Kamis, 20 Agustus 2015

Menuju Pendidikan Transformatif

Laporan Diskusi Kompas-LMI
“Pendidikan untuk Transformasi Sosial”

Menuju Pendidikan Transformatif

KOMPAS, 18 Agustus 2015


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam usia 70 tahun, negeri ini masih terseok-seok. Kemiskinan merajalela, sementara korupsi masih jadi perilaku elite. Pergantian kepemimpinan nasional tak menjamin terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial. Demokrasi menjelma menjadi democrazy.

Saatnya berpikir jauh ke depan untuk mewujudkan perubahan yang bersifat fundamental. Pendidikan merupakan solusi yang tepat untuk dijadikan jembatan menuju gerbang kemajuan negeri ini. Sebagai republik, para pendiri bangsa sangat sadar ketika menjadikan klausul "mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagai salah satu pilar penting dalam konstitusi. Jika ingin negeri ini sejajar dengan negeri-negeri yang lain, harus menjadikan pendidikan sebagai titik awal kebangkitan.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa problem negeri ini terdapat pada rapuhnya mental. Problem kebangsaan muncul ke permukaan karena kita kehilangan jati diri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Sebab itu, diperlukan revolusi mental yang harus didesain secara serius melalui jalur pendidikan sejak dini. Mengubah mental tak bisa bersifat instan, tetapi harus dilakukan secara sistematis, terstruktur, dan berjangka panjang.

Soekarno-Hatta dan para pendiri bangsa lain mempunyai kesadaran penuh bahwa tugas mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai kedudukan yang sama dengan tugas-tugas lain, seperti menciptakan kedamaian, memajukan ekonomi, dan mewujudkan perdamaian dunia. Keempat tugas tersebut semestinya berjalan beriringan karena pendidikan terkait langsung dengan pembangunan bangsa.

Secara filosofis manusia pada hakikatnya adalah makhluk pembelajar. Pendidikan akan membantu manusia untuk memberdayakan kemampuannya secara bertahap. UNESCO menegaskan bahwa melalui pendidikan, setiap warga bisa belajar untuk belajar, belajar untuk hidup bersama, dan belajar untuk mempunyai jati diri.

Pendidikan merupakan proses humanisasi. Melalui pendidikan, manusia sedang berproses menjadi manusia sempurna. Sebab itu, setiap manusia harus berkembang bersama alam dan menjaga kelestariannya. Melalui pendidikan, setiap warga negara terus berupaya agar mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Pendidikan yang membebaskan

Manusia merupakan makhluk historis yang terus berkembang seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Karena itu, pendidikan sejatinya tidak mengajarkan dogmatisme dan positivisme. Pendidikan harus mendorong setiap warga agar mempunyai nalar konstruktif. Pendidikan sejatinya dapat melahirkan kreativitas dan inovasi, bukan justru memasungnya. Pendidikan juga harus mendorong setiap warga agar mampu mengaktualisasikan kebebasan. Setiap manusia mempunyai fitrah kebebasan yang melekat dalam dirinya. Sebab itu, pendidikan semestinya tidak memasung kebebasan setiap warga, tetapi justru membebaskannya.

Dalam diri setiap manusia terdapat unsur rohani dan jasmani. Kedua unsur ini tidak bisa dipisahkan dalam diri manusia. Pendidikan harus mampu menjaga keseimbangan di antara kedua dimensi itu. Manusia pada hakikatnya adalah eksistensi dan insentensi. Keterpenuhan kedua dimensi itu amat dibutuhkan. Pendidikan sejatinya mampu memenuhi kedua hal itu sebagai dimensi yang fundamental dalam diri manusia. Setiap manusia butuh kasih sayang. Pendidikan sejatinya dapat memupuk kasih sayang pada setiap warga. Sebab itu, diperlukan intersubyektivitas, subyek (guru) dan subyek (siswa), dalam rangka bergumul dan berinteraksi dengan obyek (dunia). Kata kuncinya, kasih sayang dan kesanggrahan merupakan dimensi penting menangkal budaya kekerasan.

Puncaknya, pendidikan harus mampu menyadarkan manusia agar menghormati kehidupan. Setiap manusia akan menuju kematian. Karena itu, pendidikan harus didorong agar setiap warga menyadari bahwa kehidupan adalah anugerah. Berlomba dalam kebajikan dalam hidup merupakan tugas mulia yang harus dilakukan setiap manusia. Di sini pendidikan harus menegaskan bahwa tugas manusia adalah mengisi kehidupan dengan kebajikan, bukan justru menebar kejahatan. Makna filosofis dalam diri manusia dan implikasinya bagi pendidikan itu penting diperhatikan agar pendidikan sejalan dengan tujuan pembangunan manusia.

Di sini letak betapa penting pendi- dikan untuk transformasi sosial. Maka dari itu, diperlukan langkah serius mewujudkan pendidikan transformatif. Pertama, perlu memformulasikan kembali konsep pendidikan. Pendidikan sejatinya tak hanya dikaitkan dengan upaya menguasai disiplin ilmu tertentu, tetapi juga membentuk identitas warga agar menyadari tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga.

Kedua, menumbuhkan kesadaran etis dalam pendidikan. Di dalam etika, setiap warga akan memahami tugas dan tanggung jawabnya terhadap orang lain. Begitu pula penindasan dan penyengsaraan sama sekali tidak bisa ditoleransi. Di sini letak penting etika agar dapat membangun kesadaran untuk melawan ketidakadilan. Pada akhirnya, etika dapat menumbuhkan kesadaran terhadap hak asasi manusia.

Ketiga, perlu pendidikan yang memberikan perhatian terhadap keragaman. Pendidikan mempunyai peran yang sangat vital untuk memberikan penyadaran bahwa keragaman merupakan fakta yang tak terbantahkan. Hal ini bisa dilihat dari keragaman identitas dan subyektivitas yang dikonstruksikan secara beragam, bahkan kontradiksionis antara yang satu dan yang lain. Pendidikan multikultural diperlukan agar setiap warga mampu menerima dan memahami fakta keragaman serta menjadikannya sebagai kekuatan untuk membangun bangsa. Demokrasi meniscayakan keragaman dan pendidikan merupakan cara terbaik memberikan pemahaman betapa penting menerima dan menghargai keragaman.

Keempat, pendidikan sejatinya tidak membekukan pengetahuan. Dalam ranah pendidikan, pengetahuan dengan segala perangkatnya, termasuk kurikulum, sejatinya tidak dijadikan "baku" dan "beku". Pengetahuan harus dirangsang agar selalu terbuka diinterpretasi sesuai dengan perkembangan zamannya. Pengetahuan bersifat dinamis.

Kelima, pendidikan harus mendorong lahirnya pengetahuan baru. Sebagai konsekuensi pendidikan yang tidak bersifat statis dan beku, pengetahuan harus terus dilahirkan dan diciptakan. Budaya kritis dan inovasi diperlukan untuk menstimulus lahirnya tesis-antitesis-sintesis yang terus-menerus mendorong lahirnya pengetahuan baru.

Keenam, pendidikan harus meninjau kembali pengertian rasionalitas. Definisi rasionalitas ala masa pencerahan mesti dikritisi karena hanya menganggap rasio sebagai medium untuk menemukan kebenaran. Padahal, ada dimensi historis dan ideologis dalam kebenaran yang dilupakan. Di sinilah batas-batas rasionalitas mesti diperlihatkan.

Ketujuh, perlu pendidikan kritis yang mampu melahirkan kemungkinan baru. Pendidikan kritis sangat penting agar selalu ada koreksi dan kontrol yang memungkinkan nalar publik hidup. Tidak hanya itu, nalar kritik juga diharapkan melahirkan kemungkinan baru dan harapan baru. Dialektika dalam dunia pendidikan mesti ditumbuhkan sehingga merangkaikan budaya keberbedaan yang dinamis dan konstruktif.

Kedelapan, pendidikan mesti menjadikan guru sebagai intelektual transformatif. Pada hakikatnya guru bukan sekadar "profesi". Guru mempunyai peran yang sangat sentral dan strategis karena guru dapat memproduksi ideologi, mengajarkan teori, serta mengaitkannya dengan realitas. Di sini peran guru sangat penting dalam transformasi sosial.

Kesembilan, pendidikan mesti mengembangkan kemampuan "bersuara". Pendidikan sejatinya tidak berpretensi untuk membungkam aspirasi, tetapi justru membukanya agar setiap warga terdorong untuk menemukan identitasnya.

Katalisator transformasi sosial

Beberapa langkah itu jadi penting digelorakan mulai sekarang agar pendidikan dapat jadi katalisator transformasi sosial. Langkah ini penting dilakukan seiring dengan arus perubahan yang tak terhindarkan di ruang publik dengan derasnya arus demokratisasi dan globalisasi. Semuanya itu butuh manusia bermental baja dan berpengetahuan luas. Intinya, pendidikan transformatif sejatinya bertolak dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang menjadikan pendidikan sebagai medium untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Di sini Pancasila salah satu kekuatan sebagai orientasi bagi pendidikan yang humanistik, dialogis, dan reflektif. Dengan demikian, mentransformasikan masyarakat pada hakikatnya mentransformasikan pendidikan. Kita harus lakukan dari sekarang untuk memetik buahnya pada tahun-tahun mendatang sehingga kualitas demokrasi membaik, ekonomi berkembang dan merata, serta berperan signifikan di pentas global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar