Kamis, 25 Juli 2013

Momentum Membangun Sistem Perlindungan Anak

HARI ANAK NASIONAL 2013
Momentum Membangun Sistem Perlindungan Anak
Giwo Rubianto Wiyogo  ;   Pemerhati Perempuan dan Anak
MEDIA INDONESIA, 24 Juli 2013


SETIAP tahun Indonesia merayakan Hari Anak Nasional (HAN). Itu bermula dari sebuah gagasan untuk mewujudkan kesejahteraan anak. HAN diperingati setiap 23 Juli, sesuai dengan Keppres No 44/1984 pada 19 Juli 1984. Peringatan HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi bangsa Indonesia dalam menghormati, menghargai, dan menjamin hak-hak anak tanpa diskriminatif. Juga memberikan yang terbaik untuk anak serta menjamin semaksimal mungkin kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.

Peringatan HAN juga untuk menggugah dan meningkatkan kesadaran anak akan hak, kewajiban, dan tanggung jawab mereka kepada orangtua, masyarakat, serta kepada bangsa dan negara. Peringatan HAN dimaknai sebagai kepedulian seluruh bangsa terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal sehingga menjadi generasi penerus yang berkualitas, tangguh, kreatif, jujur, sehat, cerdas, berprestasi, dan berakhlak mulia. Selain itu, peringatan HAN merupakan momentum untuk terus berupaya membangun sistem perlindungan anak.

Problem perlindungan anak

Dalam hal pengembangan konsep pendekatan perlindungan anak, di Indonesia sejatinya telah terjadi pergeseran paradigm dari pendekatan berbasis kebutuhan (need-based approach) ke pendekatan berbasis hak (right-based approach). Namun, pada level implementasi, masih ada beragam masalah, di antaranya sebagai berikut.

1) Produk hukum nasional dan daerah belum sepenuhnya mengadaptasi prinsip-prinsip perlindungan anak, bahkan sebagian kerangka hukum justru melemahkan perlindungan anak, 2) Perlindungan anak belum menjadi mainstreaming dalam pembangunan nasional dan daerah. Akibatnya, indeks capaian perlindungan anak masih rendah, 3) Urusan perlindungan anak tersebar di berbagai kementerian/badan/ lembaga negara/pemerintah, tetapi minim koordinasi dan kolaborasi program, bahkan sebagian cenderung sektoral.
4) APBN dan mayoritas APBD di Indonesia belum responsif terhadap hak anak. Indikasinya ialah minimnya alokasi anggaran untuk kepentingan anak dan perlindungan anak.

Dengan kompleksnya pelanggaran hak anak di Indonesia, diperlukan bangunan sistem perlindungan anak yang efektif. Berbagai strategi yang perlu dilakukan meliputi beberapa hal. Pertama, memperkuat layanan penanganan kasus dan pencegahan pelanggaran hak anak. Kedua, memperkuat lembaga pengawasan perlindungan anak, baik dari segi kewenangan maupun kelembagaannya. Apalagi Paris Principles mensyaratkan bahwa setiap komisi HAM nasional bekerja secara independen. Ketiga, melakukan pengawasan secara sistemis atas norma, kebijakan, kelembagaan, program, dan anggaran penyelenggaraan perlindungan anak.

Ramadan kali ini merupakan bulan bersejarah. Pada bulan ini terdapat momentum HAN pada 23 Juli 2013. Momentum tersebut penting menjadi pijakan spirit untuk membangun Indonesia yang ramah anak berdasarkan spirit keislaman.

Apalagi dewasa ini persoalan anak kian kompleks. Seg mentasi masalah anak juga beragam; mulai dari korban kekerasan, perdagangan, dieksploitasi, sampai anak yang harus menghadapi nasib perih karena mereka tak aman menghadapi seorang guru yang galak dan keras kepala di tempat belajar. Ironisnya, sampai saat ini empati semua komponen masyarakat untuk ikut serta menangani masalah anak dapat dihitung jari. Peran ormas keagamaan juga belum optimal. Bahkan belum menjadi prioritas, tenggelam ketimbang respons mereka terhadap isuisu sosial politik lainnya.

Kekerasan berbaju agama

Kekerasan agama merupakan istilah yang penggunaannya sangat luas. Istilah ini digunakan untuk menyebut berbagai fenomena yang terjadi sebagai akibat dari persinggungan antara kekerasan dan doktrin agama. Ia bisa mencakup (1) kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok, baik dari agama yang sama maupun berbeda agama, yang didorong motivasi keagamaan; (2) kekerasan yang dilakukan individu atau kelompok dengan cara mengucilkan, mempekerjakan yang tidak sesuai dengan hak dasar insani; dan (3) kekerasan berupa perusakan atau penistaan terhadap objek atau simbol keagamaan seperti kitab suci, nabi, dan tempat peribadatan.

Berdasarkan pengertian tadi, bentuk dan jenis kekerasan agama memiliki banyak macam dan ragam. Salah satu fenomena yang cukup serius dewasa ini ialah kekerasan pada anak. Tidak sedikit anak dipukul orangtua dengan motivasi agar mereka menjadi taat; karena taat dipandang sebagai indikator kunci anak saleh.
Lembaga pendidikan sebagai wadah fasilitasi dan pengembangan dan multipotensi terkadang justru keluar dari frame sesungguhnya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa guru masih perlu belajar lebih banyak tentang psikologi anak dan manajemen pengelolaan kelas. Dalam beberapa kasus, anak dipandang sebagai pihak yang pasif, sedangkan guru sebagai pemegang otoritas segalanya. Misalnya ketika anak yang kritis terhadap apa yang disampaikan guru dipandang sebagai anak yang bandel, tidak taat aturan, bahkan dikategorikan sebagai bukan anak saleh.

Dalam bahasa agama, istilah saleh pada umumnya masih dipahami secara tekstual. Indikator anak yang saleh yang penurut, kalau diperintah ke mana saja mau, pendiam, selalu mendengarkan instruksi orangtua/guru. Pengalaman di beberapa pesantren, anakanak mudah digerakkan oleh para guru, baik ke arah positif maupun negatif. Secara positif, anak-anak diajak mengikuti kegiatan yang mengasah potensi. Adapun yang mengarah ke perbuatan negatif yaitu cenderung menggunakan `baju' saleh/ salehah untuk mempekerjakan mereka di bawah umur.

Dalam Islam banyak ayat atau hadis yang menjelaskan pentingnya perlindungan anak. Namun secara institusional, itu semua belum menjadi simpul yang menggerakkan perlindungan bagi anak secara masif. Misalnya, lembaga zakat dan sedekah lainnya tidak berfungsi secara maksimal, kecuali sifatnya ritual dan karikatif.


Allah berfirman dalam Surah Al-Maa“uun ayat 1-3 dan 7... “Tahukah kamu yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin...dan enggan menolong dengan barang berguna.“ Ayat tersebut menggambarkan kewajiban kepada kita untuk memberikan perlindungan pada anak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar