|
KORAN
SINDO, 24 Juli 2013
Sejak buku Camera
Branding terbit, saya seringmendapat pertanyaan, masih relevankah menilai
sebuah prestasi tanpa kehadiran kamera? Seperti saat-saat ini, di Brunei
Darussalam, saya kembali ditanya, apakah masih relevan mengecek kualitas
pengusaha (atau perusahaan) berdasarkan data-data tertulis!
Siapakah pengumpul informasi yang lebih powerful, konsultan bisnis atau stasiun televisi? Maksud saya, mereka yang biasa bekerja dengan kamera. Di Brunei Darussalam saat ini saya hadir sebagai salah seorang juri untuk menentukan siapakah pemenang yang berhak mendapatkan penghargaan Asean Business Award. Tentu saja data-data sudah diolah oleh konsultan bisnis kelas dunia, dan kami tinggal memilihnya. Namun, di peradaban kamera, mungkin inilah saatnya untuk berubah.
Keunggulan Televisi
Di peradaban yang lama, kita mengambil keputusan berdasarkan data-data yang disajikan di atas kertas. Demikianlah sebagian besar perjalanan saya sebagai juri. Apakah itu pemilihan People of The Year untuk harian ini, Tokoh Paling Kontroversial, The Most Inspired People, Wirausaha Muda Mandiri, Calon Komisioner KPK, Putri Indonesia, dan sebagainya. Tetapi, di stasiun televisi saya menemukan cara lain yang jauh lebih menarik. Biasanya pemilihan dimulai dengan pekerjaan reporter plus seorang kamerawan yang melakukan reviu di lapangan.
Reporter mengajukan penyeleksian awal berdasarkan data-data yang dikonsultasikan dengan seorang ahli untuk kepentingan quality control dan teknik metodologi pengukuran. Begitu disetujui, mulailah skenario disusun dan sebuah pertunjukan diolah, disiapkan menjadi tontonan yang menarik. Inilah wujud yang sebenarnya dari peradaban kamera yang dulu pernah diteorikan oleh Irving Goffman dalam konsep dramaturginya. Bagi seorang kamerawan setiap tokoh adalah aktor.
Apakah mereka pengusaha, pejuang sosial, CEO, artis, guru, politisi, karyawan, tentara, ataupun pejabat tinggi. Tetapi, dalam peradaban kamera, acting yang terbaik bukanlah acting yang dibuat-buat, yang diskenariokan, melainkan sesuatu yang orisinal, keluar dari hati dan jiwa yang sesungguhnya. Ini yang dalam buku Camera Branding disebut sebagai auragenic.
Kamerawan yang cerdas adalah kamerawan yang berhasil menangkap momen-momen yang candid, spontan, berdasarkan keseharian yang sebenarnya: menampilkan auragenic seseorang. Dari informasi berupa film pendek itulah juri mendapatkan informasi yang lebih dalam. Bilaada keragu-raguan, reporter yang bersangkutan dipanggil dan diminta menjelaskan. Pepatah mengatakan, a pictures is a thousand word, tetapi kini a short movie is a million expression, a thousand picture.
Di situ kami mendapatkan konteks, karakter, informasi dari komunitas, dan lebih mudah menguji sebuah kebenaran. Dari situ kami bisa melihat apakah hadir kejujuran, kebenaran, atau sesuatu yang dibuat-buat. Saya membayangkan betapa kayanya bila lembaga-lembaga riset melengkapi kajian-kajiannya dengan bantuan kamera. Akan jauh lebih indah bila lembaga-lembaga pengawal demokrasi atau antikorupsi bisa merekam gambar-gambar bergerak, bukan sekadar data, apalagi data dari sumber-sumber yang selama ini lebih sekadar “dari sumber yang dirahasiakan”.
Untuk memilih komisioner KPK misalnya, ICW, MAPI, dan sebagainya (juga BIN dan kejaksaan) hanya memberikan kajian-kajian tertulis belaka. Data-data tertulis seperti itu biasanya telah disimpulkan oleh beberapa tangan dengan logika yang dibingkai masing-masing. Sedangkan ekspresinya sulit didapatkan. Seseorang misalnya dilaporkan memiliki rumah di sebuah daerah, yang satu memberikan foto bahwa ini rumah mewah. Namun, begitu diambil dari angleyangberbeda, ternyata sebaliknya. Rumah dan ukuran adalah sebuah data, sebuah video bergerak adalah realitas yang berbeda.
Di Jepang teknik mengumpulkan data seperti ini telah lama dilakukan untuk kepentingan survei pemasaran. Di depan Temple Asakura di Tokyo, saya sering melihat seseorang yang menggunakan pakaian unik sedang acting mengambil gambar. Ia berpura-pura menjadi tontonan dengan berpakaian seperti ninja. Padahal, menurut rekan saya, orang itu seorang peneliti yang sedang merekam perilaku para turis dalam berbelanja dan menghabiskan waktu di depan toko-toko suvenir.
Dari rekaman itulah, mereka kelak mengambil keputusan-keputusan strategis menyangkut display toko, flow manusia berbelanja, dan seterusnya. Di Orlando, Florida, saya juga pernah bertemu seorang peneliti asal Jepang yang merekam keluarga-keluarga muda saat turun keluar dari mobil. Mereka adalah market researcher yang disewa sebuah perusahaan automotif yang mempelajari masalah-masalah yang dihadapi pelanggan saat akan turun dari mobil sambil menurunkan anak-anak.
Saya tak pernah menyangka ihwal seperti ini ternyata menjadi penentu penting bagi keunggulan merek-merek automotif asal Jepang melawan mobil-mobil buatan Detroit. Memang mengambil data dalam bentuk rekaman kamera jauh lebih sulit, namun itu bukan tidak bisa. Kita tengah hidup dalam peradaban kamera. Setiap orang memiliki kamera. Generasi baru sudah terbiasa mengambil gambar-gambar candid melalui kamera dan mengeditnya.
Bentuk kamera juga banyak sekali; tak perlu melulu kamera besar seperti awak televisi membuat program besar. Saya percaya ke depan kita sangat membutuhkan keahlian merekam kejadian-kejadian secara candid yang dilengkapi keahlian membaca perilaku, melakukan riset-riset pemasaran, sumber daya manusia, atau karakter.
Data di Atas Kertas
Tentu saja data-data tertulis di atas kertas tetap kita butuhkan. Sebagai juri yang terlibat dalam berbagai kegiatan kami memang terbiasa cepat membaca data. Saya terlibat mulai dari pemilihan SNI (Standar Nasional Indonesia) Award hingga penghargaan Paramakarya (produktivitas). Dari penghargaan kewirausahaan hingga pengusaha ASEAN. Dari seputar CSR hingga pejuang- pejuang lingkungan dan orang-orang cantik. Semuanya serbakertas. Data-data itu diolah orang-orang hebat, diklasifikasi, dan dikaji secara independen.
Namun, apa pun hasilnya selalu ada kekurangannya. Saya kira dalam peradaban ini kamera bisa membantu kita menangkap realita seperti kata Yousuf Karsh, “Look and think before opening the shutter. The heart and mind are the true lens.” Di depan kamera manusia tidak pernah menunjukkan diri yang sebenarnya. Kita tentu tidak perlu menampiknya. Diperlukan kepiawaian untuk menangkap sebuah realitas ke dalam bingkai kebenaran. Namun, Annie Lerbovitz pernah mengingatkan lambat laun manusia bisa tertipu oleh kamera karena mereka pun bisa hanyut dan terlupa bahwa kehidupan mereka begitu telanjang. Dengarkanlah ucapannya.
“The Camera makes you forget you’re there. It’s not like you are hiding but you forget, you are just looking so much” (Annie Heirboritz). Bila kamera kita gunakan, bisa jadi tokoh-tokoh yang terpilih akan berubah, dilengkapi tokoh-tokoh yang barangkali selama ini kita abaikan. Di balik kekuatan data-data independen yang dijaga ilmu pengetahuan, terletak kekuatan kemanusiaan yang berisi panggilan jiwa dan karakter umat manusia. Itulah yang sering luput dari orang-orang yang bergelut dengan pengetahuan. Kita adalah manusia dengan segala kekurangannya yang bisa luput menangkap panggilan jiwa penggerak kehidupan. ●
Siapakah pengumpul informasi yang lebih powerful, konsultan bisnis atau stasiun televisi? Maksud saya, mereka yang biasa bekerja dengan kamera. Di Brunei Darussalam saat ini saya hadir sebagai salah seorang juri untuk menentukan siapakah pemenang yang berhak mendapatkan penghargaan Asean Business Award. Tentu saja data-data sudah diolah oleh konsultan bisnis kelas dunia, dan kami tinggal memilihnya. Namun, di peradaban kamera, mungkin inilah saatnya untuk berubah.
Keunggulan Televisi
Di peradaban yang lama, kita mengambil keputusan berdasarkan data-data yang disajikan di atas kertas. Demikianlah sebagian besar perjalanan saya sebagai juri. Apakah itu pemilihan People of The Year untuk harian ini, Tokoh Paling Kontroversial, The Most Inspired People, Wirausaha Muda Mandiri, Calon Komisioner KPK, Putri Indonesia, dan sebagainya. Tetapi, di stasiun televisi saya menemukan cara lain yang jauh lebih menarik. Biasanya pemilihan dimulai dengan pekerjaan reporter plus seorang kamerawan yang melakukan reviu di lapangan.
Reporter mengajukan penyeleksian awal berdasarkan data-data yang dikonsultasikan dengan seorang ahli untuk kepentingan quality control dan teknik metodologi pengukuran. Begitu disetujui, mulailah skenario disusun dan sebuah pertunjukan diolah, disiapkan menjadi tontonan yang menarik. Inilah wujud yang sebenarnya dari peradaban kamera yang dulu pernah diteorikan oleh Irving Goffman dalam konsep dramaturginya. Bagi seorang kamerawan setiap tokoh adalah aktor.
Apakah mereka pengusaha, pejuang sosial, CEO, artis, guru, politisi, karyawan, tentara, ataupun pejabat tinggi. Tetapi, dalam peradaban kamera, acting yang terbaik bukanlah acting yang dibuat-buat, yang diskenariokan, melainkan sesuatu yang orisinal, keluar dari hati dan jiwa yang sesungguhnya. Ini yang dalam buku Camera Branding disebut sebagai auragenic.
Kamerawan yang cerdas adalah kamerawan yang berhasil menangkap momen-momen yang candid, spontan, berdasarkan keseharian yang sebenarnya: menampilkan auragenic seseorang. Dari informasi berupa film pendek itulah juri mendapatkan informasi yang lebih dalam. Bilaada keragu-raguan, reporter yang bersangkutan dipanggil dan diminta menjelaskan. Pepatah mengatakan, a pictures is a thousand word, tetapi kini a short movie is a million expression, a thousand picture.
Di situ kami mendapatkan konteks, karakter, informasi dari komunitas, dan lebih mudah menguji sebuah kebenaran. Dari situ kami bisa melihat apakah hadir kejujuran, kebenaran, atau sesuatu yang dibuat-buat. Saya membayangkan betapa kayanya bila lembaga-lembaga riset melengkapi kajian-kajiannya dengan bantuan kamera. Akan jauh lebih indah bila lembaga-lembaga pengawal demokrasi atau antikorupsi bisa merekam gambar-gambar bergerak, bukan sekadar data, apalagi data dari sumber-sumber yang selama ini lebih sekadar “dari sumber yang dirahasiakan”.
Untuk memilih komisioner KPK misalnya, ICW, MAPI, dan sebagainya (juga BIN dan kejaksaan) hanya memberikan kajian-kajian tertulis belaka. Data-data tertulis seperti itu biasanya telah disimpulkan oleh beberapa tangan dengan logika yang dibingkai masing-masing. Sedangkan ekspresinya sulit didapatkan. Seseorang misalnya dilaporkan memiliki rumah di sebuah daerah, yang satu memberikan foto bahwa ini rumah mewah. Namun, begitu diambil dari angleyangberbeda, ternyata sebaliknya. Rumah dan ukuran adalah sebuah data, sebuah video bergerak adalah realitas yang berbeda.
Di Jepang teknik mengumpulkan data seperti ini telah lama dilakukan untuk kepentingan survei pemasaran. Di depan Temple Asakura di Tokyo, saya sering melihat seseorang yang menggunakan pakaian unik sedang acting mengambil gambar. Ia berpura-pura menjadi tontonan dengan berpakaian seperti ninja. Padahal, menurut rekan saya, orang itu seorang peneliti yang sedang merekam perilaku para turis dalam berbelanja dan menghabiskan waktu di depan toko-toko suvenir.
Dari rekaman itulah, mereka kelak mengambil keputusan-keputusan strategis menyangkut display toko, flow manusia berbelanja, dan seterusnya. Di Orlando, Florida, saya juga pernah bertemu seorang peneliti asal Jepang yang merekam keluarga-keluarga muda saat turun keluar dari mobil. Mereka adalah market researcher yang disewa sebuah perusahaan automotif yang mempelajari masalah-masalah yang dihadapi pelanggan saat akan turun dari mobil sambil menurunkan anak-anak.
Saya tak pernah menyangka ihwal seperti ini ternyata menjadi penentu penting bagi keunggulan merek-merek automotif asal Jepang melawan mobil-mobil buatan Detroit. Memang mengambil data dalam bentuk rekaman kamera jauh lebih sulit, namun itu bukan tidak bisa. Kita tengah hidup dalam peradaban kamera. Setiap orang memiliki kamera. Generasi baru sudah terbiasa mengambil gambar-gambar candid melalui kamera dan mengeditnya.
Bentuk kamera juga banyak sekali; tak perlu melulu kamera besar seperti awak televisi membuat program besar. Saya percaya ke depan kita sangat membutuhkan keahlian merekam kejadian-kejadian secara candid yang dilengkapi keahlian membaca perilaku, melakukan riset-riset pemasaran, sumber daya manusia, atau karakter.
Data di Atas Kertas
Tentu saja data-data tertulis di atas kertas tetap kita butuhkan. Sebagai juri yang terlibat dalam berbagai kegiatan kami memang terbiasa cepat membaca data. Saya terlibat mulai dari pemilihan SNI (Standar Nasional Indonesia) Award hingga penghargaan Paramakarya (produktivitas). Dari penghargaan kewirausahaan hingga pengusaha ASEAN. Dari seputar CSR hingga pejuang- pejuang lingkungan dan orang-orang cantik. Semuanya serbakertas. Data-data itu diolah orang-orang hebat, diklasifikasi, dan dikaji secara independen.
Namun, apa pun hasilnya selalu ada kekurangannya. Saya kira dalam peradaban ini kamera bisa membantu kita menangkap realita seperti kata Yousuf Karsh, “Look and think before opening the shutter. The heart and mind are the true lens.” Di depan kamera manusia tidak pernah menunjukkan diri yang sebenarnya. Kita tentu tidak perlu menampiknya. Diperlukan kepiawaian untuk menangkap sebuah realitas ke dalam bingkai kebenaran. Namun, Annie Lerbovitz pernah mengingatkan lambat laun manusia bisa tertipu oleh kamera karena mereka pun bisa hanyut dan terlupa bahwa kehidupan mereka begitu telanjang. Dengarkanlah ucapannya.
“The Camera makes you forget you’re there. It’s not like you are hiding but you forget, you are just looking so much” (Annie Heirboritz). Bila kamera kita gunakan, bisa jadi tokoh-tokoh yang terpilih akan berubah, dilengkapi tokoh-tokoh yang barangkali selama ini kita abaikan. Di balik kekuatan data-data independen yang dijaga ilmu pengetahuan, terletak kekuatan kemanusiaan yang berisi panggilan jiwa dan karakter umat manusia. Itulah yang sering luput dari orang-orang yang bergelut dengan pengetahuan. Kita adalah manusia dengan segala kekurangannya yang bisa luput menangkap panggilan jiwa penggerak kehidupan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar