|
SUARA
KARYA, 24 Juli 2013
Sekitar 10 tahun lalu, saat saya
bergabung dengan Tim Indonesia Bangkit, ada tiga hal yang saya usulkan. Ketiga
hal itu yakni kuasai pasar domestik oleh pelaku dan barang domestik, kendalikan
rezim nilai tukar dan lalu lintas devisa bebas, dan posisikan barang publik (public goods) dan barang komersial (commercial goods).
Usulan yang sebenarnya tidak ada
yang baru itu--karena terbiasa saya "teriakkan" selama saya duduk di
DPR--waktu itu memang diterima. Tetapi ironisnya, kebijakan yang diambil oleh
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Suwandi, Menkeu Boediono, dan Menko
Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti ketika itu justru sebaliknya. Maka, saya
mengingatkan, jangan terkejut jika dampak kebijakan liberal di berbagai sektor
akan mengakibatkan harga-harga terus meroket dan pemerintah terkesan tidak
berdaya menghadapi kenyataan itu.
Sikap saya ternyata direspons oleh
ekonom neolib dengan kata-kata, go to
hell nationalism. Chatib Basri--sekarang menjabat Menkeu--bahkan dengan
ringan mengatakan, "Kantongi nasionalismemu."
Memang, bagi pemikiran ekonomi
terbuka, sikap saya terkesan menutup diri atas gelombang globalisasi yang
mereka sebut sebagai keniscayaan. Tetapi, mereka lupa, sebuah negara menerapkan
kebijakan ekonomi terbuka pada saat pengelolaan sumber daya, produksi, dan
distribusi barang publik sudah mendukung kebutuhan domestik dan ketika
pengelolaan sumber daya, produksi, dan distribusi barang komersial tidak
mendikte konsumen. Untuk kebanyakan ekonom, pemikiran ini lagi-lagi sarat
dengan masalah politik.
Begitulah ekonomi, pemikirannya berkepentingan untuk diterapkan
melalui kewenangan eksekutif dan legislatif. Untuk memenuhi kepentingan itu,
para pengusaha membayarnya melalui biaya lobi dan gratifikasi.
Kini, orang menyebutnya dengan
inflasi musiman saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri manakala harga-harga kebutuhan
pokok meroket. Ekonom juga menyebut inflasi barang impor (imported inflation) sebagai kata ganti meroketnya harga-harga
barang yang diimpor. Padahal, semua sebutan itu sebenarnya menunjukkan
kegagalan pemerintah tentang apa yang saya gagas sejak 10-15 tahun lalu.
Yang menyedihkan, para ekonom yang
bangga dan menepuk dada dengan aliran ekonomi terbuka itu (as naked persons) mengatakan bahwa gejolak harga seperti sekarang
bersifat sesaat. Untuk jangka panjang, itu akan kembali normal dan masyarakat
terbiasa menghadapinya. Oleh Paul Krugman yang memenangi Nobel Ekonomi 2008,
itu disebut sebagai hal abnormal yang menjadi normal. Atau, orang yang terbiasa
mabuk bertindak seperti orang normal.
Itu disebabkan situasi seperti ini
di Indonesia sudah berjalan sekitar 40 tahun dan akan terus berlanjut. Maka,
muncul pertanyaan sederhana: pernahkah para ekonom dan petinggi negeri ini
merefleksikan pemikiran dan kebijakannya pada ekonomi konstitusi?
Saya tidak bisa menjawabnya! Yang
jelas, Amerika Serikat (AS) dan Inggris (UK) sebagai dedengkot neolib saja
berpikir ulang tentang meliberalkan sektor barang publik. Itu berarti,
kebijakan meliberalkan sektor-sektor strategis, termasuk barang kebutuhan
pokok, membutuhkan komitmen penegakan konstitusi demi keberpihakan kepada
harkat dan martabat bangsa sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar