Kamis, 25 Juli 2013

Belah Bambu Penanganan Korupsi

Belah Bambu Penanganan Korupsi
Marwan Mas  ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SUARA KARYA, 24 Juli 2013


Publik mulai gerah menanti keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan berbagai kasus yang melibatkan elite politik dan kekuasaan. Malah ada keraguan, jangan-jangan KPK sudah mulai tertular virus "belah bambu" dalam memproses kasus korupsi, yaitu menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas.

Ada kasus yang secara terang menyeret elite politik, tetapi belum ada kemajuan berarti meski sudah ditetapkan tersangka. Misalnya, kasus Hambalang dengan tersangka Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, dua mantan petinggi Partai Demokrat. Belum jelas, apa keduanya segera dibawa ke sidang pengadilan, sebab tanda-tanda untuk itu masih samar-samar. Malah Anas belum pernah diperiksa sebagai "tersangka", sehingga wajar jika publik mulai ragu atas keseriusan KPK.

Berbeda dengan kasus mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq dan sang broker Ahmad Fathanah yang diduga terkait kasus impor daging sapi, prosesnya begitu kencang, jalannya seperti di jalan tol. Tanpa bermaksud membela PKS, tetapi fakta itu patut ditelisik agar tidak ada kesan pilih kasih.

Hal serupa juga terjadi pada kasus yang melibatkan kader Partai Golkar seperti Gubernur Riau, Rusli Zainal yang diduga terlibat dalam kasus korupsi dana pembahasan Perda PON di Riau dan kasus pengesahan pemanfaatan hasil hutan pada tanaman industri tahun 2001-2006. Begitu cepat KPK bereaksi dengan tindakan penahanan, sementara Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum tetap aman.

Kencangnya reaksi KPK terhadap kader PKS, Partai Golkar, dan PDI-P seperti Emir Moeis yang cepat ditahan dalam dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga uap di Lampung, tetapi berbeda terhadap kasus petinggi Partai Demokrat. Jangan-jangan KPK belum menemukan "alat bukti" yang kuat untuk dibawa ke penuntutan. Apalagi, KPK lebih sering merevisi janjinya, misalnya, akan menahan Andi Mallarangeng dan Anas setelah Lebaran, padahal janji itu sudah pernah diumbar.

Malah ada yang curiga, penetapan tersangka kasus Hambalang lantaran tekanan publik. Atau, karena terpengaruh kisruh elite Partai Demokrat yang menurun elektabilitasnya, sehingga Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta Anas konsentrasi pada kasus Hambalang, padahal belum dijadikan tersangka. Tidak lama kemudian, KPK menetapkan Anas sebagai tersangka. Ada yang membacanya sebagai pesan halus Presiden SBY.

Amat wajar mempertanyakan penyidikan KPK yang berputar-putar seperti gasing dalam kubangan korupsi. Sebagai lembaga superbodi, seharusnya KPK tidak boleh terhambat oleh tekanan apa pun, apalagi rakyat begitu kuat mendukung. Apakah memang KPK belum punya bukti kuat, atau justru KPK sudah masuk angin?

Dalam bulan suci Ramadhan sebetulnya kita tidak ingin berprasangka buruk terhadap KPK. Bagaimana pun KPK harus dijaga karena sudah mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi. Tetapi juga tidak keliru jika "mengingatkan" agar lebih fokus dan berani menebas siapa pun yang terlibat. Rakyat berhak bertanya sekaligus mengritik terkait berbagai kejanggalan yang mengarah pada tindakan pilih kasih.

Kita berharap KPK menjawabnya dengan aksi konkret, bukan ikut berpolemik dan mengumbar janji di ruang publik. Sementara realitas berkata lain, hanya kasus tertentu yang dipercepat, sementara kasus lain masih saja jalan di tempat. Saya khawatir, kalau rakyat, mahasiswa, lembaga antikorupsi, dan pers tidak gencar mengingatkan KPK, kedua kasus kakap itu akan hilang dari peredaran.

Semoga KPK jilid ketiga tidak berfikir untuk mengoper kedua kasus itu kepada KPK berikutnya. Sebab, publik begitu banyak berharap, sudah hampir dua tahun KPK jilid ketiga di bawah pimpinan Abraham Samad, tetapi penanganan kasus Hambalang dan Century belum memberikan sinyal akan dibawa ke penuntutan. KPK juga paham oleh pembatasan Pasal 40 UU Nomor 30/2002 tentang KPK untuk tidak boleh menghentikan penyidikan, sehingga percepatan kasus itu merupakan pilihan terbaik. Setidaknya pimpinan KPK jujur pada publik agar tidak menimbulkan salah persepsi.

Jangan Lelah

Hampir semua kasus korupsi kakap terkait dengan politisi. Politik dan korupsi laksana dua mata uang yang sulit dipisahkan. Hal itu terjadi lantaran besarnya kekuasaan yang dimandatkan pada parlemen (power tends to corrupt), sementara pengawasan intern di tidak berjalan baik. Tetapi, penegak hukum tidak boleh terjebak, pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan elite politik tidak boleh berhenti.

Kalaupun hukum dibuat oleh lembaga politik, tetapi setelah disahkan berlaku, tidak ada lagi urusannya dengan politik. Implementasinya harus melalui penafsiran yuridis. Tidak boleh ada kata 'lelah melawan korupsi'. KPK harus lebih greget lagi, jangan hanya bergantung pada keampuhan "penyadapan telepon" untuk menggiring orang ke ruang sidang. Saya menduga, lambatnya menuntaskan kasus Hambalang dan Bank Century karena KPK tidak ada ruang untuk melakukan penyadapan. Makanya, harus mencari bukti adanya "perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang".


Lebih dari itu, juga perlu menelisik efektivitas hukuman. Sebab hukuman penjara, pembayaran uang pengganti terhadap uang yang dikorup, dan denda yang besar sekalipun tidak membuat koruptor jera dan calon koruptor juga tidak gentar. Bagi koruptor, penjara cuma tempat persinggahan, sekadar tempat melepas lelah setelah leluasa mencoleng uang rakyat. Penjara hanya dijadikan tempat menikmati atau sedikit berbagi hasil korupsi dengan oknum aparat penjara, agar bisa mendapat remisi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar