Kamis, 25 Juli 2013

Pelanggaran Hak Publik Saat Mudik Lebaran

Pelanggaran Hak Publik Saat Mudik Lebaran
Tulus Abadi  ;   Anggota Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
KORAN TEMPO, 24 Juli 2013


Mudik Lebaran adalah peristiwa kultural tahunan yang penuh dinamika dan kompleksitas permasalahan. Karena itu, potensi pelanggaran hak-hak publik menjadi sangat besar.
Memfasilitasi mobilitas puluhan juta manusia dalam waktu hampir bersamaan tentu bukan perkara gampang. Apalagi ketika infrastruktur transportasi yang ada belum teruji keandalannya, baik dari sisi kapasitas maupun kualitas. Dan itulah yang terjadi dari waktu ke waktu dalam prosesi mudik Lebaran, yang tahun ini (2013), menurut estimasi Kementerian Perhubungan, akan diikuti oleh mencapai 18,1 juta manusia. Angka ini lebih tinggi 4,46 persen daripada dalam mudik Lebaran 2012 (17,33 juta pemudik). 
Klimaks dari tingginya jumlah pemudik, plus belum andalnya infrastruktur dan moda transportasi, adalah tingginya potensi pelanggaran hak-hak publik (konsumen) sebagai pengguna fasilitas publik dan jasa moda transportasi. 
Dari sisi kapasitas, sejatinya sudah beberapa tahun ini pemudik Lebaran sudah bisa terangkut oleh moda transportasi yang ada, khususnya moda transportasi darat, seperti bus umum dan kereta api. Namun fenomena ini tidak bisa dikaitkan dengan naiknya kapasitas angkutan umum. Hal ini terjadi karena jumlah pengguna bus umum untuk mudik terus menurun. Pemudik banyak bermigrasi ke kendaraan pribadi, baik roda dua maupun roda empat. Atau, berpindah ke mudik gratis yang difasilitasi beberapa perusahaan swasta dan BUMN. 
Sebagaimana tahun sebelumnya, dalam mudik kali ini pun pengguna kendaraan bermotor pribadi terus membeludak, baik roda empat maupun roda dua. Jumlah pengguna kendaraan roda empat naik 6,17 persen menjadi 1,76 juta unit mobil (pada 2012 hanya 1,66 juta unit). Sedangkan jumlah pemudik yang menggunakan roda dua diprediksi mencapai 3,03 juta unit sepeda motor, naik 8,15 persen (pada 2012 mencapai 2,8 juta kendaraan).
Kapasitas angkutan yang mencukupi saat mudik Lebaran bukan berarti sepi dari pelanggaran hak-hak masyarakat sebagai pengguna jasa transportasi (konsumen). Sekalipun untuk penumpang pesawat, yang jumlahnya diperkirakan 3,76 juta-naik 11,7 persen dari tahun sebelumnya. Misalnya, percaloan tiket diduga pasti marak. Khususnya untuk maskapai penerbangan yang tidak konsisten meminta penumpang menunjukkan identitas dirinya saat boarding. 
Pelanggaran tarif batas atas oleh maskapai juga harus diwaspadai. Dipastikan, semua maskapai menggunakan tarif batas atas. Dalam hal ini, selain dugaan pelanggaran tarif, ada potensi pelanggaran pelayanan di dalam kabin. Tarifnya batas atas, tapi pelayanan kepada konsumen menggunakan batas bawah. Seharusnya, ketika maskapai menggunakan tarif batas atas, pelayanannya "full service". 
Inilah pelanggaran yang seharusnya diberi sanksi tegas oleh regulator (Kementerian Perhubungan). Konsumen juga harus mewaspadai fenomena pendodosan atau bahkan hilang bagasinya. Fenomena delay saat pemberangkatan menjadi pelanggaran yang paling dominan; sebagaimana praktek selama ini. Ingat, konsumen tak butuh kompensasi berupa snack dengan kualitas ala kadarnya. Yang mendesak dibutuhkan konsumen adalah on-time performance maskapai. 
Pelanggaran hak-hak konsumen di angkutan bus, bahkan perkeretaapian, juga nyaris sama dengan fenomena pelanggaran di pesawat udara. Selain pelanggaran tarif batas atas dan percaloan, penumpang bus acap dimintai uang tip oleh kondektur dengan dalih untuk "THR". Penurunan penumpang dari bus sebelum sampai ke terminal tujuan utama juga sangat lazim. Kementerian Perhubungan harus lebih awas dalam memelototi kinerja perusahaan otobus.
Dalam hal pelayanan perkeretaapian, sekalipun saat ini ada progresivitas pelayanan, toh potensi pelanggaran juga tinggi. Misalnya, tingginya tarif tiket, khususnya untuk kelas bisnis dan eksekutif, yang menyundul langit. Tahun lalu, untuk rute Jakarta-Surabaya, harga tiket mencapai Rp 750 ribu, bahkan Rp 1 juta. Tampaknya, manajemen PT KAI menggunakan prinsip "aji mumpung" untuk mengeksploitasi kantong penggunanya. 
Di sisi lain, kualitas pelayanan di kereta api eksekutif masih "tradisional"; konsumen masih sering menemui binatang pengerat (tikus) di dalam kabin kereta. Dan, kendati sistem pentiketan sudah daring, fenomena percaloan tidak bisa dihindari. Sebab, konsumen masih bisa "merevisi nama" (dengan menunjukkan KTP) saat check-in di loket pemberangkatan. 
Dari sisi keselamatan, yang harus diwaspadai adalah angkutan sungai dan penyeberangan (ASDP), dan angkutan laut antarpulau. Penumpang angkutan laut diprediksi 1,66 juta, dan angkutan ASDP mencapai 3,26 juta penumpang. Modus yang acap membahayakan keselamatan adalah kapal mengangkut penumpang dengan melebihi kapasitas yang ditentukan (overloaded). Manifes kapal terkesan hanya formalitas belaka. Seyogianya konsumen tidak memaksakan diri naik ke kapal jika kapal sudah overloaded. Kepala syahbandar di pelabuhan harus tegas: jangan berangkatkan kapal jika overloaded
Ancaman keselamatan juga tak terhindarkan di sektor transportasi darat. Pada 2012, menurut data Korlantas Mabes Polri, 908 nyawa melayang saat mudik Lebaran, di mana 76 persennya adalah pengguna sepeda motor. Di sektor perkeretaapian, sudah beberapa tahun tidak terjadi kecelakaan fatal. Namun manajemen PT KAI harus tetap waspada, khususnya di saat arus balik. Saat arus balik, konon petugas lapangan PT KAI sudah loyo, energinya terkuras saat arus mudik.
Mudik Lebaran adalah peristiwa kultural tahunan yang penuh dinamika dan kompleksitas permasalahan. Karena itu, potensi pelanggaran hak-hak publik menjadi sangat besar. Harus ada upaya keras untuk menekan tingginya pelanggaran hak-hak publik tersebut. Pemerintah, bahkan masyarakat, masing-masing punya tanggung jawab untuk hal itu. Dan, jangan lupa, aspek keselamatan dalam bertransportasi harus berada pada skala prioritas pertama dan utama. Tak ada kompromi! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar