Senin, 24 Desember 2012

Terorisme Pendidikan di AS


Terorisme Pendidikan di AS
Rakhmat Hidayat ;  Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2, Prancis
REPUBLIKA, 21 Desember 2012


Publik pendidikan di Amerika Serikat (AS) dihebohkan dengan penembakan di sebuah sekolah dasar di negara bagian timur Connecticut yang menewaskan 26 orang. Sebanyak 20 orang di antaranya adalah anak-anak. Peristiwa ini terjadi pada Jumat, 14 De- sember 2012 pukul 09.30 pagi. Pelaku penembakan berusia 20 tahun. Ia dikenal sebagai pendiam dan sering menjadi korban bullying.

Peristiwa ini menambah deretan terjadinya terorisme pendidikan di Amerika Serikat dengan berbagai motif dan latar belakangnya. Jumlah korban yang terjadi di Connecticut masih sedikit dibandingkan beberapa peristiwa sebelumnya. Meski demikian, sedikitnya korban menjadi keprihatinan serius bagi kalangan pendidikan di AS khususnya dan dunia internasional umumnya. Se-kolah dalam kondisi yang terancam dari praktik terorisme. 

Kasus terorisme pendidikan di AS sudah lama menjadi perhatian Douglass Kellner, sosiolog Amerika yang dikenal sebagai aktivis pedagogi kritis. Kellner menulis buku Guys and Guns Amok: Domestic Terrorism and School Shootings from the Oklahoma City Bombings to the Virginia Tech Massacre (2008). Buku ini dengan tegas mengusung ide perlu dilakukannya rekonstruksi pendidikan sebagai konsekuensi munculnya berbagai fenomena kekerasan di sekolah yang terjadi di AS.

Buku Kellner ini merupakan refleksi dari dua peristiwa penting dalam sejarah tragis pendidikan AS. Peristiwa pertama sering disebut dengan "the Oklahoma City bombing" yang terjadi di Gedung Federal Alfred P Murrah, Kota Oklahoma, pada 19 April 1995. Tragedi terorisme ini dilakukan dengan peledakan bom yang sangat destruktif. Tragedi ini juga dikenal sebagai tindakan teroris yang paling besar selain tragedi 11 September 2001. Ledakan di Oklahoma menelan korban sebanyak 168 nyawa meninggal termasuk 19 anak usia di bawah enam tahun yang menjadi korban. Sebanyak 680 orang mengalami luka parah.

Sementara itu, tragedi kedua adalah peristiwa penembakan sekolah di kampus Virgnia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, Virginia, pada 16 April 2007. Pelakunya bernama Seung-Hui Cho yang menembak 32 orang dan melukai 17 orang. Penembakan ini dilakukan dalam dua serangan terpisah.

Sebelumnya, terjadi juga pembunuhan massal mahasiswa di Syracuse University yang menewaskan 36 orang. Pada 18 Mei 1927, terjadi juga pembunuhan massal di sekolah Bath, Michigan, yang menewaskan 38 murid sekolah dasar, dua orang guru, empat orang dewasa yang ada di sekolah tersebut serta pelaku peledakan sendiri. 

Rekonstruksi Pendidikan

Jika melihat rangkaian kasus teroris- me pendidikan tersebut terutama kasus di Connecticut, kita bisa melihatnya dalam beberapa penjelasan. Pertama, sekolah di AS sangat rawan dengan praktik-praktik kekerasan dan terorisme pendidikan. Berbagai kasus yang terjadi dengan korban anak-anak sekolah adalah fakta tak terbantahkan bahwa sekolah bukan ruang steril dari bentuk-bentuk teror pelaku tidak bertanggung jawab. 

Kedua, sekolah dalam konteks AS dalam hal ini berbagai pemangku kepentingan pendidikan di AS harus melakukan evaluasi dan refleksi terhadap penyelenggaraan pendidikan bagi murid-muridnya. Refleksi ini penting untuk meminimalisasi terjadinya tragedi sejenis di kemudian hari. 

Fokus utama Kellner dalam pedagogi kritis sebagaimana dijelaskan dalam beberapa tragedi terorisme adalah mendesaknya dilakukan rekonstruksi pendidikan untuk mencapai demokrasi. Dalam penjelasan Kellner, anak-anak yang mengalami korban terorisme dan selamat mengalami gejala post traumatic stress disorder. Menurut Kellner, peristiwa tersebut memerlukan visi multiperspektif dan interpretasi faktor kunci yang membentuk konstelasi berlangsungnya peristiwa tersebut. 

Kellner melihat kekerasan yang terjadi bukan sekadar kekerasan fisik, melainkan sudah menjadi kekerasan sosial. Hal ini terjadi karena melibatkan berbagai faktor, di antaranya, prevalensi budaya senjata dan militerisme dan budaya media yang mempromosikan kekerasan dan retribusi. Sementara, yang beredar dan menjadi sensasi adalah budaya selebritas. 

Berdasarkan penjelasan Kellner, kondisi sekolah di Amerika sering dianggap penjara. Padahal, dalam mas- yarakat yang lebih kompleks, sekolah akan menjadi pusat pembelajaran dan pengem bangan diri. Penjara juga bisa menjadi pusat belajar, rehabilitasi, dan pelatihan kerja dan tidak menghukum. 

Konteks Indonesia

Kasus Connecticut menjadi peringatan serius bagi dunia pendidikan internasional khususnya konteks Indonesia. Dunia pendidikan Indonesia sejatinya bisa memetik pelajaran penting dari tragedi tersebut. Prinsip mendasar yang harus dibangun adalah membangun iklim dan suasana yang aman serta melindungi seluruh warga sekolah khususnya anak-anak. 

Terorisme di Indonesia terjadi pergeseran dalam pemaknaannya di kalangan teroris. Teroris generasi pertama menempatkan simbol dan kepentingan AS dan Australia sebagai sasarannya. Generasi kedua menempatkan sarana dan aparat publik sebagai lokus gerakannya. Sekolah sebagai bagian dari sarana dan kepentingan publik bisa jadi menjadi lokus gerakan teroris. Sekolah tidak steril dari gerakan terorisme. Tawaran Kellner tentang rekonstruksi pendidikan juga menjadi relevan dalam konteks Indonesia. Relevansi tersebut dalam posisi membangun suasana sekolah yang menyenangkan dan keluar dari istilah `penjara'. Sekolah seringkali menjadi beban bagi warga sekolah. Bagi guru, sekolah memberikan beban kurikulum dengan berbagai perangkat dan instrumen pembelajarannya.

Tugas administratif menjadi beban bagi guru. Murid juga menjadi korban dari tekanan kurikulum yang mendera kebebasan dan suasana humanismenya.
Ini menjadi potensi serius dalam kohesi sosial di sekolah. Rekonstruksi pendidikan melibatkan perluasan literasi aksara untuk banyaknya berbagai kemahiran. Ini adalah salah satu mekanisme sosial membangun iklim yang sehat di lingkungan sekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar