Rabu, 24 Juli 2013

Masalah Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (1)

Masalah Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (1)
Zulfikri Anas  ;  Mahasiswa Pascasarjana (S2) Universitas Muhammadiyah Surakarta
SUARA KARYA, 23 Juli 2013


Tidak saja di dalam negeri, di luar negeri pun anak Indonesia terlantar, baik karena tidak bisa bersekolah, putus sekolah, atau malah buta huruf. Di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia, mereka yang terlantar pendidikannya saat ini lebih dari 53 ribu anak tenaga kerja Indonesia (TKI). Mereka berusia sampai dengan 17 tahun tersebar di wilayah-wilayah perkebunan kelapa sawit negeri itu.

Bahkan, anak Indonesia yang tinggal bersama orang tua mereka di kebun kelapa sawit dan tidak bersekolah itu, karena tidak terdata jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Mereka itu menunggu janji Pemerintah Indonesia yang akan memberikan layanan pendidikan bermutu bagi semua anak Indonesia di manapun berada.

Kepala Sekolah Indonesia Kota Kota Kinabalu (SIKK) Dadang Hermawan menyatakan, pendataan sulit dilakukan disebabkan oleh luasnya daerah yang ditempati, dan sulitnya komunikasi serta transportasi. Belum lagi anak-anak dari orang tua yang datang ke wilayah Malaysia itu banyak yang tidak melalui cara-cara resmi. Sementara, jarak terdekat ke pusat kota sekitar 90-an kilometer (Km).

"Anak yang tidak bersekolah sebanyak 53.000 orang itu yang tercatat, sementara mereka yang tidak tercatat jauh lebih banyak. Mereka berpencar di tengah-tengah ladang sawit," kata Dadang Hermawan. Ironisnya, sebagian dari majikan mereka membiarkan anak-anak TKI ini terlantar pendidikannya dengan harapan, nanti anak-anak tersebut sebagai pengganti orang tua mereka yang tidak berpendidikan dan rela dibayar murah sebagai pekerja di kebun sawit.

Upah yang diterima TKI di perkebunan kelapa sawit di Sabah seperti diungkapkan Dadang, upah yang diterima oleh para TKI jauh dari layak. Mereka dibayar 14 Ringgit Malaysia (RM 14) hingga RM 16 per hari. Upah itu bisa lebih mencapai RM 20 (sekitar Rp 60 ribu) jika isteri dan anak mereka ikut membantu, misalnya menyebarkan pupuk. Pekerjaan TKI itu terdiri dari penebang sawit dengan tombak, supir truk, dan pembersih rumput.

Dadang Hermawan ditugaskan oleh Kemendiknas sebagai kepala sekolah ke areal perkebunan tempat TKI itu, beberapa tahun lalu. Namun, waktu itu sama sekali belum ada bangunan sekolah. Ia mengaku kebingungan dan tetap bersemangat bertugas karena ingat ingat bagaimana lolos seleksi untuk bertugas di Kinabalu.

Dia mulai bekerja sejak mendata murid, mencari tempat, dan berupaya untuk mendapatkan izin mendirikan sekolah dari pemerintah Malaysia. Semuanya dilaluinya dengan perjuangan yang tidak kenal lelah. Sementara Pemerintah Malaysia "setengah hati" memberikan izin untuk mendirikan sekolah bagi anak TKI. Pihak Malaysia sangat hati-hati untuk mengeluarkan izin secara tertulis, walaupun sudah ada perjanjian di tingkat pimpinan negara.

Karena itu, Pemerintah Malaysia memberi izin secara lisan saja untuk menbangun sekolah Indonesia atas alasan apabila sewaktu-waktu terjadi perubahan kebijakan, mereka mudah mencabut izinnya. "Ini membuat kita ketar-ketir dengan pendidikan anak TKI di Kinabalu," ucap Dadang.

Meski demikian, dengan segala daya upaya SIKK bisa didirikan di sebuah ruko. Sampai sekarang, SIKK masih menempati ruko itu karena menunggu penyelesaian bangunan sekolah yang tengah dikerjakan.
Data sekolah itu mengungkapkan, saat ini terdapat 20 kelas siswa SD sampai SMP. Jumlah siswa satu kelasnya rata-rata di atas 30 orang, dan itupun ada beberapa anak yang tidak tertampung. Ada sebagaian yang terpaksa hanya belajar di hari Sabtu dan Minggu, antara Kelas 2 dan Kelas 3 digabung dan diajar oleh satu orang guru. Mereka yang belajar pada hanya Sabtu dan Minggu saja masuk program Paket A meskipun usia mereka adalah usia sekolah. Persoalan di daerah perkebunan lebih kompleks lagi. "Kita tidak mungkin mendirikan sekolah, di samping siswanya berpencar, juga sangat sulit mendapatkan izin, untuk itu kita melayani anak melalui Community Learning Centre (CLC), ada sekitar 90-an CLC," jelas Dadang.

Menurut Dadang, masing-masing CLC dilayani oleh para tutor yang sudah dilatih khusus. Persoalannya, para tutor ini harus bekerja keras untuk mejangkau sasaran dan seringkali harus berjalan kaki berkilo-kilo meter atau naik truk terbuka untuk menuju daerah binaan.

Di CLC pun, seorang tutor harus siap melayani semua anak dengan berbagai usia dan tingkatan, serta mengajar semua mata pelajaran, termasuk mengajar mengaji untuk pendidikan agama. Secara keseluruhan, baru sekitar 1.800-an anak yang terlayani oleh CLC. Namun, di tengah-tengah keprihatinan pendidikan anak TKI itu, para guru dan tutor CLC ternyata harapan tetap ada. Terbukti, prestasi ditoreh sejak awal berdirinya SIKK. Antara lain, Juara 1 Tingkat Nasional Katagori Tatabusana (menjahit) tahun 2012, di tingkat Internasional Juara 3 lomba puisi sampai dengan tahun 2009, Juara 2 lomba menyanyi SD, Juara 1 katagori tari kreasi SMP Tahun 202 yang diikuti 15 negara yg memiliki Sekolah Indonesia Luar Negeri, Tahun 2013 juara Umum Porseni SD di Sabah.

Sukses menyelenggarakan Apresiasi dan Kreasi Seni, Olahraga dan Ilmu pengetahuan SMP se-Sabah diikuti oleh 400 peserta (tahun 2013 akan dilaksanakan yang ke-3). Persembahan dalam Harmoni Budaya Indonesia - Malaysia, Malam Budaya KJRI Kota Kinabalu, tahun 2013 dilibatkan dalam Porseni resmi Malaysia (satu-satunya sekolah Indonesia di luar negeri yang bisa ikut kegiatan internal negara setempat).
Namun, pendidikan anak TKI di Kinabalu dan luar negeri umumnya membutuhkan perhatian serius agar tidak selamanya mereka terpuruk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar