|
INDOPROGRESS,
24 Juli 2013
PADA 14
Mei, 2013, dunia Islam kehilangan salah satu putra terbaiknya, Asghar Ali
Engineer, penulis dan aktivis Islam progresif asal India, yang
menghembuskan napas terakhirnya. Sebagaimana kata pepatah, manusia mati
meninggalkan nama, begitupun juga Engineer. Pemikir yang terkenal dengan
kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif ini, meninggalkan begitu
banyak buah pemikiran yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi
pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan
dan masih banyak lagi. Sebagai bagian dari apresiasi atas kontribusi Asghar Ali
Engineer yang begitu besar bagi dunia Islam, negara-negara dunia ketiga, dan
gerakan progresif pada umumnya, tulisan ini didedikasikan untuk mengulas
pemikiran-pemikiran Engineer dan relevansinya di masa kini.
Dikarenakan
banyaknya jumlah dan luasnya cakupan karya-karya Engineer, adalah mustahil
untuk membahasnya secara mendetail. Oleh karena itu, saya akan fokus kepada
beberapa tema utama dalam pemikiran Engineer, yaitu sejarah Islam, teologi
pembebasan, negara dan masyarakat dan studi konflik komunal.
Sekilas tentang Asghar Ali
Engineer
Asghar
Ali Engineer lahir di Salumbar, Rajasthan, pada 10 Maret 1939. Ayahnya, Shaikh
Qurban Hussain, adalah seorang ulama di komunitas Muslim Dawoodi Bohra, sebuah
cabang dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah. Komunitas Dawoodi Bohra pada
masa awal perkembangannya sempat mengalami persekusi baik dari komunitas Sunni
maupun Syiah arus utama, sebelum kemudian mereka bermigrasi ke India dan aktif
dalam dunia perdagangan dan proyek-proyek komunitas dan filantropis, seperti
pembangunan sekolah, rumah sakit, perumahan dan fasilitas umum lainnya, seminar
dan berbagai program pendidikan komunitas, serta promosi kesenian dan arsitektur
Islam. Dalam konteks inilah Engineer tumbuh. Sedari kecil, Engineer juga
menekuni studi Islam dari berbagai aspeknya.
Sebelum memfokuskan dirinya
pada dunia pemikiran dan aktivisme, Engineer berprofesi sebagai insinyur di
kota Mumbai selama 20 tahun. Kebetulan, sewaktu kuliah, ia mengambil jurusan
teknik sipil di Universitas Vikram. Latar belakang inilah yang menyebabkan ia
mendapat julukan ‘Engineer.’ Selama karirnya, ia mendirikan dan mengepalai
sejumlah lembaga yang bergerak dalam penyebaran ide-ide progresif,
seperti Institute of Islamic Studies, Center for Study of Society and
Secularism danAsian Muslim Action Network, dan
menjadi editor sejumlah jurnal seperti Indian Journal of Secularism,
Islam and Modern Age dan Secular Perspective. Tidak
hanya itu, Engineer adalah seorang pemikir yang amat produktif, menulis lebih
dari 50 buku dan ratusan artikel lainnya, baik populer maupun ilmiah. Semasa
hidupnya, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman masyarakat
di India. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga
disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.
Islam dan Teologi Pembebasan
menurut Asghar Ali Engineer
Dalam kajian sejarah Islam
dan teologi pembebasan, kita dapat melihat pokok-pokok pemikiran Engineer dalam
salah satu karyanya Islam and Its Relevance to Our
Age (1987). Di sini, sebagaimana diungkapkan oleh para pengkaji
karya Engineer dan Engineer sendiri, kita juga dapat melihat pengaruh Marxisme
dalam analisa Engineer mengenai sejarah Islam dan konsepsinya tentang teologi
pembebasan. Menurut Engineer, kedatangan Islam di jazirah Arab merupakan sebuah
momen yang revolusioner. Perlu diingat, bahwa terdapat banyak kontradiksi dalam
masyarat Arab pra-Islam waktu itu: di satu sisi, masyarakat Arab pra-Islam
memiliki tradisi kesusastraan dan perdagangan yang kuat, namun, di sisi lain,
terdapat perbagai penindasan atas berbagai kelompok dalam masyarakat tersebut –
seperti perempuan, kelas bawah dan para budak. Yang revolusioner dari ajaran
Nabi Muhammad adalah tuntutan-tuntutannya yang bersifat egalitarian: seruan
atas tatanan sosial yang egaliter baik dalam ritual (seperti shalat dan zakat),
kehidupan sosial (penghapusan perbudakan secara perlahan-lahan),
ekonomi-politik (penentangan atas akumulasi kekayaan dan monopoli ekonomi oleh
sejumlah pedagang besar yang bersifat eksploitatif) dan hubungan antar agama
(dengan para penganut agama lain). Tetapi, seruan revolusioner yang universal
dari Al-Qur’an ini juga tidak melupakan konteks sosial masyarakat Arab
pra-Islam waktu itu: penghapusan perbudakan misalnya, dilakukan secara gradual.
Di sini, kita dapat melihat sebuah pola pembacaan yang menarik dari Engineer:
ada unsur teologis dan transedental dari sejarah munculnya Islam, namun ia tidak
menegasikan atau menafikan peranan manusia dalam membuat sejarah itu. Pembacaan
‘materialis’ atas sejarah Islam ini juga mempengaruhi rumusan Engineer mengenai
teologi pembebasan. Engineer memulai pembahasannya mengenai sejarah sosial
berbagai variasi teologi pembebasan dalam Islam. Saya menyebutnya sebagai
‘sejarah sosial’ karena Engineer tidak hanya membahas pemikiran berbagai aliran
teologis dalam Islam namun juga berusaha mengaitkannya dengan konteks
sosial-politik di mana aliran atau mazhab tersebut muncul. Sejumlah aliran
teologi yang dibahas oleh Engineer antara lain adalah Mu’tazilah, Qaramitah dan
Khawarij.
Alirah Mu’tazilah muncul di
masa kenaikan Kekhalifahan Abbasiyah yang menantang Kekhalifan Umayyah yang
mulai bersifat eksploitatif dan opresif. Kehalifahan Abbasiyah mendapat
dukungan ‘dari bawah’ dari rakyat, terutama kelompok-kelompok non-Arab, dan
‘dari atas’, terutama dari para elit kelompok Persia. Karenanya, di masa awal
perkembangan Kekhalifahan Abbasiyah, iklim pemerintahannya cenderung lebih
terbuka dan inklusif: cendekiawan Persia diakomodir dalam kekuasaan,
penerjemahan karya-karya sains dan filsafat dari Yunani dan India dipromosikan
dan hak-hak masyarakat non-Arab lebih diakomodir. Dalam konteks inilah, aliran
Mu’tazilah, yang mempromosikan teologi rasional dan peranan usaha (ikhtiyar) serta kebebasan manusia dalam menentukan
nasibnya (Qadariyah), muncul. Ironisnya, ketika Kekhalifahan
Abbasiyah mulai bersifat opresif dan mempersekusi lawan-lawan politiknya,
aliran Mu’tazilah kemudian dijadikan dogma: aliran Mu’tazilah dijadikan paham
teologi resmi negara oleh Khalifah Al-Ma’mun, dan mereka yang menolak atau
mengkritisi beberapa ajaran dari Mu’tazilah tidak hanya dicap ‘sesat’ namun
juga ‘pembangkang’ terhadap pemerintah dan dihukum. Imam Hambali, pendiri
Mazhab Hambali, bahkan tidak luput dari hukuman ini.
Aliran
Qaramitah juga muncul dalam konteks penentangan atas Kekhalifahan Umayyah.
Aliran Qaramitah berasal dari tradisi Isma’ili dalam Islam Syi’ah, yang juga
terpengaruh oleh ide-ide kebebasan manusia ala Mu’tazilah dan filsafat Yunani
dalam perlawanannya atas Kekhalifahan Umayyah. Kelompok Isma’ili bahkan tetap
melanjutkan perlawanannya di masa Kekhalifahan Abbasiyah yang mulai menampakkan
tendensi opresifnya. Namun, dalam perkembangannya, kelompok Isma’ili kemudian
mendirikan Kekhalifahannya sendiri, Kekhalifahan Fatimiyah, memberi justifikasi
terhadap politik ekspansi imperium. Aliran Qaramitah adalah ‘pecahan’ dari
kelompok Isma’ili yang tetap berkomitmen terhadap politik revolusioner dan
melawan baik Kekhalifahan Abbasiyah maupun Kekhalifahan Fatimiyah. Bahkan,
aliran Qaramitah berusaha menghapuskan kepemilikan pribadi dan mengorganisir
berbagai komune. Salah satu tokoh sufi terkemuka, Al-Hallaj, juga merupakan
anggota dari aliran Qaramitah yang kemudian dihukum mati oleh Kekhalifahan
Abbasiyah dengan tuduhan konspirasi untuk menjatuhkan rejim.
Aliran
Khawarij, yang awalnya adalah pendukung Khalifah Keempat dalam Islam, Ali bin
Abi Thalib, yang kemudian membangkang, lebih terkenal dengan doktrinnya ‘tidak
ada hukum kecuali hukum Tuhan’, memiliki kebiasaan untuk mengkafirkan kelompok
Islam lain di luar mereka dan aksi-aksi teroristiknya. Namun, terlepas dari
perkembangannya di kemudian hari, menurut Engineer, aliran Khawarij sesungguhnya
merupakan ekspresi politik dari kelompok Arab Badui, kaum ‘proletariat
internal’ dalam Islam, mengutip istilah Toynbee, dalam menanggapi krisis
kepemimpinan dalam masyarakat Muslim pada waktu itu. Mengutip Mahmud Isma’il,
menurut Engineer, aliran atau faksi Khawarij sesungguhnya mempromosikan
semangat keadilan kolektif yang terpinggirkan di tengah pertarungan politik
seputar kepemimpinan atas masyarakat Muslim.
Singkat kata, dalam
eksplorasinya atas sejarah awal Islam dan sejarah sosial teologi pembebasan
dalam Islam, Engineer berusaha menunjukkan beberapa hal. Pertama, ada tradisi dan kesinambungan sejarah
teologi pembebasan dari masa awal Islam hingga sekarang. Kedua,pembacaan ‘materialis’ dan ‘sejarah sosial’ atas
masyarakat Islam membantu kita lebih memahami potensi ide-ide egalitarian dalam
Islam dan relevansinya bagi masyarakat modern – tanpa memahami konteks sejarah
ini, tentu kita akan merasa aneh melihat pembahasan atas aliran Mu’tazilah yang
rasional dan aliran Khawarij yang ekstrimis dalam satu tarikan napas. Ketiga, dan yang paling utama, Engineer kemudian
menawarkan rumusannya atas teologi pembebasan dalam Islam: dalam pertentangan
antara kaum Mustakbirin (penindas) dan Mustadh’afin (tertindas), maka agama
harus berpihak kepada mereka yang tertindas demi mewujudkan tatanan sosial yang
egaliter dan bebas dari eksploitasi.
Isu-isu Kontemporer dalam
Pandangan Asghar Ali Engineer
Sebagai
aktivis sosial, Engineer juga aktif dalam berbagai mempelajari isu-isu
kontemporer seperti hubungan agama-negara, hak-hak perempuan dan kaum
minoritas, isu-isu pembangunan dan hubungan antar etnis. Di waktu kecil,
Engineer sendiri sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang Muslim. Agaknya,
pengalaman itu juga yang membentuk pandangan Engineer mengenai berbagai isu
kontemporer. Benang merah yang menyatukan pandangan Engineer atas isu-isu
tersebut adalah pentingnya menghindari esensialisme alias kecenderungan untuk
melihat fenomena sosial sebagai kesatuan yang monolitik.
Dalam tulisannya
tentang hak-hak perempuan dalam Islam (2006), Engineer menyadari bahwa
ada diskriminasi dan marginalisasi atas hak-hak perempuan dalam masyarakat
Islam. Namun, Engineer juga berhati-hati di sini: patriarkhi dan pengekangan
hak-hak perempuan bukanlah sesuatu yang unik yang melekat pada masyarakat
Islam. Dengan kata lain, bukan Islamnya, melainkan patriarkhinya yang
bermasalah. Patriarkhi, menurut Engineer, terjadi karena kenyataan sosiologis
dalam perkembangannya seringkali dianggap sebagai konsep atau doktrin teologis
(hlm. 166). Kesimpulan yang sama dapat kita lihat dalam analisanya mengenai
hubungan agama-negara (2009). Engineer mengingatkan bahwa institusi keagaaman
bukanlah institusi yang serta merta suci; ia tidak terlepas dari berbagai
kepentingan ‘duniawi.’ Engineer juga menyerukan pentingnya ‘mengembangkan
kritik yang jujur atas otoritarianisme dalam sejarah kaum Muslim’ (hlm. 117).
Karenanya, meskipun Engineer mempromosikan nilai-nilai agama dalam bentuknya
yang paling spiritual sekaligus paling progresif, ia juga kritikus terdepan
atas berbagai bentuk politisasi dan fundamentalisme agama, baik di negerinya
sendiri, India, maupun di negara-negara berpenduduk Muslim lain seperti
Pakistan. Posisi Engineer mengenai hubungan agama-negara dan hak-hak kaum
minoritas mengingatkan saya atas ide ‘toleransi kembar’ (twin tolerations) yang dipromosikan oleh Alfred Stepan
(2000), yaitu ada perbedaan antara otoritas keagamaan dan politik sekaligus
kebebasan bagi otoritas keagamaan untuk menyebarkan idenya dan mempengaruhi pengikutnya
tanpa memegang kekuasaan politik secara langsung. Agaknya, posisi Engineer
tidaklah jauh berbeda dengan ide ini.
Bidang lain yang sangat
ditekuni oleh Engineer adalah studi konflik dan hubungan antar etnis. Engineer
tidak hanya menulis artikel reguler di harian Economic and Political Weekly mengenai
kondisi hubungan antar etnis di India, namun juga melakukan studi yang mendalam
atas berbagai komunitas minoritas termasuk komunitas Muslim di India. Dalam
studi-studinya, Engineer berusaha memperlihatkan kapasitasnya sebagai seorang
ilmuan. Pertama, ia berusaha menggabungkan metode-metode
sejarah dan antropologis dalam berbagai studinya tentang kelompok minoritas.Kedua, dalam melakukan studinya ia berkolaborasi
dengan berbagai institusi dan ilmuwan-aktivis yang lain. Ketiga, studi yang mendalam ini juga dijadikan
‘senjata’ bagi Engineer untuk mempromosikan harmoni, toleransi dan pengertian
dalam hubungan antar etnis. Prinsip-prinsip ini dapat dilihat misalnya
dalam studinya tentang komunitas Muslim di Gujarat (1989). Sekali lagi, benang
merah yang menyatukan berbagai studi Engineer tentang komunitas Muslim dan
minoritas adalah pandangannya yang anti-esensialis: Engineer menunjukkan bahwa
terdapat keberagaman yang begitu luar biasa dalam komunitas Muslim, dan,
komunitas Muslim tidaklah kurang kadar ‘keIndiaan’nya dibandingkan komunitas
dan kelompok etnis yang lain.
Bukan
kebetulan jika Engineer juga mendukung ‘nasionalisme campuran’ alih-alih
nasionalisme Muslim ala Liga Muslim yang dipandangnya agak sektarian. Ia
menyatakan kekagumannya terhadap Jami’atul Ulama ‘il-Hindi, sebuah organisasi
Muslim yang mendukung perjuangan kemerdekaan India dan integrasi masyarakat
Muslim ke dalam masyarakat India (2009).
Terakhir,
Engineer juga merupakan seorang kritik atas praktek-praktek pembangunan yang
eksploitatif. Ia misalnya, mengkritik rejim Jendral Zia-ul-Haq di Pakistan yang
mempromosikan ‘Islamisasi’ dalam artiannya yang sempit namun menolak
program-program nasionalisasi sektor-sektor ekonomi strategis, reformasi
pertanahan dan kebijakan-kebijakan lain yang bersifat redistribusionis. Di
India, secara konsisten ia juga menolak politik sayap kanan yang dipromosikan
oleh Partai BJP yang mempromosikan fundamentalisme Hindu di satu sisi dan
kebijakan neoliberal di sisi lain.
Penutup: Engineer dan Kita
Melihat
kiprah Asghar Ali Engineer, kiranya tak berlebihan apabila kita memberinya
label ini: intelektual organik. Dedikasi
dan komitmen Engineer tentu bukan tanpa resiko. Beberapa kali ia mendapat
ancaman dan kritik dari lawan-lawannya dan mereka yang tidak menyukai
gagasannya. Namun, ia tetap menulis, bekerja dan melawan. Ketika
nasib masyarakat makin mengenaskan, penguasa makin lalai dan para intelektual
hanya doyan berdiskusi, warisan Engineer terasa semakin relevan.
Selamat Jalan, Dr. Engineer.
Di tengah-tengah bulan puasa ini, sosoknya menjadi pengingat bagi kita semua:
ia tidak menghamba, mengawang-ngawang, maupun mendakik-dakik. ●
(Penulis berterima kasih
kepada rekan Dani Muhtada atas masukan dan diskusinya tentang karya-karya
Asghar Ali Engineer)
Kepustakaan
Engineer, A. A. (1987). Islam
and Its Relevance to Our Age. Kuala
Lumpur: Ikraq.
Engineer, A. A. (1989). The
Muslim Communities of Gujarat. Delhi:
Ajanta Publications.
Engineer, A. A. (2006). The Rights of Women in Islam.
In A. I. Alwee, & M. I. Taib, Islam,
Religion and Progress: Critical Perspective (pp.
161-177). Singapore: The Print Lodge Pte. Ltd.
Engineer, A. A. (2009). Governance and Religion: An
Islamic Point of View. In C. Muzaffar, Religion
and Governance (pp. 109-119). Selangor Darul Ehsan: Arah Publications.
Engineer, A. A. (2009). Islam dan Pluralisme. In D.
Effendi, Islam dan Pluralisme Agama (pp.
25-41). Yogyakarta : Interfidei.
Stepan, A. C. (2000). Religion,
Democracy, and the “Twin Tolerations”. Journal of Democracy, 11 (4), 37-57.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar