|
KORAN
TEMPO, 24 Juli 2013
Mudik Lebaran adalah peristiwa kultural tahunan yang penuh
dinamika dan kompleksitas permasalahan. Karena itu, potensi pelanggaran hak-hak
publik menjadi sangat besar.
Memfasilitasi mobilitas puluhan juta manusia dalam waktu
hampir bersamaan tentu bukan perkara gampang. Apalagi ketika infrastruktur
transportasi yang ada belum teruji keandalannya, baik dari sisi kapasitas
maupun kualitas. Dan itulah yang terjadi dari waktu ke waktu dalam prosesi
mudik Lebaran, yang tahun ini (2013), menurut estimasi Kementerian Perhubungan,
akan diikuti oleh mencapai 18,1 juta manusia. Angka ini lebih tinggi 4,46
persen daripada dalam mudik Lebaran 2012 (17,33 juta pemudik).
Klimaks dari tingginya jumlah pemudik, plus belum andalnya
infrastruktur dan moda transportasi, adalah tingginya potensi pelanggaran
hak-hak publik (konsumen) sebagai pengguna fasilitas publik dan jasa moda
transportasi.
Dari sisi kapasitas, sejatinya sudah beberapa tahun ini
pemudik Lebaran sudah bisa terangkut oleh moda transportasi yang ada, khususnya
moda transportasi darat, seperti bus umum dan kereta api. Namun fenomena ini
tidak bisa dikaitkan dengan naiknya kapasitas angkutan umum. Hal ini terjadi
karena jumlah pengguna bus umum untuk mudik terus menurun. Pemudik banyak
bermigrasi ke kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Atau,
berpindah ke mudik gratis yang difasilitasi beberapa perusahaan swasta dan
BUMN.
Sebagaimana tahun sebelumnya, dalam mudik kali ini pun
pengguna kendaraan bermotor pribadi terus membeludak, baik roda empat maupun
roda dua. Jumlah pengguna kendaraan roda empat naik 6,17 persen menjadi 1,76
juta unit mobil (pada 2012 hanya 1,66 juta unit). Sedangkan jumlah pemudik yang
menggunakan roda dua diprediksi mencapai 3,03 juta unit sepeda motor, naik 8,15
persen (pada 2012 mencapai 2,8 juta kendaraan).
Kapasitas angkutan yang mencukupi saat mudik Lebaran bukan
berarti sepi dari pelanggaran hak-hak masyarakat sebagai pengguna jasa
transportasi (konsumen). Sekalipun untuk penumpang pesawat, yang jumlahnya
diperkirakan 3,76 juta-naik 11,7 persen dari tahun sebelumnya. Misalnya,
percaloan tiket diduga pasti marak. Khususnya untuk maskapai penerbangan yang
tidak konsisten meminta penumpang menunjukkan identitas dirinya saat
boarding.
Pelanggaran tarif batas atas oleh maskapai juga harus
diwaspadai. Dipastikan, semua maskapai menggunakan tarif batas atas. Dalam hal
ini, selain dugaan pelanggaran tarif, ada potensi pelanggaran pelayanan di
dalam kabin. Tarifnya batas atas, tapi pelayanan kepada konsumen menggunakan
batas bawah. Seharusnya, ketika maskapai menggunakan tarif batas atas,
pelayanannya "full service".
Inilah pelanggaran yang seharusnya diberi sanksi tegas oleh
regulator (Kementerian Perhubungan). Konsumen juga harus mewaspadai fenomena
pendodosan atau bahkan hilang bagasinya. Fenomena delay saat pemberangkatan
menjadi pelanggaran yang paling dominan; sebagaimana praktek selama ini. Ingat,
konsumen tak butuh kompensasi berupa snack dengan kualitas ala kadarnya. Yang
mendesak dibutuhkan konsumen adalah on-time performance maskapai.
Pelanggaran hak-hak konsumen di angkutan bus, bahkan
perkeretaapian, juga nyaris sama dengan fenomena pelanggaran di pesawat udara.
Selain pelanggaran tarif batas atas dan percaloan, penumpang bus acap dimintai
uang tip oleh kondektur dengan dalih untuk "THR". Penurunan penumpang
dari bus sebelum sampai ke terminal tujuan utama juga sangat lazim. Kementerian
Perhubungan harus lebih awas dalam memelototi kinerja perusahaan otobus.
Dalam hal pelayanan perkeretaapian, sekalipun saat ini ada
progresivitas pelayanan, toh potensi pelanggaran juga tinggi. Misalnya,
tingginya tarif tiket, khususnya untuk kelas bisnis dan eksekutif, yang
menyundul langit. Tahun lalu, untuk rute Jakarta-Surabaya, harga tiket mencapai
Rp 750 ribu, bahkan Rp 1 juta. Tampaknya, manajemen PT KAI menggunakan prinsip "aji
mumpung" untuk mengeksploitasi kantong penggunanya.
Di sisi lain, kualitas pelayanan di kereta api eksekutif
masih "tradisional"; konsumen masih sering menemui binatang pengerat
(tikus) di dalam kabin kereta. Dan, kendati sistem pentiketan sudah daring,
fenomena percaloan tidak bisa dihindari. Sebab, konsumen masih bisa
"merevisi nama" (dengan menunjukkan KTP) saat check-in di loket
pemberangkatan.
Dari sisi keselamatan, yang harus diwaspadai adalah
angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP), dan angkutan laut antarpulau.
Penumpang angkutan laut diprediksi 1,66 juta, dan angkutan ASDP mencapai 3,26
juta penumpang. Modus yang acap membahayakan keselamatan adalah kapal
mengangkut penumpang dengan melebihi kapasitas yang ditentukan (overloaded). Manifes kapal terkesan
hanya formalitas belaka. Seyogianya konsumen tidak memaksakan diri naik ke
kapal jika kapal sudah overloaded. Kepala syahbandar di pelabuhan harus tegas:
jangan berangkatkan kapal jika overloaded!
Ancaman keselamatan juga tak terhindarkan di sektor
transportasi darat. Pada 2012, menurut data Korlantas Mabes Polri, 908 nyawa
melayang saat mudik Lebaran, di mana 76 persennya adalah pengguna sepeda motor.
Di sektor perkeretaapian, sudah beberapa tahun tidak terjadi kecelakaan fatal.
Namun manajemen PT KAI harus tetap waspada, khususnya di saat arus balik. Saat
arus balik, konon petugas lapangan PT KAI sudah loyo, energinya terkuras saat
arus mudik.
Mudik Lebaran adalah peristiwa kultural tahunan yang penuh
dinamika dan kompleksitas permasalahan. Karena itu, potensi pelanggaran hak-hak
publik menjadi sangat besar. Harus ada upaya keras untuk menekan tingginya
pelanggaran hak-hak publik tersebut. Pemerintah, bahkan masyarakat,
masing-masing punya tanggung jawab untuk hal itu. Dan, jangan lupa, aspek
keselamatan dalam bertransportasi harus berada pada skala prioritas pertama dan
utama. Tak ada kompromi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar