Kamis, 25 Juli 2013

Jokowisasi di Pilgub Jatim

Jokowisasi di Pilgub Jatim
Husnun N Djuraid  ;   Jurnalis, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang
JAWA POS, 24 Juli 2013


PEMILIHAN gubernur (pilgub) di DKI, Jateng, dan Jatim memiliki kemiripan. Yakni, pertarungan gubernur incumbent melawan calon yang diusung PDIP. Di Jakarta, Fauzi Bowo tergusur oleh calon PDIP yang tidak diperhitungkan dan dikecilkan survei, Joko Widodo (Jokowi)-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hal yang sama terjadi di Jateng. Gubernur Bibit Waluyo yang berpasangan dengan Prof Dr Sudijono dikalahkan pasangan PDIP Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. 

Dalam pilgub Jatim, pasangan gubernur Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa) maju lagi melawan Bambang D.H.-Said Abdullah (Jempol) dari PDIP dan Eggy Sujana-M. Sihat. Apakah dalam pilgub Jatim ini pasangan PDIP akan mengulang kesuksesan di DKI dan Jateng?

PDIP, sebagai partai pengusung, tentu berusaha menjadikan success story Jokowi sebagai model untuk pemilihan kepala daerah yang lain. Gaya Jokowi yang nonformal, santai dan suka blusukan ke lapisan masyarakat bawah, dijadikan pakem bagi calon PDIP yang ingin mengulang suksesnya.

Model itu kemudian dicoba pada pilgub Jabar melalui pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki dan pilgub Sumut melalui Efendi Simbolon-Jumiran Abdi. Uji coba Jokowi effect dalam dua pilgub itu ternyata gagal, meski strategi yang dipakai hampir sama, bahkan Jokowi sendiri harus diterjunkan untuk ikut kampanye langsung. Dua jago PDIP tersebut gagal mengalahkan pasangan incumbent.

Gagal di Jabar dan Sumut (juga Bali), Jokowi effect berusaha diusung dalam pilgub Jateng melalui pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Sama seperti di DKI, Jabar, dan Sumut, pasangan tersebut berhadapan dengan lawan tangguh Gubernur Bibit Waluyo. Dalam beberapa survei, Ganjar-Heru selalu ditempatkan di posisi bawah, kalah oleh pasangan lain. Apalagi, proses penetapan pasangan itu ''agak bermasalah''. Sebenarnya, yang diharapkan maju pilgub dari PDIP adalah Wagub Rustriningsih yang lebih populer dibanding Ganjar. Tapi, DPP punya pertimbangan lain untuk tidak memilih Rustriningsih. Ganjar dipilih sebagai kader muda yang cerdas dan loyalitasnya yang tinggi kepada partai.

Belajar dari kegagalan di Jabar dan Sumut, DPP PDIP all-out. Cara pemenangan model Jokowi berusaha diterapkan dengan sungguh-sungguh, apalagi lokasi pemilihan berada di tanah kelahiran Jokowi. Ada ikatan batin Jokowi dengan masyarakat Jateng, terutama Solo dan sekitarnya. Konfliknya dengan Gubernur Bibit Waluyo dalam penggusuran bangunan bersejerah di Solo menempatkan dia sebagai pihak yang dizalimi atasannya. Jokowi menjadi salah satu magnet Ganjar-Heru yang membawa tagline ''Mboten ngapusi mboten korupsi''. Di luar prediksi banyak pihak, Ganjar-Heru menang satu putaran.

Jokowi effect itu tentu berusaha ditularkan dalam pilgub Jatim oleh pasangan PDIP Bambang D.H.-Said Abdullah. Tanda-tanda tersebut sudah terlihat dengan model kampanye blusukan yang dilakukan pasangan bersimbol Jempol tersebut. PDIP kini punya tradisi baru dalam memenangi pilkada, menurunkan tim dari DPP dan menempatkan pengurus DPP sebagai ketua tim suksesnya. Bahkan, Jokowi sudah dijadwalkan untuk turun sebagai jurkam.

Apakah Jokowi mampu membantu rekan separtainya itu mengalahkan  incumbent seperti yang dilakukan di Jateng? Pertarungan inilah yang layak dicermati, meski sama-sama menghadapi incumbent yang dalam beberapa hal memiliki kekuatan, terutama infrastruktur politik yang mendompleng jalur birokrasi. Meski demikian, tidak berarti incumbent tidak punya masalah. Banyak masalah yang kalau jeli memanfaatkannya bisa menjadi senjata yang mematikan.

Dalam pilgub DKI, Jokowi menghadapi lawan gubernur yang sarat dengan masalah khas Jakarta seperti kemacetan dan banjir. Selain itu, gubernur DKI kala itu dikenal tidak bersahabat dengan media serta sering mengeluarkan pernyataan kontroversial. Dalam pilgub Jateg, Ganjar juga menghadapi gubernur yang relatif sukses memimpin provinsinya, namun kerap membuat kontroversi. Konfliknya dengan Wagub Rustriningsih juga menjadi titik lemah.

Tentu saja pasangan Jempol tidak bisa membawa kesuksesan dua rekannya itu langsung ke Jatim. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Sebab, pasangan yang dihadapi adalah gubernur dan wakilnya yang selama ini dikenal kompak dan harmonis. Prestasinya juga tidak terlalu jelek, bahkan dalam beberapa sektor seperti ekonomi menunjukkan pertumbuhan yang sangat baik. Secara politis, pasangan tersebut memiliki dukungan yang kuat dari banyak parpol, baik di parlemen maupun nonparlemen.

Salah satu masalah politis yang dihadapi pasangan itu adalah klaim pendukung Khofifah Indar Parawansa yang menyebutnya sebagai penggagal calon dari PKB untuk maju pilgub. Meski demikian, tidak berarti dukungan itu otomatis diberikan kepada Jempol. Perlu kerja keras, tidak cukup hanya mengandalkan Jokowi sebagai jurkam. Karakter masyarakat Jatim tentu tidak sama dengan DKI dan Jateng. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar