|
SUARA
KARYA, 23 Juli 2013
Tidak saja di dalam negeri, di luar
negeri pun anak Indonesia terlantar, baik karena tidak bisa bersekolah, putus
sekolah, atau malah buta huruf. Di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, mereka yang
terlantar pendidikannya saat ini lebih dari 53 ribu anak tenaga kerja Indonesia
(TKI). Mereka berusia sampai dengan 17 tahun tersebar di wilayah-wilayah
perkebunan kelapa sawit negeri itu.
Bahkan, anak Indonesia yang
tinggal bersama orang tua mereka di kebun kelapa sawit dan tidak bersekolah
itu, karena tidak terdata jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Mereka itu menunggu
janji Pemerintah Indonesia yang akan memberikan layanan pendidikan bermutu bagi
semua anak Indonesia di manapun berada.
Kepala Sekolah Indonesia Kota Kota
Kinabalu (SIKK) Dadang Hermawan menyatakan, pendataan sulit dilakukan disebabkan
oleh luasnya daerah yang ditempati, dan sulitnya komunikasi serta transportasi.
Belum lagi anak-anak dari orang tua yang datang ke wilayah Malaysia itu banyak
yang tidak melalui cara-cara resmi. Sementara, jarak terdekat ke pusat kota
sekitar 90-an kilometer (Km).
"Anak yang tidak bersekolah
sebanyak 53.000 orang itu yang tercatat, sementara mereka yang tidak tercatat
jauh lebih banyak. Mereka berpencar di tengah-tengah ladang sawit," kata
Dadang Hermawan. Ironisnya, sebagian dari majikan mereka membiarkan anak-anak
TKI ini terlantar pendidikannya dengan harapan, nanti anak-anak tersebut
sebagai pengganti orang tua mereka yang tidak berpendidikan dan rela dibayar
murah sebagai pekerja di kebun sawit.
Upah yang diterima TKI di
perkebunan kelapa sawit di Sabah seperti diungkapkan Dadang, upah yang diterima
oleh para TKI jauh dari layak. Mereka dibayar 14 Ringgit Malaysia (RM 14)
hingga RM 16 per hari. Upah itu bisa lebih mencapai RM 20 (sekitar Rp 60 ribu)
jika isteri dan anak mereka ikut membantu, misalnya menyebarkan pupuk.
Pekerjaan TKI itu terdiri dari penebang sawit dengan tombak, supir truk, dan
pembersih rumput.
Dadang Hermawan ditugaskan oleh
Kemendiknas sebagai kepala sekolah ke areal perkebunan tempat TKI itu, beberapa
tahun lalu. Namun, waktu itu sama sekali belum ada bangunan sekolah. Ia mengaku
kebingungan dan tetap bersemangat bertugas karena ingat ingat bagaimana lolos
seleksi untuk bertugas di Kinabalu.
Dia mulai bekerja sejak mendata
murid, mencari tempat, dan berupaya untuk mendapatkan izin mendirikan sekolah
dari pemerintah Malaysia. Semuanya dilaluinya dengan perjuangan yang tidak
kenal lelah. Sementara Pemerintah Malaysia "setengah hati" memberikan
izin untuk mendirikan sekolah bagi anak TKI. Pihak Malaysia sangat hati-hati
untuk mengeluarkan izin secara tertulis, walaupun sudah ada perjanjian di
tingkat pimpinan negara.
Karena itu, Pemerintah Malaysia
memberi izin secara lisan saja untuk menbangun sekolah Indonesia atas alasan
apabila sewaktu-waktu terjadi perubahan kebijakan, mereka mudah mencabut
izinnya. "Ini membuat kita ketar-ketir dengan pendidikan anak TKI di
Kinabalu," ucap Dadang.
Meski demikian, dengan segala daya
upaya SIKK bisa didirikan di sebuah ruko. Sampai sekarang, SIKK masih menempati
ruko itu karena menunggu penyelesaian bangunan sekolah yang tengah dikerjakan.
Data sekolah itu mengungkapkan,
saat ini terdapat 20 kelas siswa SD sampai SMP. Jumlah siswa satu kelasnya
rata-rata di atas 30 orang, dan itupun ada beberapa anak yang tidak tertampung.
Ada sebagaian yang terpaksa hanya belajar di hari Sabtu dan Minggu, antara
Kelas 2 dan Kelas 3 digabung dan diajar oleh satu orang guru. Mereka yang
belajar pada hanya Sabtu dan Minggu saja masuk program Paket A meskipun usia
mereka adalah usia sekolah. Persoalan di daerah perkebunan lebih kompleks lagi.
"Kita tidak mungkin mendirikan sekolah, di samping siswanya berpencar,
juga sangat sulit mendapatkan izin, untuk itu kita melayani anak melalui Community Learning Centre (CLC), ada
sekitar 90-an CLC," jelas Dadang.
Menurut Dadang, masing-masing CLC
dilayani oleh para tutor yang sudah dilatih khusus. Persoalannya, para tutor
ini harus bekerja keras untuk mejangkau sasaran dan seringkali harus berjalan
kaki berkilo-kilo meter atau naik truk terbuka untuk menuju daerah binaan.
Di CLC pun, seorang tutor harus
siap melayani semua anak dengan berbagai usia dan tingkatan, serta mengajar
semua mata pelajaran, termasuk mengajar mengaji untuk pendidikan agama. Secara
keseluruhan, baru sekitar 1.800-an anak yang terlayani oleh CLC. Namun, di
tengah-tengah keprihatinan pendidikan anak TKI itu, para guru dan tutor CLC
ternyata harapan tetap ada. Terbukti, prestasi ditoreh sejak awal berdirinya
SIKK. Antara lain, Juara 1 Tingkat Nasional Katagori Tatabusana (menjahit)
tahun 2012, di tingkat Internasional Juara 3 lomba puisi sampai dengan tahun
2009, Juara 2 lomba menyanyi SD, Juara 1 katagori tari kreasi SMP Tahun 202
yang diikuti 15 negara yg memiliki Sekolah Indonesia Luar Negeri, Tahun 2013
juara Umum Porseni SD di Sabah.
Sukses menyelenggarakan Apresiasi
dan Kreasi Seni, Olahraga dan Ilmu pengetahuan SMP se-Sabah diikuti oleh 400
peserta (tahun 2013 akan dilaksanakan yang ke-3). Persembahan dalam Harmoni
Budaya Indonesia - Malaysia, Malam Budaya KJRI Kota Kinabalu, tahun 2013
dilibatkan dalam Porseni resmi Malaysia (satu-satunya sekolah Indonesia di luar negeri yang bisa ikut kegiatan internal
negara setempat).
Namun, pendidikan anak TKI di
Kinabalu dan luar negeri umumnya membutuhkan perhatian serius agar tidak
selamanya mereka terpuruk. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar