rais am dan ketum tanfidziyah disinyalir
terjadi politik uang yang dilakukan orang-orang yang mempunyai kepentingan
dengan proses pemilihan tersebut.
Politik uang ini sedemikian rupa terjadi dan menjadi aroma
busuk sepanjang muktamar. Gejala ini sebenarnya sudah mulai tercium sejak
Muktamar NU Ke-31 di Solo, dan semakin nyaris tak terkendali di dalam
muktamar di Makassar. Pola pemilihan langsung (one man one vote) seperti yang selama ini dilakukan disinyalir
menjadi salah satu penyebab maraknya politik uang.
Karena itu, perlu dicari mekanisme yang mempersempit
peluang terjadinya politik uang. Model AHWA dipandang sebagai alternatif
untuk meminimalkan hal itu. Kedua, kerasnya pertarungan calon rais amyang
diikuti dengan mobilisasi tim sukses memengaruhi muktamirin (apalagi dengan
iming-iming uang seperti di atas) dipandang tidak elok, terkesan mengadu
antarulama.
Hal itu dipandang jauh dari nilai-nilai keulamaan yang
harus dipegang teguh. Atas dua persoalan tersebut digagaslah mekanisme AHWA,
di mana PC dan PWNU tidak memilih langsung calon rais am, tapi memilih
sejumlah orang (misalnya, sembilan orang) dari kiai-kiai dengan kualifikasi
tertentu.
Sejumlah kiai inilah yang bertindak sebagai formatur untuk
memilih rais am, bisa dari salah satu di antara sembilan orang ini, atau bisa
juga dari luar sembilan orang tersebut. Keprihatinan situasi pemilihan
pimpinan NU tersebut terus muncul karena terlalu banyak pihak yang
berkepentingan dengan NU dan berupaya untuk menguasai NU.
KH Mustofa Bisri menyindir situasi ini dengan menyatakan
pemilihan pemimpin NU di berbagai tingkatan takubahnya seperti pilkada. Dalam
pleno PBNU di Wonosobo, (8/9/ 2013) Rais Am PBNU KH SahalMahfudh (almarhum)
memerintahkan PBNU segera memproses gagasan tentang AHWA untuk menjadi aturan
yang dapat diterapkandalam pemilihan kepemimpinan dalam seluruh jajaran NU.
PBNU akhirnya membentuk sebuah tim yang melakukan kajian,
mempelajari dasar filosofis dan acuan historis hingga teknis implementasinya.
Hasil kajian tersebut kemudian dibahas dalam musyawarah nasional (munas) dan
konferensi besar (konbes) pada November 2014, yang kemudian disepakati
digunakannya AHWA dalam pemilihan kepemimpinan NU, tapi implementasinya
dilakukan secara bertahap untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu
disempurnakan.
Hal itu dimulai dengan pemilihan rais am PBNU dan rais
syuriah PW dan PC NU. Adapun untuk pemilihan ketua umum tanfidziyah masih dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung.
Dari kesepakatan ini, tim PBNU menyusun aturan operasional yang akan
diterapkan dalam Muktamar Ke-33 mendatang.
Sejumlah PWNU, terutama Jatim dan Jateng, sudah mengajukan
konsep dan mekanisme AHWA. Tim organisasi dalam kepanitiaan Muktamar Ke-33
berupaya mematangkan konsep itu agar bisa diaplikasikan. Pematangan dan
proses diskusi dilakukan dalam acara pramuktamar yang digelar di NTB pada 9
April 2015 yang diikuti sejumlah PWNU.
Mekanisme ini ternyata tidak begitu saja bisa diterima,
terutama di kalangan PC dan PWNU sebagai pemegang hak suara. Dalam beberapa
kali acara pramuktamar membicarakan AHWA suara penolakan masih cukup kuat.
Bahkan, dalam pramuktamar di Makassar pada 21-23 April 2015, di mana salah
satu sesinya membicarakan tentang AHWA, terjadi penolakan cukup keras dari
sejumlah PWNU Indonesia bagian timur.
Sejumlah PWNU bahkan menggalang tanda tangan menolak AHWA.
Demikian juga dalam acara pramuktamar di Medan, beberapa PWNU di wilayah Sumatera
juga terang- terangan menolak AHWA. Melihat arus penolakan AHWA yang cukup
kuat, PBNU menggelar munas (15/6/ 2015) yang dihadiri sejumlah pengurus
syuriah PWNU dengan agenda tunggal: membahas AHWA.
Pertemuan sekitar tiga jam itu tidak berlangsung panas.
Meski ada beberapa tokoh PBNU yang bersuara kritis, namun di akhir munas alim
ulama itu disepakati pemilihan rais am tidak pakai sistem voting, tapi
melalui AHWA. Hal ini dimaksudkan untuk menyumbat intervensi pihak luar dalam
pemilihan kepemimpinan NU.
Pemegang otoritasnya adalah para ulama yang matang secara
keilmuan dan maqom ruhaniyah-nya, sehingga tak mudah tergoda dengan
bujukan-bujukan duniawi. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa rais am
adalah jabatan shahibul maqam yang tidak boleh ditempati kecuali orang-orang
yang memang mempunyai maqom yang
sesuai.
Dalam maqom itu terkandung kriteria faqih (memiliki
penguasaan mendalam ilmu-ilmu syariat); wara (terjaga martaban keulamannya
dari akhlak dan perbuatan yang tidak pantas, termasuk keterlibatan dalam
politik praktis); munadh-dhim (mampu memimpin manajemen organisasi); dan
muharrik (mampu menggerakkan dinamika jamiah).
Apakah dengan demikian, AHWA akan pasti digunakan dalam
memilih rais am? Saya belum yakin sepenuhnya. Konsep AHWA yang semula netral
sekarang ini sudah dipolitisasi sedemikian rupa seolah digunakan untuk
menghadang seorang calon.
Tokoh yang semula mendukung AHWA yang juga salah satu
calon ketua umum tanfidziyah, KH
Asad Said Ali, belakangan juga mengkritik pedas AHWA. Sistem AHWA dikatakan
bagus dari luar, tapi busuk di dalam karena diduga hanya untuk kepentingan
seseorang (KORAN SINDO, 28/7).
Kritik yang kurang lebih sama sebelumnya juga disampaikan
tokoh senior NU, KH Tolhah Hasan. Mengapa sistem AHWA masih dipersoalkan,
bahkan ditolak, sejumlah PC dan PWNU? Ada beberapa alasan yang muncul.
Pertama, soal legitimasi. Legitimasi AHWA dianggap kurang kuat dibanding
legitimasi pemilihan langsung.
Kedua, AHWA juga dianggap membatasi hak PC dan PWNU untuk
memilih secara langsung. Ketiga, AHWA bertentangan dengan arus demokrasi yang
justru memberi ruang pemilihan langsung, bukan melalui perwakilan. Keempat,
AHWA belum siap diterapkan karena sistemnya dianggap belum jelas. Apakah yang
dipilih dengan AHWA itu rais am dan ketum tanfidziyah sekaligus? Kalau hanya
rais am mengapa?
Persoalan-persoalan tersebut masih menggantung dan
potensial menjadi bola panas dalam muktamar. Kita masih harus menunggu,
apakah AHWA akan digunakan dalam pemilihan rais am atau bahkan akan kembali
menggunakan sistem pemilihan langsung.
Tidak mudah memastikan, namun untuk menjaga martabat NU
sudah saatnya AHWA menjadi pilihan terbaik, setidaknya untuk pemilihan rais
am. Untuk pemilihan ketua umum tanfidziyah
boleh saja dilakukan melalui voting,
namun harus dipastikan calon-calonnya direstui oleh rais am terpilih.
Akan lebih baik jika ada kesepakatan mekanisme AHWA juga
akan digunakan untuk memilih ketua umum tanfidziyah
untuk muktamar berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar