Menatap Jauh, Menuju 100 Tahun
Rikard Bagun ;
Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas
|
KOMPAS,
18 Agustus 2015
Bangsa Indonesia sudah diberi
kesempatan, sekurang-kurangnya sudah 70 tahun, untuk mengisi kemerdekaan.
Bagaimana hasil, problem, dan prospeknya?
Terlepas dari segala pencapaian
selama tujuh dasawarsa, Indonesia masih perlu memperkuat visi dan mendorong
konsolidasi program pembangunan dalam mengisi kemerdekaan, yang terkesan
masih banyak kedodoran dalam menegakkan keadilan sosial dan kemakmuran.
Setelah bebas dari penjajahan
(freedom from), setiap negara lazim mendapat tantangan sekaligus peluang
mengisi kemerdekaan (freedom for) untuk mendorong pembangunan, menciptakan
keadilan dan kesejahteraan.
Banyak negara dengan latar
belakang sejarah dan budaya masing-masing cenderung kedodoran dalam mengisi
kemerdekaan. Namun, tidak sedikit negara mampu bergegas mengisi kemerdekaan
seiring perjalanan waktu.
Ibarat besi ditempa selagi panas,
proses perbaikan dan perubahan dipacu berkejaran dengan waktu. Proses
perubahan manusia memang berlangsung dalam waktu yang terus bergerak, tempora
mutantur et nos mutamur in illis. Proses perubahan tidak dicapai dengan
membalikkan telapak tangan, tetapi dengan membanting tulang.
Sekadar ilustrasi bagaimana
sejumlah negara, seperti Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan, berpacu
dengan waktu, bergegas mengisi kemerdekaan. Singapura merupakan contoh jelas
betapa negara dengan daya dukung wilayah, penduduk, dan sumber daya terbatas
bisa menjadi makmur dan maju.
Jauh lebih fenomenal Tiongkok yang
memperlihatkan secara jelas, kemajuan dapat diraih oleh bangsa dengan
kompleksitas persoalan dan tekanan penduduk sangat besar. Tidak kalah menarik
fenomena Korsel yang melesat jauh dalam kemajuan ketimbang Korea Utara meski
sama-sama berpijak pada budaya yang sama.
Kemajuan Singapura, Tiongkok, dan
Korsel antara lain karena kemampuan dan kekuatan manajemen dalam mengelola
pemerintahan dan berbagai sumber dayanya. Bagaimana dengan Indonesia yang
sudah 70 tahun merdeka? Bung Karno sebagai Bapak Bangsa sudah menyebut,
kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan emas menuju negara adil, makmur, dan
sejahtera. Hanya, rupanya perjalanan mengisi kemerdekaan terasa panjang dan
penuh terpaan angin, long and winding road.
Upaya mengisi kemerdekaan
dirasakan semakin sulit dan rumit di tengah kepungan persoalan domestik dan
tantangan persaingan keras di panggung global. Jutaan orang belum bisa hidup
layak, terperangkap di bawah garis kemiskinan. Masih banyak orang kesulitan
memenuhi kebutuhan dasar sebagai ukuran tingkat kesejahteraan.
Tantangan terbesar Indonesia dalam
tahun-tahun mendatang adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan dan keadilan
sosial seperti diamanatkan konstitusi dan ditekankan para pendiri bangsa.
Setiap warga negara diharapkan tidak hanya sejahtera, tetapi juga merasakan
keadilan sosial.
Kesejahteraan tanpa keadilan
sosial akan menciptakan kesenjangan, yang menimbulkan kekecewaan dan
frustrasi, termasuk di negara-negara maju. Rakyat di negara-negara maju,
misalnya, frustrasi bukan karena tidak berkecukupan dalam pemenuhan kebutuhan
dasar sebagai ukuran kesejahteraan, melainkan karena kesenjangan kekayaan.
Sekelompok orang kaya sekali, sementara yang lain hanya cukup untuk memenuhi
berbagai kebutuhan dasar.
Sungguh mengesankan, isu keadilan
sosial mendapat perhatian istimewa oleh para pendiri bangsa, bahkan secara
ideologis dicantumkan dalam Pancasila, khususnya sila kelima. Secara
operasional, ada pandangan, sila-sila Pancasila dapat dilaksanakan dalam
urutan terbalik, mulai dari bawah, dari sila keadilan sosial.
Secara visual, sila kelima
kebetulan berada di urutan paling bawah, ibarat anak tangga yang perlu
ditapaki pertama sebelum melangkah naik. Keadilan sosial, terutama dalam
bidang ekonomi, menjadi tuntutan fundamental untuk bisa merasa senasib dan
seperjuangan sebagai satu bangsa seperti dikemukakan Ernest Renan.
Kesenjangan dan ketimpangan sosial
akan memberi implikasi dan komplikasi rumit bagi berbagai sendi kehidupan
lain. Jika prinsip keadilan sosial ditegakkan, langkah menuju sila ke-4,
ke-3, ke-2, dan ke-1 diyakini akan menjadi kuat dan mantap. Sulit
terbayangkan prinsip demokrasi pada sila ke-4 dapat diwujudkan jika
kesenjangan sosial melebar.
Kualitas demokrasi dipastikan
menjadi rendah di tengah kondisi kemiskinan, keterbelakangan, dan
ketidakadilan. Begitu juga prinsip persatuan Indonesia pada sila ke-3 akan
kedodoran jika keadilan sosial sebagai tangga pertama dan demokrasi sebagai
tangga kedua tidak terwujud. Jika anak tangga pertama, kedua, dan ketiga
sudah kokoh, prinsip kemanusiaan pada sila ke-2 relatif mudah diwujudkan.
Jika anak tangga pertama sampai
keempat dari bawah sudah ditata dengan tangguh, niscaya nilai sila ke-1
sebagai anak tangga terakhir dapat diwujudkan. Alangkah hebatnya, dalam pengertian
Indonesia Hebat, jika nilai-nilai Pancasila diwujudkan dalam kesatuan
komitmen.
Sejauh ini, nilai-nilai penting
dan strategis yang tertuang dalam Pancasila ataupun Mukadimah UUD 1945 masih
menjadi sebatas jargon atau retorika. Hal itu dikhawatirkan hanya akan
melahirkan kesadaran palsu dan tidak memberi sugesti apa-apa untuk
menggerakkan tindakan nyata.
Proses perubahan memang diharapkan
datang dari kalangan elite. Namun, dalam kenyataannya, kaum elite terjebak
dalam pertarungan kepentingan sempit, saling menjatuhkan dalam persaingan
penuh intrik. Upaya mencapai kompromi dan konsensus semakin sulit untuk
memajukan kepentingan bersama sebagai satu bangsa.
Sangat diharapkan akan selalu
tampil pemimpin yang mampu melakukan rekayasa sosial untuk mendorong proses
perubahan dengan visi berjangkauan jauh ke depan. Namun, kemajuan Indonesia
tampaknya akan semakin tergantung pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi berbasis riset. Pilihan strategis tidak akan datang dari
ketajaman pikiran kaum politisi, lebih-lebih yang sudah terjebak dalam
kepentingan sempit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar