Kamis, 25 Juli 2013

Menuju Keseimbangan Baru

Menuju Keseimbangan Baru
Destry Damayanti  ;   Kepala Ekonom Bank Mandiri
MEDIA INDONESIA, 24 Juli 2013


HAMPIR dua bulan belakangan ini perhatian pasar finansial global dan regional tertuju pada perkembangan kebijakan moneter di Amerika Serikat, berkaitan dengan rencana Bank Sentral AS untuk mulai mengurangi kebijakan pelonggaran moneter mereka (quantitative easing 3). Hal itu pertama kali dicetuskan Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke di akhir Mei lalu. Namun hingga saat ini, berita tentang kepastian waktu akan dimulainya pengurangan (tapering) QE3 tersebut masih simpang siur yang akhirnya justru menambah volatilitas di pasar finansial global dan regional.

Sebagai contoh, yield USTbond 10 tahun turun dari tertingginya 2,8% di Mei menjadi 2,5% di minggu lalu. Sementara itu, pasar finansial regional seperti Indonesia, Korea Selatan, Filipina, dan Thailand hingga saat ini masih mengalami tekanan, tecermin dengan indeks saham yang per minggu lalu merosot dari posisi di akhir Mei, masing-masing sebesar 6,8%, 6,5%, 5,7%, dan 5,1%. Tidak ketinggalan pula nilai tukar setiap negara juga mengalami depresiasi, India (5,5%), Malaysia (3,13%), Indonesia (2,9%), Thailand (2,6%), dan Filipina (2,4%).

Itu konsekuensi dari arus modal asing. Volatilitas pasar regional yang hingga saat ini masih terus terjadi sebenarnya merupakan konsekuensi dari derasnya arus modal asing yang masuk ke pasar mereka seiring dengan pelonggaran kebijakan moneter yang dilakukan negara maju. Meski demikian, tidak semua tambahan likuiditas tersebut dapat terserap di perekonomian domestik mereka sehingga akibatnya keluarlah dana-dana tersebut mencari tempat yang menghasilkan return lebih baik dan risiko terukur.

Indonesia merupakan salah satu negara emerging di kawasan Asia yang memperoleh limpahan dana asing cukup besar karena negara ini mempunyai pull-factor yang tinggi, yaitu memberikan return yang menarik, mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang baik, dan mempunyai kebutuhan modal yang tinggi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, masuklah dana asing dalam bentuk portofolio (saham atau obligasi), penanaman modal asing, dan utang luar negeri (khususnya ke sektor swasta).

Kepemilikan asing di pasar Obligasi Indonesia mencapai puncaknya di pertengahan Mei hingga mencapai 34% dari total obligasi pemerintah, sedangkan penanaman modal asing di Indonesia dari hanya sekitar Rp100 triliun di 2009 menjadi Rp222 triliun di 2012, atau meningkat lebih dari 100% dalam tiga tahun terakhir.

Selanjutnya, utang luar negeri swasta dalam periode yang sama meningkat sebesar 67%, yaitu dari US$75 miliar menjadi US$125 miliar. Pihak perbankan pun di periode yang sama gencar meningkatkan kredit dalam valuta asing dengan pertumbuhan 31% per tahun (2010) dan 32% per tahun (2011) jika dibandingkan dengan pertumbuhan kredit rupiah yang hanya sebesar 22% dan 23% di periode yang sama.

Memicu terjadinya ketidakseimbangan

Memang masuknya dana asing tersebut akhirnya dapat mendukung pertumbuhan ekonomi kita hingga mencapai puncaknya sebesar 6,5% di 2011 di kala negara regional lainnya masih mengalami kesulitan dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang pesat terus terjadi dengan rata-rata pertumbuhan di atas 6% dan berada di atas pertumbuhan rata-rata historis yang sebesar 5,9%. Kita beruntung mempunyai domestik ekonomi yang kuat, yang didorong konsumsi masyarakat dan investasi yang merupakan pendorong utama ekonomi kita, di saat ekonomi global mengalami perlambatan.

Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat itu ternyata memicu terjadinya ketidakseimbangan sektor eksternal kita karena pertumbuhan impor kita yang melebihi ekspor sehingga memicu terjadinya defisit neraca transaksi berjalan sejak semester kedua 2011. Implikasinya ialah terhadap nilai tukar rupiah, yang secara bertahap terus mengalami pelemahan, dari rata-rata 8.775/US$ di 2011 melemah menjadi rata-rata 9.384/US$ di 2012. Hingga saat ini pun pelemahan pada rupiah masih terus terjadi. Di 2Q-2013 rupiah ditutup di tingkat 9.925/US$ dan bahkan saat ini sudah mencapai tingkat 10.000/US$– 10.100/ US$.

Penyebab tekanan pada rupiah itu memang bukan disebabkan faktor domestik saja, melainkan juga pengaruh ketidakpastian global khususnya terkait dengan rencana Bank Sentral AS untuk melakukan tapering QE3 mereka, yang pada akhirnya mendorong terjadinya risk aversion sehingga menekan mata uang domestik regional.

Normalisasi ekonomi

Perekonomian Indonesia yang tumbuh di atas rata-rata historis dalam periode yang cukup lama memang akhirnya mendorong terjadinya twindeficit--ketidakseimbangan domestic dan eksternal Indonesia--yaitu defisit APBN dan defisit neraca transaksi berjalan. Beruntung pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM pada Juni lalu sehingga diharapkan defisit APBN dapat ditekan menjadi sekitar 1,3% dari PDB di 2014 dari perkiraan defisit 2,4% dari PDB di 2012.

Faktor positif lain dari kebijakan tersebut ialah berkurangnya impor minyak yang diperkirakan akan turun sekitar 5%. Meski demikian, dampak negatif dari kebijakan itu ialah meningkatnya tekanan inflasi hingga diperkirakan mencapai 7,8%-8,2% di akhir 2013 walaupun saya memperkirakan peningkatan inflasi itu hanya bersifat sementara dan inflasi di 2014 diperkirakan akan kembali ke tingkat 4,5%-5,5%.

Ketidakseimbangan di sektor eksternal utamanya disebabkan melambatnya ekspor karena pengaruh dari global, sedangkan impor tetap tumbuh seiring dengan pertumbuhan investasi dan perekonomian sehingga mendorong terjadinya defisit neraca perdagangan dan defisit neraca transaksi berjalan yang mencapai 2,7% dari PDB di 2012. Defisit itu dalam jangka menengah dapat diatasi dengan mendorong pertumbuhan ‘industri hilir’ di Indonesia sehingga ketergantungan impor bahan baku yang menyumbangkan sekitar 77% dari impor dapat dikurangi.

Kebijakan yang dilakukan BI melalui peningkatan BI rate dan penurunan loan to value di sektor properti pada dasarnya bertujuan menormalkan pertumbuhan ekonomi agar sesuai dengan kapasitasnya. Bahwa pertumbuhan ekonomi kita akan mengalami perlambatan di tahun ini bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan karena negara lain pun mengalami hal yang sama bahkan lebih buruk bila dibandingkan dengan kita.

Masih bisa mempertahankan pertumbuhan di tingkat 5,8%-6% tidak akan membuat ekonomi kita terpuruk dan bahkan kita masih menjadi salah satu negara di Asia yang mengalami pertumbuhan di atas 5,5% setelah China dan Filipina. Normalisasi pertumbuhan ekonomi sangat diperlukan sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. 

Keseimbangan baru nilai tukar rupiah

Sementara itu, kebijakan intervensi US$ di pasar valuta asing dan lelang Swap merupakan kebijakan yang tepat dilakukan BI untuk menjaga stabilitas rupiah dan memperdalam pasar valuta asing di Indonesia. Tekanan yang belakangan ini kita rasakan di rupiah memang mengindikasikan bahwa rupiah saat ini sedang
mencari ‘keseimbangan baru’ sesuai dengan fundamental ekonominya.

Utang swasta yang jatuh tempo, kebutuhan impor, dan adanya repatriasi pendapatan merupakan sumber permintaan dolar dalam jangka pendek. Sementara itu, supply of dollar yang didapatkan dari ekspor, penanaman modal asing, dan arus modal asing ke portofolio saat ini masih terbatas. Akibatnya, terjadilah tekanan pada rupiah. Namun dalam jangka menengah diharapkan, tekanan pada rupiah akan berkurang seiring dengan membaiknya ekspor karena permintaan global meningkat, makin terkendalinya impor karena perlambatan pertumbuhan ekonomi, disertai dengan membaiknya kepercayaan para investor global terhadap perekonomian Indonesia sehingga mendorong kembali arus modal masuk ke Indonesia.

Walau demikian, kita semua harus ingat bahwa limpahan likuiditas dari negara maju cepat atau lambat akan berakhir pada saat kebijakan pelonggaran moneter mereka kembali ke tingkat normal. Oleh karena itu, kita harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi termasuk menghadapi volatilitas di pasar finansial kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar