Kamis, 25 Juli 2013

Menanti Langkah Megawati

Menanti Langkah Megawati
Ikrar Nusa Bhakti  ;   Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
di Pusat Penelitian Politik-LIPI
KOMPAS, 24 Juli 2013

  
Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri belakangan ini mungkin sedang mengalami kegalauan politik: apakah akan maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 ataukah memberikan kesempatan kepada kader PDI-P yang lebih muda, berbobot, dan memiliki elektabilitas yang sangat tinggi, yakni Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi.

Berbagai opsi mungkin sedang dipertimbangkan PDI-P, khususnya Megawati, soal siapa capres yang akan diajukan PDI-P. Opsi pertama, Megawati tetap maju, disandingkan dengan Jusuf Kalla, seperti hasil survei CSIS Januari 2012 yang meletakkan Megawati dan Jusuf Kalla sebagai capres paling populer; Megawati (91,6 persen) dan Jusuf Kalla (84 persen). Opsi kedua, Megawati sebagai capres didampingi Jokowi karena keduanya memiliki elektabilitas yang tinggi dari berbagai survei, termasuk penelitian kualitatif mengenai calon pemimpin yang dilakukan Institute for Transformation Studies (Intrans) belum lama ini. Opsi ketiga, Jokowi disandingkan dengan Puan Maharani, yang kini menjadi Ketua Fraksi PDI-P di DPR dan salah satu ketua DPP PDI-P. Opsi keempat, Jokowi menjadi capres dan cawapresnya dapat dicari dari dalam atau luar PDI-P.

Mari kita analisis keempat opsi tersebut. Opsi pertama sulit untuk dipilih karena baik Megawati maupun Jusuf Kalla adalah generasi tua yang sulit untuk mendapatkan dukungan dari pemilih muda (17-29 tahun) yang merupakan pemilih terbesar di negeri ini. Mega juga sudah dua kali menjadi capres (Pilpres 2004 dan 2009) yang keduanya dikalahkan secara telak oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

Opsi kedua memiliki kemungkinan yang lebih baik dari opsi pertama. Namun, hasil Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dilakukan terhadap 1.799 responden di 34 provinsi pada 10-31 Mei 2013 menunjukkan, figur presiden yang ideal adalah dari kalangan laki-laki 65,8 persen, sedangkan perempuan hanya 2,8 persen. Ini berarti, seorang presiden berjenis kelamin laki-laki masih menjadi figur yang diidolakan.

Jika opsi kedua ini yang dipilih, ini juga dapat menjadi blunder politik buat Jokowi karena ia akan menjadi cawapres yang gagal terpilih pada 2014. Dengan kata lain, masa depan karier politik Jokowi akan mandek. Opsi ketiga juga bukan pilihan yang baik karena lagi-lagi preferensi pilihan ideal seorang capres perempuan hanya 3,6 persen. Popularitas Puan Maharani menduduki urutan ke-22 dengan 32,6 persen dalam survei sama yang dilakukan LIPI. Namun, nama Puan Maharani tidak masuk capres yang memiliki elektabilitas tinggi.

Opsi keempat, bila kita lihat dari berbagai survei kuantitatif dan kualitatif, yang menempatkan Jokowi sebagai capres yang berkualitas dan memiliki elektabilitas yang tinggi adalah opsi terbaik. Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo terlalu tergesa-gesa menyatakan bahwa walau elektabilitas Jokowi tinggi, PDI-P tidak mempersiapkan Jokowi menjadi capres.

Opsi keempat ini memang memiliki problematik politik tersendiri. Jokowi masih menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta. Namun, jika 56 persen responden dari sebuah survei menyatakan tidak keberatan Jokowi maju, itu menunjukkan bahwa terbuka kesempatan bagi Jokowi untuk maju sebagai capres. Persoalan apakah Jokowi (capres) akan disandingkan dengan Jusuf Kalla (cawapres), pasangan muda-tua, atau dengan Pramono Anung (muda-muda) atau siapa pun, itu adalah soal lain.

”Brand” Jokowi

Jokowi adalah orang yang dipersonalisasikan sebagai bagian dari kaum Marhaen yang berupaya menembus pasar dunia melalui usaha mebelnya yang kecil. Jokowi adalah juga orang yang merakyat atau dianggap sebagai bagian dari orang kebanyakan yang jujur, tekun, memiliki keterampilan memerintah, mampu mengarahkan bawahan untuk mencapai tujuan bersama, mau blusukan ke kampung-kampung kumuh dan bukan hanya menunggu laporan ”asal bapak senang” dari bawahannya, dan visioner. Jika teman saya Rizal Sukma di harian Kompas menyatakan bahwa presiden yang akan datang harus tahu politik dan ekonomi internasional, bukan hanya Hatta Rajasa, Aburizal Bakrie atau Gita Wirjawan yang memilikinya, melainkan Jokowi juga. Sebab, sebagai pengusaha mebel ia pasti tahu diplomasi dan pemasaran internasional, tahu bagaimana melakukan bargaining, tahu soal WTO, tahu betapa sulitnya menembus pasar Eropa dan Amerika yang menekankan eco-labelling, tahu bagaimana berkompetisi, dan sebagainya.

Brand Jokowi seperti itu sudah melekat pada dirinya. PDI-P tidak perlu memoles Jokowi melalui pelatih penampilan (performance coach) seperti yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak perlu membiayai konsultan politik ataupun lembaga polling untuk melakukan survei tentang Jokowi, atau juga menyewa konsultan pencitraan agar citra Jokowi bisa ditingkatkan.

PDI-P bahkan tidak perlu mengundang media massa cetak, elektronik, media sosial, atau media online untuk meliput berbagai aktivitas Jokowi karena setiap kegiatan Jokowi sudah otomatis diliput wartawan dari dini hari sampai dini hari lagi alias 24 jam! Satu keunikan di era reformasi politik di Indonesia yang juga terpengaruh amerikanisasi politik Indonesia, elektabilitas Jokowi yang tinggi adalah hasil dari brandJokowi sebagai pemimpin yang jujur, merakyat, dan visioner yang didukung media massa dan lembaga polling.

Suksesi politik

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah dinasti Soekarno akan kehilangan kesempatan menjadi pemimpin bangsa? Jawabannya pasti tidak. Megawati Soekarnoputri akan tertulis dalam sejarah politik Indonesia sebagai tokoh politik besar yang legowo memberikan kesempatan kepada orang kecil untuk menjadi presiden RI.

Megawati selama ini telah mampu membangun karakter PDI-P sebagai partai yang solid, didukung rakyat, dan tak tergiur untuk masuk kabinet. Megawati juga menjadikan PDI-P sebagai satu-satunya partai yang mampu menghadirkan dan mengader para pemimpin atau calon pemimpin muda. PDI-P memiliki kader muda yang sudah teruji dan terbukti seperti Jokowi, Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Rieke Dyah Pitaloka, Eva Sundari, atau Budiman Sujatmiko. Masih banyak kader PDI-P di sejumlah wilayah Indonesia yang juga sudah terbukti sebagai kepala daerah yang mampu membangun daerahnya dan menyejahterakan rakyatnya.

Megawati dapat naik pangkat menjadi resi politik, menduduki jabatan yang dulu dijabat mendiang suaminya, Taufiq Kiemas, dan memberikan tampuk kepemimpinan partai kepada sang putri, Puan Maharani. Pada saat yang sama, putra Megawati, Prananda, juga sudah dapat dikader sejak kini agar setelah Jokowi menyelesaikan jabatannya sebagai presiden RI untuk dua kali masa jabatan, Prananda atau Puan atau Puti Guntur Soekarnoputri dapat dimajukan sebagai capres asalkan memiliki kepiawaian politik, kejujuran, dan visi yang jelas untuk membangun jiwa dan raga Indonesia.

Jika ini yang menjadi pilihan langkah strategis Megawati pada 2013, ia telah melakukan langkah besar bersejarah yang mampu menyelamatkan PDI-P dan Indonesia. PDI-P harus cepat menetapkan Jokowi sebagai capres, sembari mendukung Jokowi agar mimpinya untuk membangun Jakarta agar lebih manusiawi benar-benar sudah di jalan yang benar (on the right track). Jika Jokowi ditetapkan sebagai capres PDI-P pada 17 Agustus 2013 ini, bukan mustahil elektabilitas PDI-P akan melambung tinggi karena mendukung capres alternatif pilihan rakyat dan bukan hanya pilihan partai. Namun, Jokowi juga harus tetap kerja keras sebagai Gubernur DKI Jakarta dan jangan membuat langkah-langkah yang menyakiti hati rakyat atau lupa kacang akan kulitnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar