|
SUARA
KARYA, 24 Juli 2013
Publik mulai gerah menanti keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menuntaskan berbagai kasus yang melibatkan elite politik dan kekuasaan.
Malah ada keraguan, jangan-jangan KPK sudah mulai tertular virus "belah
bambu" dalam memproses kasus korupsi, yaitu menginjak yang bawah dan
mengangkat yang atas.
Ada kasus yang secara terang menyeret elite politik, tetapi
belum ada kemajuan berarti meski sudah ditetapkan tersangka. Misalnya, kasus
Hambalang dengan tersangka Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, dua
mantan petinggi Partai Demokrat. Belum jelas, apa keduanya segera dibawa ke
sidang pengadilan, sebab tanda-tanda untuk itu masih samar-samar. Malah Anas
belum pernah diperiksa sebagai "tersangka", sehingga wajar jika
publik mulai ragu atas keseriusan KPK.
Berbeda dengan kasus mantan Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq dan sang broker Ahmad Fathanah yang diduga
terkait kasus impor daging sapi, prosesnya begitu kencang, jalannya seperti di
jalan tol. Tanpa bermaksud membela PKS, tetapi fakta itu patut ditelisik agar
tidak ada kesan pilih kasih.
Hal serupa juga terjadi pada kasus yang melibatkan kader
Partai Golkar seperti Gubernur Riau, Rusli Zainal yang diduga terlibat dalam
kasus korupsi dana pembahasan Perda PON di Riau dan kasus pengesahan
pemanfaatan hasil hutan pada tanaman industri tahun 2001-2006. Begitu cepat KPK
bereaksi dengan tindakan penahanan, sementara Andi Mallarangeng dan Anas
Urbaningrum tetap aman.
Kencangnya reaksi KPK terhadap kader PKS, Partai Golkar, dan
PDI-P seperti Emir Moeis yang cepat ditahan dalam dugaan korupsi proyek
pembangkit listrik tenaga uap di Lampung, tetapi berbeda terhadap kasus
petinggi Partai Demokrat. Jangan-jangan KPK belum menemukan "alat
bukti" yang kuat untuk dibawa ke penuntutan. Apalagi, KPK lebih sering
merevisi janjinya, misalnya, akan menahan Andi Mallarangeng dan Anas setelah
Lebaran, padahal janji itu sudah pernah diumbar.
Malah ada yang curiga, penetapan tersangka kasus Hambalang
lantaran tekanan publik. Atau, karena terpengaruh kisruh elite Partai Demokrat
yang menurun elektabilitasnya, sehingga Ketua Dewan Pembina, Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) meminta Anas konsentrasi pada kasus Hambalang, padahal belum
dijadikan tersangka. Tidak lama kemudian, KPK menetapkan Anas sebagai
tersangka. Ada yang membacanya sebagai pesan halus Presiden SBY.
Amat wajar mempertanyakan penyidikan KPK yang berputar-putar
seperti gasing dalam kubangan korupsi. Sebagai lembaga superbodi, seharusnya
KPK tidak boleh terhambat oleh tekanan apa pun, apalagi rakyat begitu kuat
mendukung. Apakah memang KPK belum punya bukti kuat, atau justru KPK sudah
masuk angin?
Dalam bulan suci Ramadhan sebetulnya kita tidak ingin
berprasangka buruk terhadap KPK. Bagaimana pun KPK harus dijaga karena sudah
mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi. Tetapi juga tidak keliru jika
"mengingatkan" agar lebih fokus dan berani menebas siapa pun yang
terlibat. Rakyat berhak bertanya sekaligus mengritik terkait berbagai
kejanggalan yang mengarah pada tindakan pilih kasih.
Kita berharap KPK menjawabnya dengan aksi konkret, bukan ikut
berpolemik dan mengumbar janji di ruang publik. Sementara realitas berkata
lain, hanya kasus tertentu yang dipercepat, sementara kasus lain masih saja
jalan di tempat. Saya khawatir, kalau rakyat, mahasiswa, lembaga antikorupsi,
dan pers tidak gencar mengingatkan KPK, kedua kasus kakap itu akan hilang dari
peredaran.
Semoga KPK jilid ketiga tidak berfikir untuk mengoper kedua
kasus itu kepada KPK berikutnya. Sebab, publik begitu banyak berharap, sudah
hampir dua tahun KPK jilid ketiga di bawah pimpinan Abraham Samad, tetapi
penanganan kasus Hambalang dan Century belum memberikan sinyal akan dibawa ke
penuntutan. KPK juga paham oleh pembatasan Pasal 40 UU Nomor 30/2002 tentang
KPK untuk tidak boleh menghentikan penyidikan, sehingga percepatan kasus itu merupakan
pilihan terbaik. Setidaknya pimpinan KPK jujur pada publik agar tidak
menimbulkan salah persepsi.
Jangan Lelah
Hampir semua kasus korupsi kakap terkait dengan politisi.
Politik dan korupsi laksana dua mata uang yang sulit dipisahkan. Hal itu
terjadi lantaran besarnya kekuasaan yang dimandatkan pada parlemen (power tends to corrupt), sementara
pengawasan intern di tidak berjalan baik. Tetapi, penegak hukum tidak boleh
terjebak, pengungkapan kasus korupsi yang melibatkan elite politik tidak boleh
berhenti.
Kalaupun hukum dibuat oleh lembaga politik, tetapi setelah
disahkan berlaku, tidak ada lagi urusannya dengan politik. Implementasinya
harus melalui penafsiran yuridis. Tidak boleh ada kata 'lelah melawan korupsi'.
KPK harus lebih greget lagi, jangan hanya bergantung pada keampuhan
"penyadapan telepon" untuk menggiring orang ke ruang sidang. Saya
menduga, lambatnya menuntaskan kasus Hambalang dan Bank Century karena KPK
tidak ada ruang untuk melakukan penyadapan. Makanya, harus mencari bukti adanya
"perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang".
Lebih dari itu, juga perlu menelisik efektivitas hukuman.
Sebab hukuman penjara, pembayaran uang pengganti terhadap uang yang dikorup,
dan denda yang besar sekalipun tidak membuat koruptor jera dan calon koruptor
juga tidak gentar. Bagi koruptor, penjara cuma tempat persinggahan, sekadar
tempat melepas lelah setelah leluasa mencoleng uang rakyat. Penjara hanya
dijadikan tempat menikmati atau sedikit berbagi hasil korupsi dengan oknum aparat
penjara, agar bisa mendapat remisi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar