|
MEDIA
INDONESIA, 24 Juli 2013
HAMPIR dua bulan belakangan ini
perhatian pasar finansial global dan regional tertuju pada perkembangan
kebijakan moneter di Amerika Serikat, berkaitan dengan rencana Bank Sentral AS
untuk mulai mengurangi kebijakan pelonggaran moneter mereka (quantitative easing 3). Hal itu pertama
kali dicetuskan Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke di akhir Mei lalu. Namun
hingga saat ini, berita tentang kepastian waktu akan dimulainya pengurangan (tapering) QE3 tersebut masih simpang
siur yang akhirnya justru menambah volatilitas di pasar finansial global dan
regional.
Sebagai contoh, yield USTbond 10 tahun turun dari
tertingginya 2,8% di Mei menjadi 2,5% di minggu lalu. Sementara itu, pasar
finansial regional seperti Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand
hingga saat ini masih mengalami tekanan, tecermin dengan indeks saham yang per
minggu lalu merosot dari posisi di akhir Mei, masing-masing sebesar 6,8%, 6,5%,
5,7%, dan 5,1%. Tidak ketinggalan pula nilai tukar setiap negara juga mengalami
depresiasi, India (5,5%), Malaysia (3,13%), Indonesia (2,9%), Thailand (2,6%),
dan Filipina (2,4%).
Itu konsekuensi dari arus modal asing. Volatilitas pasar
regional yang hingga saat ini masih terus terjadi sebenarnya merupakan
konsekuensi dari derasnya arus modal asing yang masuk ke pasar mereka seiring
dengan pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan negara maju. Meski
demikian, tidak semua tambahan likuiditas tersebut dapat terserap di
perekonomian domestik mereka sehingga akibatnya keluarlah dana-dana tersebut
mencari tempat yang menghasilkan return lebih baik dan risiko terukur.
Indonesia merupakan salah satu negara emerging di kawasan
Asia yang memperoleh limpahan dana asing cukup besar karena negara ini
mempunyai pull-factor yang tinggi, yaitu memberikan return yang menarik,
mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, dan mempunyai kebutuhan modal
yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, masuklah dana asing
dalam bentuk portofolio (saham atau obligasi), penanaman modal asing, dan utang
luar negeri (khususnya ke sektor swasta).
Kepemilikan asing di pasar Obligasi Indonesia mencapai
puncaknya di pertengahan Mei hingga mencapai 34% dari total obligasi
pemerintah, sedangkan penanaman modal asing di Indonesia dari hanya sekitar
Rp100 triliun di 2009 menjadi Rp222 triliun di 2012, atau meningkat lebih dari
100% dalam tiga tahun terakhir.
Selanjutnya, utang luar negeri swasta dalam periode yang
sama meningkat sebesar 67%, yaitu dari US$75 miliar menjadi US$125 miliar.
Pihak perbankan pun di periode yang sama gencar meningkatkan kredit dalam
valuta asing dengan pertumbuhan 31% per tahun (2010) dan 32% per tahun (2011)
jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit rupiah yang hanya sebesar 22% dan
23% di periode yang sama.
Memicu terjadinya
ketidakseimbangan
Memang masuknya dana asing tersebut akhirnya dapat
mendukung pertumbuhan ekonomi kita hingga mencapai puncaknya sebesar 6,5% di
2011 di kala negara regional lainnya masih mengalami kesulitan dalam
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang pesat terus terjadi dengan
rata-rata pertumbuhan di atas 6% dan berada di atas pertumbuhan rata-rata
historis yang sebesar 5,9%. Kita beruntung mempunyai domestik ekonomi yang
kuat, yang didorong konsumsi masyarakat dan investasi yang merupakan pendorong
utama ekonomi kita, di saat ekonomi global mengalami perlambatan.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat itu ternyata memicu
terjadinya ketidakseimbangan sektor eksternal kita karena pertumbuhan impor
kita yang melebihi ekspor sehingga memicu terjadinya defisit neraca transaksi
berjalan sejak semester kedua 2011. Implikasinya ialah terhadap nilai tukar
rupiah, yang secara bertahap terus mengalami pelemahan, dari rata-rata
8.775/US$ di 2011 melemah menjadi rata-rata 9.384/US$ di 2012. Hingga saat ini
pun pelemahan pada rupiah masih terus terjadi. Di 2Q-2013 rupiah ditutup di
tingkat 9.925/US$ dan bahkan saat ini sudah mencapai tingkat 10.000/US$–
10.100/ US$.
Penyebab tekanan pada rupiah itu memang bukan disebabkan
faktor domestik saja, melainkan juga pengaruh ketidakpastian global khususnya
terkait dengan rencana Bank Sentral AS untuk melakukan tapering QE3 mereka,
yang pada akhirnya mendorong terjadinya risk
aversion sehingga menekan mata uang domestik regional.
Normalisasi ekonomi
Perekonomian
Indonesia yang tumbuh di atas rata-rata historis dalam periode yang cukup lama
memang akhirnya mendorong terjadinya twindeficit--ketidakseimbangan domestic
dan eksternal Indonesia--yaitu defisit APBN
dan defisit neraca transaksi berjalan. Beruntung pemerintah akhirnya memutuskan
untuk menaikkan harga BBM pada Juni lalu sehingga diharapkan defisit APBN dapat
ditekan menjadi sekitar 1,3% dari PDB di 2014 dari perkiraan defisit 2,4% dari
PDB di 2012.
Faktor positif lain dari kebijakan tersebut ialah
berkurangnya impor minyak yang diperkirakan akan turun sekitar 5%. Meski
demikian, dampak negatif dari kebijakan itu ialah meningkatnya tekanan inflasi
hingga diperkirakan mencapai 7,8%-8,2% di akhir 2013 walaupun saya
memperkirakan peningkatan inflasi itu hanya bersifat sementara dan inflasi di
2014 diperkirakan akan kembali ke tingkat 4,5%-5,5%.
Ketidakseimbangan di sektor eksternal utamanya disebabkan
melambatnya ekspor karena pengaruh dari global, sedangkan impor tetap tumbuh
seiring dengan pertumbuhan investasi dan perekonomian sehingga mendorong
terjadinya defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan yang
mencapai 2,7% dari PDB di 2012. Defisit itu dalam jangka menengah dapat diatasi
dengan mendorong pertumbuhan ‘industri hilir’ di Indonesia sehingga
ketergantungan impor bahan baku yang menyumbangkan sekitar 77% dari impor dapat
dikurangi.
Kebijakan yang dilakukan BI melalui peningkatan BI rate dan
penurunan loan to value di sektor properti pada dasarnya bertujuan menormalkan
pertumbuhan ekonomi agar sesuai dengan kapasitasnya. Bahwa pertumbuhan ekonomi
kita akan mengalami perlambatan di tahun ini bukan sesuatu yang perlu
dikhawatirkan karena negara lain pun mengalami hal yang sama bahkan lebih buruk
bila dibandingkan dengan kita.
Masih bisa mempertahankan pertumbuhan di tingkat 5,8%-6%
tidak akan membuat ekonomi kita terpuruk dan bahkan kita masih menjadi salah
satu negara di Asia yang mengalami pertumbuhan di atas 5,5% setelah China dan Filipina.
Normalisasi pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan sehingga pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan dapat dipertahankan dalam jangka panjang.
Keseimbangan baru nilai tukar rupiah
Sementara
itu, kebijakan intervensi US$ di pasar valuta asing dan lelang Swap merupakan kebijakan
yang tepat dilakukan BI untuk menjaga stabilitas rupiah dan memperdalam pasar
valuta asing di Indonesia. Tekanan yang belakangan ini
kita rasakan di rupiah memang mengindikasikan bahwa rupiah saat ini sedang
mencari
‘keseimbangan baru’ sesuai dengan fundamental ekonominya.
Utang
swasta yang jatuh tempo, kebutuhan impor, dan adanya repatriasi pendapatan merupakan
sumber permintaan dolar dalam jangka pendek. Sementara itu, supply of dollar
yang didapatkan dari ekspor, penanaman modal asing,
dan arus modal asing ke portofolio saat ini masih terbatas. Akibatnya,
terjadilah tekanan pada rupiah. Namun dalam jangka menengah diharapkan, tekanan
pada rupiah akan berkurang seiring dengan membaiknya ekspor karena
permintaan global meningkat, makin terkendalinya impor karena perlambatan pertumbuhan
ekonomi, disertai dengan membaiknya kepercayaan para investor global terhadap
perekonomian Indonesia sehingga mendorong kembali
arus modal masuk ke Indonesia.
Walau
demikian, kita semua harus ingat bahwa limpahan likuiditas dari negara maju
cepat atau lambat akan berakhir pada saat kebijakan pelonggaran moneter
mereka kembali ke tingkat normal. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan segala
kemungkinan yang akan terjadi termasuk menghadapi volatilitas
di pasar finansial kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar