Rabu, 24 Juli 2013

Content Theory dan Penegakan Hukum

Content Theory dan Penegakan Hukum
Dian Puji N SImatupang  ;  Doktor, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 23 Juli 2013


PENEGAKAN hukum di Indonesia sampai sekarang ini belum mampu mengimpresikan diri sebagai konsep kewajaran dan keadilan yang utuh menyatu. Jika dikaitkan dengan pemikiran Ronald Dworkin (1977), kondisi demikian terjadi karena aparatur hukum (legal apparatus) cenderung lemah dalam menstrukturkan hukum pada prinsip keadilan dan kewajaran, sebagai due process yang terpadu dalam suatu content theory.

Putusan pengadilan mengenai kasus kerja sama Indosat dan IM2 merupakan salah satu contoh aparatur hukum lemah dalam memahami content theory penegakan hukum. Hukum bukanlah soal kumpulan wewenang yang melegalisasikan fungsi dan kekuasaan institusi, melainkan hukum yang ditawarkan Dworkin adalah sebagai pertimbangan yang terbaik mengenai bekerjanya institusi hukum dalam masyarakat dan keluaran (output) aparatur dan institusi aparatur hukum.

Karakteristik elemen

Kasus kerja sama Indosat dan IM2 dan putusannya, apabila dikaitkan dengan content theory, memiliki empat karakteristik kritik. Pertama, dari segi elemen, dalam hukum terdapat suatu prinsip yang menjustifikasi alasan tindakan hukum, yaitu political morality dan political organization yang membenarkan pengaturan secara yuridis-formal suatu tindakan hukum. Kerja sama Indosat dan IM2 dibenarkan regulator sebagai suatu tindakan thukum dan dipolakan dalam suatu ketentuan undang-undang yang mengatur sektor telekomunikasi.

Menurut karakteristik ini, jika political morality dan political organization yang diekspresikan dalam UU Telekomunikasi dan pendapat Kementerian Komunikasi dan Informatika menyatakan tindakan kerja sama Indosat dan IM2 memiliki legalitas, hakim dibenarkan melakukan metode penafsiran menurut UU Telekomunikasi dan pendapat regulator tersebut. Di sisi lain, hakim harus menjadikan kepastian hukum (legal certainty) dalam menjatuhkan sanksi untuk mencapai keadilan dan kewajaran yang substantif. Dengan demikian, materi muatan dan pertimbangan putusan bukan seperti kebanyakan putusan lainnya.

Karakteristik relasi dan struktur

Karakteristik kedua dan ketiga ialah relasi yang menurut Dworkin dinyatakan dalam bentuk pemahaman atas hukum dan regulasi (laws and regulation) yang utuh sistematis dan tidak berdiri sendiri. Kasus kerja sama Indosat dan IM2 tidak dapat dipersepsikan dalam suatu norma hukum tertentu berdiri sendiri, tanpa memperhatikan norma hukum lainnya. Apa yang disebut sebagai intense intersection and interdependencies dalam kasus kerja sama Indosat dan IM2 ialah UU Telekomunikasi, pendapat pejabat administrasi negara yang berwenang, yaitu menteri komunikasi dan informatika, serta perjanjian itu sendiri.

Kelemahan aparatur hukum dalam memersepsikan karakteristik relasi dikategorikan sebagai anarkisme logika atas hukum. Sementara itu, karakteristik ketiga ialah struktur yang menekankan hukum sebagai integritas atau suatu pola prinsip yang bersinergi dan mengandung kepastian yang ditaati. Formula itu dalam penegakan hukum di Indonesia belum sepenuhnya mapan dijalankan karena sinergi aparatur hukum masih berpola pada egosentris sektoral yang cenderung mempertahankan pendapat dan persepsi hukumnya sendiri, tanpa memahami struktur hukum sebagai integritas keseluruhan aparatur hukum yang terpadu. Artinya, integritas aparatur hukum belum sepenuhnya mendukung terwujudnya keadilan dan kewajaran dalam penegakan hukum yang terstruktur masif.

Karakteristik integralitas

Pemikiran Dworkin mengenai karakteristik keempat ialah integralitas, yang berarti hukum dan aparatur hukum merupakan satu kesatuan utuh yang terus dikembangkan dan dibenahi. Hukum tidaklah berkembang dan bermanfaat untuk dirinya sendiri dan aparatur hukum, tetapi untuk mewujudkan keadilan dan kewajaran bagi semua subjek hukum. Demikian halnya juga dengan aparatur hukum yang tidak diadakan untuk kepentingan sektoral atau kebutuhan lembaganya saja, tetapi sebagai pendukung keadilan dan kewajaran.

Apabila dikaitkan dengan kasus dan putusan kerja sama Indosat dan IM2, karakter integralitas tersebut belum terwujudkan. Pengembangan hukum atas kasus tersebut berputar hanya pada norma dalam satu undang-undang, kurang dikembangkan dan didasari pada seluruh undang-undang secara integral. Adanya kasus dan putusan tersebut menyadarkan pada perlunya pembenahan dalam cara berpikir hukum yang tidak an sich hanya pada satu undang-undang, dengan mengabaikan undang-undang lainnya yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai satu kesatuan sistem peraturan perundang-undangan.

Selain itu, praktik berpikir aparatur hukum juga, apabila dikaitkan dengan pendapat Dworkin, harus juga dikembangkan dan dibenahi. Dikembangkan kapasitas pengetahuan dan pendalaman berpikirnya terhadap seluruh sistem hukum sebagai satu kesatuan. Di sisi yang lain, perlu ada pembenahan dalam bertindak dan berpikir rasionalitas terhadap suatu norma sehingga aparatur hukum memiliki kemampuan berpikir dalam skema yang open ended, yaitu sebuah akhir pemikiran dan persepsi yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan dinamisasi hukum dan kemanfaatan kepentingan umum yang harus dilindungi.

Keempat pemikiran Dworkin dalam content theory tersebut menjadi sangat relevan untuk diterapkan dalam reformasi institusi aparatur hukum di Indonesia sekarang ini. Reformasi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kualitas dan kapasitas aparatur hukum sehingga secara sendirinya akan menciptakan pertimbangan dan tindakan hukum yang terbaik sebagai keluaran (output) dari lembaga aparatur hukum di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar