Kamis, 20 Agustus 2015

Menatap Jauh, Menuju 100 Tahun

Menatap Jauh, Menuju 100 Tahun

Rikard Bagun  ;   Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas
                                                       KOMPAS, 18 Agustus 2015      

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bangsa Indonesia sudah diberi kesempatan, sekurang-kurangnya sudah 70 tahun, untuk mengisi kemerdekaan. Bagaimana hasil, problem, dan prospeknya?

Terlepas dari segala pencapaian selama tujuh dasawarsa, Indonesia masih perlu memperkuat visi dan mendorong konsolidasi program pembangunan dalam mengisi kemerdekaan, yang terkesan masih banyak kedodoran dalam menegakkan keadilan sosial dan kemakmuran.

Setelah bebas dari penjajahan (freedom from), setiap negara lazim mendapat tantangan sekaligus peluang mengisi kemerdekaan (freedom for) untuk mendorong pembangunan, menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Banyak negara dengan latar belakang sejarah dan budaya masing-masing cenderung kedodoran dalam mengisi kemerdekaan. Namun, tidak sedikit negara mampu bergegas mengisi kemerdekaan seiring perjalanan waktu.

Ibarat besi ditempa selagi panas, proses perbaikan dan perubahan dipacu berkejaran dengan waktu. Proses perubahan manusia memang berlangsung dalam waktu yang terus bergerak, tempora mutantur et nos mutamur in illis. Proses perubahan tidak dicapai dengan membalikkan telapak tangan, tetapi dengan membanting tulang.

Sekadar ilustrasi bagaimana sejumlah negara, seperti Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan, berpacu dengan waktu, bergegas mengisi kemerdekaan. Singapura merupakan contoh jelas betapa negara dengan daya dukung wilayah, penduduk, dan sumber daya terbatas bisa menjadi makmur dan maju.

Jauh lebih fenomenal Tiongkok yang memperlihatkan secara jelas, kemajuan dapat diraih oleh bangsa dengan kompleksitas persoalan dan tekanan penduduk sangat besar. Tidak kalah menarik fenomena Korsel yang melesat jauh dalam kemajuan ketimbang Korea Utara meski sama-sama berpijak pada budaya yang sama.

Kemajuan Singapura, Tiongkok, dan Korsel antara lain karena kemampuan dan kekuatan manajemen dalam mengelola pemerintahan dan berbagai sumber dayanya. Bagaimana dengan Indonesia yang sudah 70 tahun merdeka? Bung Karno sebagai Bapak Bangsa sudah menyebut, kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan emas menuju negara adil, makmur, dan sejahtera. Hanya, rupanya perjalanan mengisi kemerdekaan terasa panjang dan penuh terpaan angin, long and winding road.

Upaya mengisi kemerdekaan dirasakan semakin sulit dan rumit di tengah kepungan persoalan domestik dan tantangan persaingan keras di panggung global. Jutaan orang belum bisa hidup layak, terperangkap di bawah garis kemiskinan. Masih banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar sebagai ukuran tingkat kesejahteraan.

Tantangan terbesar Indonesia dalam tahun-tahun mendatang adalah bagaimana menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial seperti diamanatkan konstitusi dan ditekankan para pendiri bangsa. Setiap warga negara diharapkan tidak hanya sejahtera, tetapi juga merasakan keadilan sosial.

Kesejahteraan tanpa keadilan sosial akan menciptakan kesenjangan, yang menimbulkan kekecewaan dan frustrasi, termasuk di negara-negara maju. Rakyat di negara-negara maju, misalnya, frustrasi bukan karena tidak berkecukupan dalam pemenuhan kebutuhan dasar sebagai ukuran kesejahteraan, melainkan karena kesenjangan kekayaan. Sekelompok orang kaya sekali, sementara yang lain hanya cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar.

Sungguh mengesankan, isu keadilan sosial mendapat perhatian istimewa oleh para pendiri bangsa, bahkan secara ideologis dicantumkan dalam Pancasila, khususnya sila kelima. Secara operasional, ada pandangan, sila-sila Pancasila dapat dilaksanakan dalam urutan terbalik, mulai dari bawah, dari sila keadilan sosial.

Secara visual, sila kelima kebetulan berada di urutan paling bawah, ibarat anak tangga yang perlu ditapaki pertama sebelum melangkah naik. Keadilan sosial, terutama dalam bidang ekonomi, menjadi tuntutan fundamental untuk bisa merasa senasib dan seperjuangan sebagai satu bangsa seperti dikemukakan Ernest Renan.

Kesenjangan dan ketimpangan sosial akan memberi implikasi dan komplikasi rumit bagi berbagai sendi kehidupan lain. Jika prinsip keadilan sosial ditegakkan, langkah menuju sila ke-4, ke-3, ke-2, dan ke-1 diyakini akan menjadi kuat dan mantap. Sulit terbayangkan prinsip demokrasi pada sila ke-4 dapat diwujudkan jika kesenjangan sosial melebar.

Kualitas demokrasi dipastikan menjadi rendah di tengah kondisi kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakadilan. Begitu juga prinsip persatuan Indonesia pada sila ke-3 akan kedodoran jika keadilan sosial sebagai tangga pertama dan demokrasi sebagai tangga kedua tidak terwujud. Jika anak tangga pertama, kedua, dan ketiga sudah kokoh, prinsip kemanusiaan pada sila ke-2 relatif mudah diwujudkan.

Jika anak tangga pertama sampai keempat dari bawah sudah ditata dengan tangguh, niscaya nilai sila ke-1 sebagai anak tangga terakhir dapat diwujudkan. Alangkah hebatnya, dalam pengertian Indonesia Hebat, jika nilai-nilai Pancasila diwujudkan dalam kesatuan komitmen.

Sejauh ini, nilai-nilai penting dan strategis yang tertuang dalam Pancasila ataupun Mukadimah UUD 1945 masih menjadi sebatas jargon atau retorika. Hal itu dikhawatirkan hanya akan melahirkan kesadaran palsu dan tidak memberi sugesti apa-apa untuk menggerakkan tindakan nyata.

Proses perubahan memang diharapkan datang dari kalangan elite. Namun, dalam kenyataannya, kaum elite terjebak dalam pertarungan kepentingan sempit, saling menjatuhkan dalam persaingan penuh intrik. Upaya mencapai kompromi dan konsensus semakin sulit untuk memajukan kepentingan bersama sebagai satu bangsa.

Sangat diharapkan akan selalu tampil pemimpin yang mampu melakukan rekayasa sosial untuk mendorong proses perubahan dengan visi berjangkauan jauh ke depan. Namun, kemajuan Indonesia tampaknya akan semakin tergantung pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis riset. Pilihan strategis tidak akan datang dari ketajaman pikiran kaum politisi, lebih-lebih yang sudah terjebak dalam kepentingan sempit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar