|
KOMPAS,
24 Juli 2013
Praktik politik dalam ruang publik
politis di negeri ini kian jauh dari etika politik dan kesantunan. Dari politik
saling sandera hingga kartelisasi politik dimainkan oleh mesin-mesin citra
politik (elektronik-digital) atas nama popularitas, yang sejatinya tak lebih
dari permainan bebas tanda dan anarkisme politik dalam media virtual.
Elite politik sibuk menokohkan diri
mengakali lubang kelemahan regulasi kampanye yang sulit menjangkau hegemoni
kuasa modal politik dalam media cetak/elektronik. Fase posrealitas politik
semacam itu telah mengusung realitas palsu dan realitas artifisial yang
berkelindan serta menafikan batas di antara semua hal tersebut. Batas etika
politik dan norma hukum pun tak mampu lagi menumbuhkan kesantunan
dan fairness dalam berpolitik. Setiap hari publik didikte untuk memercayai
sebagai kebenaran sesuatu yang sebenarnya adalah manipulasi teknologis belaka.
Realitas palsu semacam itu setiap
hari mengajak publik agar bersikap tak kritis dan bahkan menjerumuskannya ke
dalam alam sesat pikir, yang dalam bahasa Latin disebut dengan petiio
principii: menganggap sebagai benar dan menggunakannya sebagai premis, justru
kesimpulan yang masih harus dibuktikan.
Disetujuinya UU Ormas oleh DPR yang
di dalamnya kental semangat pengendalian ormas dengan seperangkat ancaman
eliminasi terhadap eksistensi dan kriminalisasi ormas menimbulkan kesan adanya
upaya untuk kian mereduksi sikap-sikap kritis dan kebebasan berserikat warga
negara yang dijamin konstitusi. Kian lemahnya kontrol kritis masyarakat sipil
akan membuka lebar pintu ortodoksi politik yang setiap saat bisa memberikan
ruang leluasa bagi kembalinya rezim otoriter-birokratik dalam kendali hegemoni
permainan kartel politik.
F Lordon (2008), seorang ilmuwan
politik, pernah menyebutkan empat sindrom yang mencerminkan lemahnya institusi
politik. Dua di antaranya: korupsi kartel elite serta korupsi oligarki dan
klan. Kartel elite bisa mendominasi siklus kebijakan publik dan ruang-ruang
demokrasi karena lemahnya kapasitas institusi-institusi politik. Korupsi
oligarki terjadi di saat elite-elite birokrasi, politik, dan privat
bersimbiosis memainkan kepentingan jaringan koneksitas dalam siklus kebijakan
publik.
Fatamorgana
politik
Seluruh siklus kebijakan publik
dieksploitasi dan energinya diserap untuk kepentingan jaringan koneksitas
oligarki dan klan. Imajinasi yang sempat dibayangkan oleh UU No 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme di masa awal reformasi telah tereliminasi praktik-praktik kartel
politik. Bahkan, isu kolusi dan nepotisme kini kian tenggelam di tengah
absurditas upaya-upaya pemberantasan korupsi.
Dunia politik kini tak lebih hanya
menjadi fatamorgana politik, yang dalam pandangan Benedict Anderson disebut
minim imajinasi dan kian rapuh oleh permainan bebas citra dan tanda yang anarkistis.
Pemalsuan kebenaran yang menopengi bopengnya realitas telah mendekonstruksi
kebenaran dan struktur pengetahuan akan yang hak dan yang batil. Bekerjanya
kekuasaan kartel politik di balik produksi pengetahuan tentang realitas telah
membuka jalan bagi hadirnya ideologi dalam mendeviasi realitas atau menciptakan
kesadaran palsu, seperti yang pernah diutarakan filsuf Karl Marx di masa lalu.
Kontestasi politik yang di banyak
arena cenderung memanas dan lazimnya berujung pada kerusuhan atau perusakan,
seharusnya dipahami sebagai pesan bagi para elite politik untuk berintrospeksi
dan merefleksi ulang genealogi imajinasi para founding fathers and
mothers mengenai hakikat sebuah negara bangsa yang mengayomi dan
menyejahterakan seluruh rakyatnya, dibimbing oleh keteladanan sang pemimpin
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar