|
SUARA
KARYA, 24 Juli 2013
Anak Indonesia yang mengenyam
pendidikan di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK), Sabah, Malaysia itu bukan
anak tertinggal. Ternyata mereka malah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah
Malaysia setelah berpartisipasi dalam "8th
Sabah International Folklore Festival (SIFF) 2013."
Adalah Dwi Kristiyanto, guru seni
SIKK melihat peluang emas agar anak-anak didiknya dapat turut serta mewakili
Indonesia pada acara yang diselenggarakan rutin setiap tahun oleh Lembaga
Kebudayaan Negeri Sabah (LKS). Kegiatan ini diikuti oleh beberapa negara.
"Kami selalu ingin tampil terbaik, dan membuktikan bahwa anak-anak TKI
juga bisa berprestasi," kata dia.
Dalam kompetisi itu, setiap
peserta diharuskan untuk mempersembahkan dua jenis tarian, yakni tari tradisi
dan tari kreasi. Untuk kategori tari tradisi, para "laskar" remaja
Indonesia ini mempersembahkan tarian dari Minangkabau Sumatera Barat yaitu Tari
Piring. Sedangkan kategori tari kreasi, anak-anak SIKK yang menamakan dirinya
Prabu (Prasasti Budaya) mengusung sebuah tarian Hyang Purnama, sebuah tarian
yang menceritakan kisah anak-anak kecil masyarakat Jawa yang bermain-main saat
bulan purnama untuk mencegah kedatangan Batarakala.
"Meskipun ini merupakan
keikutsertaan mereka yang pertama tapi anak-anak SIKK mampu menjadi yang terbaik
ke-3 di antara 20 grup yang ikut bertanding," ungkap Dwi Kristiyanto, guru
sekaligus koreografer Tim SIKK. Atas prestasi itu, sejumlah siswa diperkenankan
untuk melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya di Tanah Air. Bukan hanya itu,
selain secara otomatis terdaftar di beberapa sekolah setingkat SMA yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia, mereka pun mendapatkan beasiswa penuh
untuk belajar selama tiga tahun.
Seorang anak, Sabry Herman yang di
sela-sela waktu belajarnya bekerja menjadi kondektur bus umum mengaku senang
mendapatkan kesempatan untuk memperoleh beasiswa dari Program Direktur
Pembinaan SMP.
"Saya berterima kasih atas
kesempatan ini, tidak terbayangkan sebelumnya saya dapat melanjutkan sekolah di
Indonesia, apalagi sekarang saya diberi beasiswa," ujar Sabry.Guru
pengajar di sana pun terpacu menjadi guru karena melihat sekolah anak Indonesia
di Kinabalu yang tertinggal. Mereka mengaku datang ke Kinabalu tidak tergiur
oleh besarnya honor, tetapi lebih pada pengabdian dan demi memperjuangkan
anak-anak bangsa yang terpaksa mengikuti orang tua mereka sebagai TKI di
perkebunan di sana.
"Kita mesti bertanya, mengapa
orang tua mereka rela bekerja kasar dan mau dibayar murah di negeri orang?
Tentu, ada penyebabnya, ini mencerminkan betapa sulitnya hidup di negeri
kita", ungkap beberapa guru ketika kami diskusi tentang bagaimana
meningkatkan kualitas pembelajaran di bagai anak-anak TKI beberapa waktu yang
lalu. "Kami sangat berharap kepada Pemerintah Indonesia agar bersedia
membangun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) unggulan berasrama di daerah
perbatasan sehingga para alumni SMP SIKK dapat melanjutkan ke sekolah tersebut
agar mereka bisa dikembalikan ke Indonesia. Sekolah tersebut diharapkan dapat
menghasilkan tenaga-tenaga terampil dan terdidik, dan harapanya lagi, mereka
'melirik' untuk bekerja di Indonesia.
Di samping keterampilan teknis di
bidang pertanian, mereka perlu dibekali dengan kemampuan kewirausahaan agar
tidak tergiur lagi untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit seperti orang tua
mereka", papar Kepada Sekolah SIKK Dadang Hermawan. Jika tidak demikian,
upaya yang telah mereka lakukan merintis SIKK selama ini akan mubazir, apalagi
mereka terancam putus sekolah setelah tamat SMP. Walaupun pada tahun ini SIKK
mulai membuka SMA, namun belum memberikan jaminan untuk memotivasi anak-anak
TKI kembali ke Indonesia, atau setidaknya jika mereka terdidik, tidak lagi
menjadi buruh kasar seperti orang tua mereka.
Dadang sendiri menyatakan kaget
ketika membawa anak-anak TKI ikut lomba di Jakarta. "Mereka senang sekali
naik pesawat, dan sampai di Jakarta, mereka berkomentar 'wah senangnya pertama
kali ke luar negeri'. Saya langsung bilang ini justri negeri kalian!."
Jika kita berpegang pada ajaran
agama tentang penciptaan manusia. Allah tidak mengenal produk gagal dalam
menciptakan alam ini, apalagi manusia yang disebut sebagai makhluk yang
sebaik-baiknya ciptaan Allah SWT. Allah berfirman bahwa setiap nyawa yang
diberikan diperhitungkan dengan matang untuk apa seseorang dilahirkan.
Di mata Allah tidak ada manusia
yang terlahir secara kebetulan, mereka diutus dengan dibekali sejumlah kekuatan
posistif untuk mengubah corak kehidupan, dan ditundukkan alam raya kepada
manusia untuk dikelola. Artinya, jika tidak terjadi sesuatu kesalahan mendasar
dalam memberikan pelayanan pendidikan, tentunya 53 ribu lebih anak TKI itu
menjadi potensi yang luar biasa, apalagi setiap anak adalah unik dan memiliki
potensi yang berbeda. Mereka akan menjadi manusia-manusia penakluk kehidupan.
Itu, jika pelayanan pendidikan berjalan dengan sebaik-baiknya.
Para guru, tutor dan didukung oleh
orang tua telah membuktikan hal itu. Selanjutnya, Pemerintah perlu membuat
kebijakan khusus dan pelayanan tanpa pilih kasih dan peningkatan kualitas
pembelajaran sehingga anak-anak yang saat ini kurang beruntung karena harus
ikut berjuang membanting tulang di negeri orang membantu orang tua mereka. Juga,
memiliki kesempatan yang sama dengan saudara-saudara mereka di Tanah Air,
berharap masa depan mereka yang lebih baik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar