Kamis, 25 Juli 2013

‘Judicial Review’ atas PP Pajak UKM

‘Judicial Review’ atas PP Pajak UKM
Indra Muliawan  ;   MnP Lawfirm,
Spesialisasi Hukum Pajak Internasional dan Hukum Energi
KOMPAS, 24 Juli 2013


Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2012 yang lazim disebut PP Pajak Usaha Kecil dan Menegah, membebankan pajak 1 persen dari penghasilan bruto alias penghasilan kotor UKM. Muncullah pro dan kontra, karena pelaku usaha dari kecil sampai besar lazim mengetahui bahwa penghasilan bruto yang tinggi tidak otomatis mencerminkan besaran laba yang tinggi, bahkan belum tentu ada labanya.
Dua orang dengan penghasilan bruto yang sama belum tentu mendapatkan laba yang sama pula, tergantung pada biaya yang telah dikeluarkan.
Bahkan apabila biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada pendapatan kotornya, maka orang tersebut berada dalam keadaan merugi. Peraturan Pemerintah (PP) Pajak Usaha Kecil dan Menegah (UKM) tidak memperhatikan besaran laba ini. Tidak peduli wajib pajak yang dalam keadaan yang merugi sekalipun, ia tetap harus membayar pajak.
Dari kajian terhadap peraturan perundang-undangan Indonesia terlihat indikasi bahwa PP Pajak UKM ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang terakhir diubah dengan Undang-Undang No 36/2008 (Undang-Undang Pajak Penghasilan/PPh).
Sistem hukum Indonesia menggariskan bahwa suatu peraturan pemerintah atas pembebanan pajak penghasilan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus mengacu pada dan atas dasar amanat/perintah undang-undang.
Selain itu, PP yang terbit tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang dijadikan acuannya (asas lex superior derogat legi inferiori).
Dalam bagian menimbang dari PP Pajak UKM tercantum bahwa salah satu dasar PP ini ialah pasal 4 ayat (2) huruf e. Pasal tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mengeluarkan PP yang mengenakan pajak yang bersifat final (tidak diperhitungkan dengan penghasilan lainnya) terhadap suatu penghasilan tertentu.
Kata “penghasilan tertentu” kemudian oleh PP Pajak UKM ditafsirkan sebagai peredaran (penghasilan) bruto dari wajib pajak per tahunnya berjumlah di bawah Rp 4,8 miliar.
Penafsiran suatu klausul dalam undang-undang tidak dapat dilakukan secara bebas. Terkait dengan klausul pasal 4 ayat (2) huruf e yang dijadikan dasar PP Pajak UKM, penafsirannya terikat pada ketentuan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh yang memberikan ketentuan mengenai atas dasar apa pajak itu dibebankan.
Dalam hal ini, dasar tersebut adalah penghasilan, yang didefinisikan sebagai ”setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan”.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pajak penghasilan tidak dibebankan atas seorang wajib pajak yang berada dalam kondisi bahwa kekayaannya berkurang atau tidak menerima tambahan kemampuan ekonomis (impas atau rugi).
Untuk dapat menghitung pembebanan pajak dari penambahan kemampuan ekonomis sebenarnya, berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang PPh, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut dikurangkan dari penghasilan bruto.
Dengan kata lain, Undang-Undang PPh mengamanatkan bahwa penghasilan yang menjadi dasar perhitungan pembebanan pajak adalah penghasilan bersih (neto). Terlihat jelas bahwa PP Pajak UKM bertentangan dengan Undang-Undang PPh Pasal 4 Ayat (1) dan Pasal 6 Ayat (1).
PP Pajak UKM dalam bagian menimbangnya juga mencantumkan dasar lain selain Pasal 4 Ayat (2) huruf e Undang-Undang PPh, yaitu Pasal 17 Ayat (7) Undang-Undang PPh, yang mengatur wewenang pemerintah untuk menetapkan tarif untuk pajak yang bersifat final, sesuai dengan pasal 4 ayat (2) huruf e.
Sebagaimana halnya pasal 4 ayat (2) huruf e, pasal 17 ayat (7) ini juga harus dibaca sesuai dengan pasal 4 ayat (1), yaitu bahwa dasar perhitungan pembebanan pajaknya adalah penghasilan neto.
Oleh karena PP Pajak UKM bertentangan dengan Undang-Undang PPh, Mahkamah Agung, sesuai dengan Pasal 20 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang No 48/2009, dapat menerima permohonan untuk menguji kesahan PP Pajak UKM tersebut (judicial review).
Suatu PP yang tidak sah, berikut peraturan pelaksanaan turunannya, tak memiliki kekuatan hukum, dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar hukum pengenaan pajak. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar