|
KOMPAS,
24 Juli 2013
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan Megawati Soekarnoputri belakangan ini mungkin sedang mengalami
kegalauan politik: apakah akan maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2014
ataukah memberikan kesempatan kepada kader PDI-P yang lebih muda, berbobot, dan
memiliki elektabilitas yang sangat tinggi, yakni Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo alias Jokowi.
Berbagai opsi mungkin sedang
dipertimbangkan PDI-P, khususnya Megawati, soal siapa capres yang akan diajukan
PDI-P. Opsi pertama, Megawati tetap maju, disandingkan dengan Jusuf Kalla, seperti
hasil survei CSIS Januari 2012 yang meletakkan Megawati dan Jusuf Kalla sebagai
capres paling populer; Megawati (91,6 persen) dan Jusuf Kalla (84 persen). Opsi
kedua, Megawati sebagai capres didampingi Jokowi karena keduanya memiliki
elektabilitas yang tinggi dari berbagai survei, termasuk penelitian kualitatif
mengenai calon pemimpin yang dilakukan Institute for Transformation Studies
(Intrans) belum lama ini. Opsi ketiga, Jokowi disandingkan dengan Puan
Maharani, yang kini menjadi Ketua Fraksi PDI-P di DPR dan salah satu ketua DPP
PDI-P. Opsi keempat, Jokowi menjadi capres dan cawapresnya dapat dicari dari
dalam atau luar PDI-P.
Mari kita analisis keempat opsi
tersebut. Opsi pertama sulit untuk dipilih karena baik Megawati maupun Jusuf
Kalla adalah generasi tua yang sulit untuk mendapatkan dukungan dari pemilih
muda (17-29 tahun) yang merupakan pemilih terbesar di negeri ini. Mega juga
sudah dua kali menjadi capres (Pilpres 2004 dan 2009) yang keduanya dikalahkan
secara telak oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Opsi kedua memiliki kemungkinan
yang lebih baik dari opsi pertama. Namun, hasil Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) yang dilakukan terhadap 1.799 responden di 34 provinsi pada
10-31 Mei 2013 menunjukkan, figur presiden yang ideal adalah dari kalangan
laki-laki 65,8 persen, sedangkan perempuan hanya 2,8 persen. Ini berarti,
seorang presiden berjenis kelamin laki-laki masih menjadi figur yang
diidolakan.
Jika opsi kedua ini yang dipilih,
ini juga dapat menjadi blunder politik buat Jokowi karena ia akan menjadi
cawapres yang gagal terpilih pada 2014. Dengan kata lain, masa depan karier
politik Jokowi akan mandek. Opsi ketiga juga bukan pilihan yang baik karena
lagi-lagi preferensi pilihan ideal seorang capres perempuan hanya 3,6 persen.
Popularitas Puan Maharani menduduki urutan ke-22 dengan 32,6 persen dalam
survei sama yang dilakukan LIPI. Namun, nama Puan Maharani tidak masuk capres
yang memiliki elektabilitas tinggi.
Opsi keempat, bila kita lihat dari
berbagai survei kuantitatif dan kualitatif, yang menempatkan Jokowi sebagai
capres yang berkualitas dan memiliki elektabilitas yang tinggi adalah opsi
terbaik. Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo terlalu tergesa-gesa menyatakan bahwa walau
elektabilitas Jokowi tinggi, PDI-P tidak mempersiapkan Jokowi menjadi capres.
Opsi keempat ini memang memiliki
problematik politik tersendiri. Jokowi masih menduduki jabatan Gubernur DKI
Jakarta. Namun, jika 56 persen responden dari sebuah survei menyatakan tidak
keberatan Jokowi maju, itu menunjukkan bahwa terbuka kesempatan bagi Jokowi
untuk maju sebagai capres. Persoalan apakah Jokowi (capres) akan disandingkan
dengan Jusuf Kalla (cawapres), pasangan muda-tua, atau dengan Pramono Anung
(muda-muda) atau siapa pun, itu adalah soal lain.
”Brand” Jokowi
Jokowi adalah orang yang
dipersonalisasikan sebagai bagian dari kaum Marhaen yang berupaya menembus
pasar dunia melalui usaha mebelnya yang kecil. Jokowi adalah juga orang yang
merakyat atau dianggap sebagai bagian dari orang kebanyakan yang jujur, tekun,
memiliki keterampilan memerintah, mampu mengarahkan bawahan untuk mencapai
tujuan bersama, mau blusukan ke kampung-kampung kumuh dan bukan hanya
menunggu laporan ”asal bapak senang” dari bawahannya, dan visioner. Jika teman
saya Rizal Sukma di harian Kompas menyatakan bahwa presiden yang akan
datang harus tahu politik dan ekonomi internasional, bukan hanya Hatta Rajasa,
Aburizal Bakrie atau Gita Wirjawan yang memilikinya, melainkan Jokowi juga.
Sebab, sebagai pengusaha mebel ia pasti tahu diplomasi dan pemasaran internasional,
tahu bagaimana melakukan bargaining, tahu soal WTO, tahu betapa sulitnya
menembus pasar Eropa dan Amerika yang menekankan eco-labelling, tahu
bagaimana berkompetisi, dan sebagainya.
Brand Jokowi seperti itu sudah
melekat pada dirinya. PDI-P tidak perlu memoles Jokowi melalui pelatih
penampilan (performance coach) seperti yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono,
tidak perlu membiayai konsultan politik ataupun lembaga polling untuk
melakukan survei tentang Jokowi, atau juga menyewa konsultan pencitraan agar
citra Jokowi bisa ditingkatkan.
PDI-P bahkan tidak perlu mengundang
media massa cetak, elektronik, media sosial, atau media online untuk
meliput berbagai aktivitas Jokowi karena setiap kegiatan Jokowi sudah otomatis
diliput wartawan dari dini hari sampai dini hari lagi alias 24 jam! Satu
keunikan di era reformasi politik di Indonesia yang juga terpengaruh
amerikanisasi politik Indonesia, elektabilitas Jokowi yang tinggi adalah hasil
dari brandJokowi sebagai pemimpin yang jujur, merakyat, dan visioner yang
didukung media massa dan lembaga polling.
Suksesi politik
Pertanyaan yang muncul kemudian,
apakah dinasti Soekarno akan kehilangan kesempatan menjadi pemimpin bangsa?
Jawabannya pasti tidak. Megawati Soekarnoputri akan tertulis dalam sejarah
politik Indonesia sebagai tokoh politik besar yang legowo memberikan
kesempatan kepada orang kecil untuk menjadi presiden RI.
Megawati selama ini telah mampu
membangun karakter PDI-P sebagai partai yang solid, didukung rakyat, dan tak
tergiur untuk masuk kabinet. Megawati juga menjadikan PDI-P sebagai
satu-satunya partai yang mampu menghadirkan dan mengader para pemimpin atau
calon pemimpin muda. PDI-P memiliki kader muda yang sudah teruji dan terbukti
seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Rieke Dyah Pitaloka, Eva
Sundari, atau Budiman Sujatmiko. Masih banyak kader PDI-P di sejumlah wilayah
Indonesia yang juga sudah terbukti sebagai kepala daerah yang mampu membangun
daerahnya dan menyejahterakan rakyatnya.
Megawati dapat naik pangkat menjadi
resi politik, menduduki jabatan yang dulu dijabat mendiang suaminya, Taufiq
Kiemas, dan memberikan tampuk kepemimpinan partai kepada sang putri, Puan
Maharani. Pada saat yang sama, putra Megawati, Prananda, juga sudah dapat
dikader sejak kini agar setelah Jokowi menyelesaikan jabatannya sebagai
presiden RI untuk dua kali masa jabatan, Prananda atau Puan atau Puti Guntur
Soekarnoputri dapat dimajukan sebagai capres asalkan memiliki kepiawaian
politik, kejujuran, dan visi yang jelas untuk membangun jiwa dan raga
Indonesia.
Jika ini yang menjadi pilihan
langkah strategis Megawati pada 2013, ia telah melakukan langkah besar
bersejarah yang mampu menyelamatkan PDI-P dan Indonesia. PDI-P harus cepat
menetapkan Jokowi sebagai capres, sembari mendukung Jokowi agar mimpinya untuk
membangun Jakarta agar lebih manusiawi benar-benar sudah di jalan yang benar (on the right track). Jika Jokowi
ditetapkan sebagai capres PDI-P pada 17 Agustus 2013 ini, bukan mustahil
elektabilitas PDI-P akan melambung tinggi karena mendukung capres alternatif
pilihan rakyat dan bukan hanya pilihan partai. Namun, Jokowi juga harus tetap
kerja keras sebagai Gubernur DKI Jakarta dan jangan membuat langkah-langkah
yang menyakiti hati rakyat atau lupa kacang akan kulitnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar