|
KOMPAS,
24 Juli 2013
Transparency International yang
berbasis di Berlin, Jerman, kembali merilis Global
Corruption Barometer 2013, Selasa (9/7). Indonesia termasuk salah satu dari
107 negara yang disurvei. Hasilnya, lima lembaga publik (the big five) dikategorikan sebagai lembaga terkorup, yaitu
kepolisian (4,5), parlemen (4,5), pengadilan (4,4), partai politik (4,3), dan
pegawai negeri sipil (4,0).
Hasil survei ini tidaklah
mencengangkan jika kita melihat situasi lembaga-lembaga publik tersebut saat
ini. Wabah korupsi seakan telah menulari seluruh cabang kekuasaan negara, baik
di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Tingkat korupsi yang begitu tinggi
ternyata tidak diimbangi dengan aksi-aksi pemberantasan korupsi secara masif di
semua cabang kekuasaan negara. Akibatnya, beberapa program pemberantasan
korupsi yang digagas beberapa lembaga publik tenggelam dalam pusaran korupsi
itu sendiri.
Aksi antikorupsi
Jika melihat ke belakang,
pemerintahan SBY dalam rezim Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Kedua ini telah
melahirkan beberapa rencana dan aksi pemberantasan korupsi. Selama tiga tahun
berturut-turut (2011- 2013) Presiden telah menelurkan tiga instruksi,
masing-masing Inpres No 9/2011, Inpres No 17/2011, dan Inpres No 1/2013.
Bahkan, Presiden telah menetapkan sebuah ketentuan setingkat peraturan presiden
(perpres) yang mengatur tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan
korupsi jangka panjang (2012-2025) dan jangka menengah (2012-2014).
Lalu, apa dampak yang bisa
dirasakan publik atas inisiatif ini dalam mengurangi korupsi setidaknya di
level kekuasaan eksekutif? Mengingat dua lembaga publik yang bernaung di bawah
cabang kekuasaan eksekutif (kepolisian, pegawai negeri sipil/birokrasi) menjadi
bagian dari lembaga terkorup.
Jika ditelisik lebih jauh,
kepolisian merupakan salah satu lembaga utama pelaksana inpres yang
diperintahkan Presiden untuk melakukan tindakan pencegahan dan penindakan yang
terkait korupsi. Lambannya proses di internal kepolisian untuk melakukan
pembersihan disebabkan kuatnya resistensi dari dalam. Di lain pihak, Presiden
sebagai pemimpin tertinggi tak menggunakan kekuasaannya untuk ”memaksa”
kepolisian menjalankan inpres secara benar.
Pada sisi yang lain, korupsi yang
melibatkan petinggi di kepolisian diduga kuat menjadi pemicu minimnya apresiasi
publik atas upaya pemberantasan korupsi di kepolisian. Kasus yang menimpa bekas
Kepala Korlantas Polri Djoko Susilo menjadi contoh kasus korupsi yang
mendapatkan sorotan luar biasa dari masyarakat dan media.
Sorotan ini tentu saja disebabkan
kualitas kasusnya yang memang dikategorikan sebagai kasus besar. Ini bisa
dilihat dari dugaan kejahatan yang didakwakan, tidak hanya dalam kasus korupsi,
tetapi juga dalam kasus pencucian uang (money laundering). Di lain pihak,
kepolisian juga seperti tersandera kasus masa lalu yang tak pernah
diselesaikan. Kasus rekening gendut petinggi Polri yang tidak pernah dibuka ke
hadapan publik juga menjadi contoh betapa resistennya Polri terhadap prinsip
transparansi yang dijamin oleh undang-undang keterbukaan informasi publik.
Hal yang sama juga berlaku bagi
birokrasi, reformasi birokrasi yang telah digaungkan semenjak tahun 2006 tidak
juga mampu mengubah kultur birokrasi yang korup. Birokrasi sebagai ujung tombak
pelayanan publik ternyata juga dianggap oleh sebagian masyarakat masih
bergelimang korupsi.
Politik antikorupsi
Dalam catatan GCB sejak 2003,
parlemen dan parpol menjadi lembaga yang selalu masuk dalam kategori lembaga
terkorup. Keduanya memiliki hubungan ketergantungan, ketika parpol dianggap
korup, parlemen juga akan korup, begitu juga sebaliknya. Pandangan ini begitu
mudah dibuktikan, lebih dari 80 persen anggota parlemen berasal dari parpol
(DPR), sementara sisanya berasal dari daerah/perseorangan (DPD).
Maka, sangat
beralasan ketika masyarakat mempersepsikan kualitas parlemen sama dengan
kualitas parpol.
Untuk itu, pola pemberantasan
korupsi harus dimulai dari dua aras yang berhubungan ini. parpol harus dipaksa
menerapkan prinsip antikorupsi dalam pengelolaan institusinya. Setidaknya ada
dua hal yang bisa dilakukan. Pertama, parpol wajib hukumnya menerapkan
transparansi atas sumber dana politik mereka. Ini penting dilakukan agar parpol
tidak menjadi institusi yang menampung dan ”mencuci” dana-dana ”haram”.
Kedua, partai harus mampu menjadi
alat kontrol bagi anggota parlemen yang melakukan tindakan berseberangan dengan
upaya pemberantasan korupsi. Hal itu misalnya sikap anggota DPR yang mendukung
upaya pelemahan dan melucuti kewenangan KPK melalui perubahan undang-undang.
Bahkan, wacana pembubaran KPK juga berasal dari anggota parlemen yang notabene
adalah anggota parpol.
Partai semestinya memberikan sanksi
yang tegas, atau bahkan pemecatan, terhadap anggota parlemen yang secara nyata
melawan arus pemberantasan korupsi. Karena jika tidak, parpol bisa dipandang
melakukan pembiaran atau bahkan dukungan kepada anggotanya tersebut. Artinya,
baik parpol maupun parlemen memang sama korupnya.
Semua situasi ini tentu tidak
menggembirakan bagi pemberantasan korupsi, tidak hanya pada ranah eksekutif dan
legislatif, tetapi ranah yudisial (pengadilan) juga dipandang sebagai lembaga
terkorup. Artinya, semua cabang kekuasaan negara (trias politica) memang telah dirasuki virus korupsi.
Ke depan perlu ada langkah yang
lebih besar dalam menciptakan iklim antikorupsi di semua institusi publik.
Strategi dan aksi antikorupsi tidak hanya dikembangkan oleh satu cabang
kekuasaan saja, tetapi oleh semua lembaga. Ketiga cabang kekuasaan ini telah
menjadi barometer korupsi di Indonesia, itu artinya semua institusi sudah
seharusnya merancang aksi antikoruspi dan menerapkan politik antikorupsi di
institusinya masing-masing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar