|
KOMPAS,
29 Juni 2013
Kami tahu yang kami mau. Kami mau
pemimpin alternatif dalam Pemilihan Presiden 2014. Kami ingin perubahan
secepatnya. Kami sudah jemu dan muak dengan ulah ndablek segelintir elite
dinasti darah, duit, dan bedil yang korup dan menzalimi rakyat negeri ini.
Demikian kira-kira suasana batin
dan kata hati publik Nusantara umumnya saat ini. Suasana kegandrungan batin
terhadap kandidat presiden alternatif yang mampu menggelindingkan perubahan
cepat ini paling kuat terlacak di kalangan kawula muda perkotaan yang melek
politik dan giat berselancar di jejaring media sosial digital. Para kawula muda
ini bukan saja semakin ketar-ketir atas masa depan mereka masing-masing,
melainkan juga kian risau terhadap hari depan pemerintahan negara dan bangsa.
Mereka pun kian sadar bahwa nasib
pribadi mereka sangat erat terkait dengan keberesan negara dan bangsa. Mereka
sesungguhnya peduli dan ingin aktif berperan dalam percaturan politik. Mereka,
seperti rekan-rekan segenerasi di pemilu Malaysia bulan lalu dengan proporsi
paling kurang 40 persen dari pemegang hak pilih, hampir pasti akan jadi penentu
telak hasil akhir pertaruhan pemilihan umum legislatif ataupun presiden 2014.
Kebuntuan sistemik
Rangkaian gerbong sistem dan proses
suksesi kepemimpinan nasional Indonesia sedang meluncur tanpa kendali ke ujung
kebuntuan.
Keseluruhan proses dalam tatanan
kelembagaan politik saat ini berpotensi menyuguhkan ritual lima tahunan yang
rutin membosankan tanpa gereget. Publik terbelalak saat membaca berita bahwa
daftar calon sementara (DCS) yang sudah diajukan sejumlah parpol untuk Pemilu
Legislatif 2014 sekitar 90 persennya dipenuhi oleh wakil-wakil di Senayan yang
sudah lama melupakan rakyat.
Keterkejutan publik meningkat
menjadi geram karena pada saat yang hampir bersamaan disodori kandidat
presidensial stok lama yang itu-itu lagi: dengan rekam
jejak belang-bonteng, pernah menyakiti bahkan menzalimi rakyat serta
Tanah dan Air Nusantara nan indah ini. Penolakan publik terhadap sistem, proses, dan figur-figur politik yang ditawarkan sejak tahun 2004
terperaga jelas pada proporsi golput, baik dalam laga presidensial maupun dalam
sejumlah pilkada, yang nyaris mendekati 50 persen dari calon pemilih.
Proporsi
golput yang kian membengkak ini bukan tidak mungkin akan mencapai 75 persen
pada 2014.
Kecenderungan itu adalah indikator
paling gamblang sekaligus pahit dari kian meredupnya harapan dan kepercayaan
rakyat pada sistem suksesi yang ada. Suatu sistem yang semakin
berkaraktermoneyctocracy: dari duit, oleh duit, dan untuk duit. Parpol dan
politisi menjadi sumber dan dalang dari bencana kebuntuan politik sistemik.
Perlu terobosan
Suasana hati dan pikiran rakyat
yang kian membenci parpol dan politisi dalam lima tahun terakhir jelas mustahil
dapat ditenteramkan dengan guyuran janji, umbar senyum, dan lambaian tangan di
sejumlah media. Harus ada langkah-langkah terobosan atasi kebuntuan ini.
Kebuntuan sistemik proses suksesi
kepemimpinan nasional yang membayang-bayangi bangsa dan negara setahun ke depan
ini hanya dapat diatasi dua pihak, yaitu parpol sebagai pilar utama
pemegang cratosyang sah dari sistem demokrasi konstitusional di satu pihak
dan demos, rakyat pemilih sebagai sumber sekaligus pemilik kedaulatan sah
di pihak yang lain. Mari kita cermati bersama.
Pertama, terobosan oleh parpol.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa cerah tidaknya nasib negeri dan anak
bangsa ini amat bergantung pada tingkat kepekaan mata, telinga dan nurani
pimpinan parpol mendeteksi denyut suara aspirasi rakyat, khususnya kawula muda
terdidik perkotaan, di luar jajaran parpol. Jika pimpinan parpol benar-benar
terkoneksi dengan suara-suara semangat zaman di luar jajaran parpol, beberapa
sinyal aspirasi utama langsung dapat ditangkap.
Pertama, bersihkan DCS dari
nama-nama: (i) tersangka korupsi; (ii) pembonsai dan pengadang Komisi
Pemberantasan Korupsi; serta (ii) pembolos dan penidur di sidang-sidang DPR/
DPRD. Nama-nama politisi yang termasuk dalam tiga kategori politisi busuk ini
wajib dibersihkan dari DCS karena mereka bukan lagi aset, melainkan beban bagi
parpol dan bangsa.
Langkah terobosan strategis kedua
yang sudah seyogianya diambil parpol adalah mengajukan pasangan presidensial
alternatif. Sejak terpilihnya Jokowi sebagai DKI 1, seharusnya semua parpol
sudah sangat paham bahwa pemimpin seperti itulah yang menjadi idaman publik
yang waras, khususnya para generasi muda.
Seperti dalam pilkada DKI Jakarta
yang lalu, kekuatan karakter kandidatlah yang dominan menentukan elektabilitas
seseorang ketimbang parpol pengusung. Parpol lebih berperan sebagai pemberi
tiket masuk gelanggang Pilpres 2014 dan pemberi tenaga tambahan untuk melaju
lebih cepat.
Para calon muda
Apabila partai-partai politik
benar-benar tanggap ing sasmita dalam membaca semangat dan tuntutan
zaman perpolitikan kontemporer saat ini dengan hanya menoleh dan memberi
kesempatan kepada pasangan presidensial alternatif yang muda, bersemangat, dan
mumpuni dalam kedewasaan pribadi, tegas dalam kebijakan publik dan santun dalam
pelaksanaan, publik Nusantara ini dapat berharap akan masa depan yang penuh
harapan.
Apalagi jika partai-partai yang ada
itu berupaya keras membersihkan DCS pemilihan legislatif dari politisi-politisi
yang sudah kesohor busuknya selama ini. Namun, partai-partai yang ada sekarang
ini tampaknya tak ingin mengajukan pasangan presidensial alternatif ataupun
membersihkan DCS dari tiga kategori politisi busuk di atas. Tak pelak, ancaman golput
mencapai lebih dari 75 persen sehingga pendeligitimasian hasil
pemilu akan
betul-betul menjadi kenyataan pada 2014.
Semoga Tuhan menjauhkan bangsa ini
dari bencana politik yang sungguh potensial mengadang itu. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar