Kamis, 25 Juli 2013

Kegagalan Pemerintah

Kegagalan Pemerintah
Ichsanuddin Noorsy  ;   Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
SUARA KARYA, 24 Juli 2013


Sekitar 10 tahun lalu, saat saya bergabung dengan Tim Indonesia Bangkit, ada tiga hal yang saya usulkan. Ketiga hal itu yakni kuasai pasar domestik oleh pelaku dan barang domestik, kendalikan rezim nilai tukar dan lalu lintas devisa bebas, dan posisikan barang publik (public goods) dan barang komersial (commercial goods).

Usulan yang sebenarnya tidak ada yang baru itu--karena terbiasa saya "teriakkan" selama saya duduk di DPR--waktu itu memang diterima. Tetapi ironisnya, kebijakan yang diambil oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Suwandi, Menkeu Boediono, dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ketika itu justru sebaliknya. Maka, saya mengingatkan, jangan terkejut jika dampak kebijakan liberal di berbagai sektor akan mengakibatkan harga-harga terus meroket dan pemerintah terkesan tidak berdaya menghadapi kenyataan itu.

Sikap saya ternyata direspons oleh ekonom neolib dengan kata-kata, go to hell nationalism. Chatib Basri--sekarang menjabat Menkeu--bahkan dengan ringan mengatakan, "Kantongi nasionalismemu."

Memang, bagi pemikiran ekonomi terbuka, sikap saya terkesan menutup diri atas gelombang globalisasi yang mereka sebut sebagai keniscayaan. Tetapi, mereka lupa, sebuah negara menerapkan kebijakan ekonomi terbuka pada saat pengelolaan sumber daya, produksi, dan distribusi barang publik sudah mendukung kebutuhan domestik dan ketika pengelolaan sumber daya, produksi, dan distribusi barang komersial tidak mendikte konsumen. Untuk kebanyakan ekonom, pemikiran ini lagi-lagi sarat dengan masalah politik. 

Begitulah ekonomi, pemikirannya berkepentingan untuk diterapkan melalui kewenangan eksekutif dan legislatif. Untuk memenuhi kepentingan itu, para pengusaha membayarnya melalui biaya lobi dan gratifikasi.
Kini, orang menyebutnya dengan inflasi musiman saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri manakala harga-harga kebutuhan pokok meroket. Ekonom juga menyebut inflasi barang impor (imported inflation) sebagai kata ganti meroketnya harga-harga barang yang diimpor. Padahal, semua sebutan itu sebenarnya menunjukkan kegagalan pemerintah tentang apa yang saya gagas sejak 10-15 tahun lalu.

Yang menyedihkan, para ekonom yang bangga dan menepuk dada dengan aliran ekonomi terbuka itu (as naked persons) mengatakan bahwa gejolak harga seperti sekarang bersifat sesaat. Untuk jangka panjang, itu akan kembali normal dan masyarakat terbiasa menghadapinya. Oleh Paul Krugman yang memenangi Nobel Ekonomi 2008, itu disebut sebagai hal abnormal yang menjadi normal. Atau, orang yang terbiasa mabuk bertindak seperti orang normal.

Itu disebabkan situasi seperti ini di Indonesia sudah berjalan sekitar 40 tahun dan akan terus berlanjut. Maka, muncul pertanyaan sederhana: pernahkah para ekonom dan petinggi negeri ini merefleksikan pemikiran dan kebijakannya pada ekonomi konstitusi?


Saya tidak bisa menjawabnya! Yang jelas, Amerika Serikat (AS) dan Inggris (UK) sebagai dedengkot neolib saja berpikir ulang tentang meliberalkan sektor barang publik. Itu berarti, kebijakan meliberalkan sektor-sektor strategis, termasuk barang kebutuhan pokok, membutuhkan komitmen penegakan konstitusi demi keberpihakan kepada harkat dan martabat bangsa sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar