|
KOMPAS,
24 Juli 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun
2012 yang lazim disebut PP Pajak Usaha Kecil dan Menegah, membebankan pajak 1
persen dari penghasilan bruto alias penghasilan kotor UKM. Muncullah pro dan
kontra, karena pelaku usaha dari kecil sampai besar lazim mengetahui bahwa
penghasilan bruto yang tinggi tidak otomatis mencerminkan besaran laba yang
tinggi, bahkan belum tentu ada labanya.
Dua orang
dengan penghasilan bruto yang sama belum tentu mendapatkan laba yang sama pula,
tergantung pada biaya yang telah dikeluarkan.
Bahkan apabila
biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada pendapatan kotornya, maka orang
tersebut berada dalam keadaan merugi. Peraturan Pemerintah (PP) Pajak Usaha
Kecil dan Menegah (UKM) tidak memperhatikan besaran laba ini. Tidak peduli
wajib pajak yang dalam keadaan yang merugi sekalipun, ia tetap harus membayar
pajak.
Dari kajian
terhadap peraturan perundang-undangan Indonesia terlihat indikasi bahwa PP
Pajak UKM ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang
terakhir diubah dengan Undang-Undang No 36/2008 (Undang-Undang Pajak
Penghasilan/PPh).
Sistem hukum
Indonesia menggariskan bahwa suatu peraturan pemerintah atas pembebanan pajak
penghasilan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus mengacu pada dan atas
dasar amanat/perintah undang-undang.
Selain itu, PP
yang terbit tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang
dijadikan acuannya (asas lex
superior derogat legi inferiori).
Dalam bagian
menimbang dari PP Pajak UKM tercantum bahwa salah satu dasar PP ini ialah pasal
4 ayat (2) huruf e. Pasal tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah untuk
mengeluarkan PP yang mengenakan pajak yang bersifat final (tidak diperhitungkan
dengan penghasilan lainnya) terhadap suatu penghasilan tertentu.
Kata
“penghasilan tertentu” kemudian oleh PP Pajak UKM ditafsirkan sebagai peredaran
(penghasilan) bruto dari wajib pajak per tahunnya berjumlah di bawah Rp 4,8
miliar.
Penafsiran
suatu klausul dalam undang-undang tidak dapat dilakukan secara bebas. Terkait
dengan klausul pasal 4 ayat (2) huruf e yang dijadikan dasar PP Pajak UKM,
penafsirannya terikat pada ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh yang
memberikan ketentuan mengenai atas dasar apa pajak itu dibebankan.
Dalam hal ini,
dasar tersebut adalah penghasilan, yang didefinisikan sebagai ”setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan”.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa pajak penghasilan tidak dibebankan atas seorang wajib
pajak yang berada dalam kondisi bahwa kekayaannya berkurang atau tidak menerima
tambahan kemampuan ekonomis (impas atau rugi).
Untuk dapat
menghitung pembebanan pajak dari penambahan kemampuan ekonomis sebenarnya,
berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang PPh, biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan tersebut dikurangkan dari penghasilan
bruto.
Dengan kata
lain, Undang-Undang PPh mengamanatkan bahwa penghasilan yang menjadi dasar
perhitungan pembebanan pajak adalah penghasilan bersih (neto). Terlihat jelas
bahwa PP Pajak UKM bertentangan dengan Undang-Undang PPh Pasal 4 Ayat (1) dan
Pasal 6 Ayat (1).
PP Pajak UKM
dalam bagian menimbangnya juga mencantumkan dasar lain selain Pasal 4 Ayat (2)
huruf e Undang-Undang PPh, yaitu Pasal 17 Ayat (7) Undang-Undang PPh, yang
mengatur wewenang pemerintah untuk menetapkan tarif untuk pajak yang bersifat
final, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) huruf e.
Sebagaimana
halnya pasal 4 ayat (2) huruf e, pasal 17 ayat (7) ini juga harus dibaca sesuai
dengan pasal 4 ayat (1), yaitu bahwa dasar perhitungan pembebanan pajaknya
adalah penghasilan neto.
Oleh karena PP
Pajak UKM bertentangan dengan Undang-Undang PPh, Mahkamah Agung, sesuai dengan
Pasal 20 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No 48/2009, dapat menerima permohonan
untuk menguji kesahan PP Pajak UKM tersebut (judicial review).
Suatu PP yang
tidak sah, berikut peraturan pelaksanaan turunannya, tak memiliki kekuatan
hukum, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar hukum pengenaan pajak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar