Sabtu, 29 Desember 2012

Aku Lahir dan Hidup untuk Kamu


Aku Lahir dan Hidup untuk Kamu
Simon Filantropha ;  Rohaniawan
JAWA POS, 25 Desember 2012



Ada pepatah Jerman begini, "Apa yang bertumbuh tidak bikin gaduh". Coba cermati, manakala tubuh kita bertumbuh disertai banyak kegaduhan, apa jadinya? Tulang-tulang berontak, otot-otot saling mengeras, lalu bagian lain saling ribut merebut tempat yang nyaman dan utama pada tubuh ini. Wow, mengerikan amat!

Para pemangku kekuasaan di negeri tercinta ini selalu mengumandangkan rencana meyakinkan bahwa Indonesia akan terus bertumbuh, bertumbuh, dan bertumbuh walaupun beberapa negara besar sedang mengalami krisis serius. Bumbu-bumbu kebohongan menjadi halal demi meyakinkan rakyat bahwa dalam banyak hal, pemerintah sudah berupaya keras sehingga pertumbuhan bangsa dan negara ini sudah pada jalur yang benar. Alhasil, realitas sepanjang 2011, begitu banyak kegaduhan nyata telanjang di depan mata kita. Dari kegaduhan sosial berbentuk semarak kekerasan sebagai wujud kian merapuh kesetiakawanan sosial, bersambung kegaduhan politik sebagai bukti lemahnya mengelola negara dan kuatnya nafsu berebut kekuasaan, sampai kegaduhan BBM, proyek-proyek korupsi merajalela, dan berbagai macam demo memacetkan lalu lintas disertai perusakan. Benar-benar tiada hari tanpa kegaduhan. Terciptalah habitus baru Indonesia, yakni kegaduhan.

Natal pun tiba dengan berita tentang pengharapan, damai, sukacita, terang, dan kasih bagi dunia ini. Gema berita Natal tersebut kian teramat lirih gaungnya, nyaris tak terdengar kini. Maklum, habitus gaduh telah menggantikannya. Selebaran dan isu bom maupun teror beserta segala kejahatan lainnya senantiasa menempel ketat di saat Natal dirayakan. Masih ditambah lagi mengucapkan selamat Natal tidak boleh alias dilarang. Berhenti merayakan Natal sajakah umat Kristen di Indonesia?

Ada dua arus besar gaya hidup yang sedang melanda kehidupan modern saat ini. Yang pertama, kusebut living with. Sikap tindak gaya hidup ini sangat digemari begitu banyak orang masa kini. Begitu merasa tidak nyaman kumpul dengan (with) kelompok, peguyuban, partai politik, gereja, agama dan lingkungan sekitar, dia/mereka bisa begitu saja meninggalkannya. Gampang pindah agama, pindah gereja, pindah partai politik, pindah kelompok/teman, itulah buktinya. Apa saja yang tidak memberikan keamanan, kenyamanan, kenikmatan, kemudahan, dan keuntungan buat diri sendiri gampang ditinggalkan segera. Ada banyak kasus perceraian rumah tangga yang terjadi karena gaya hidup living with ini. Kisah Kain membunuh Habil adalah contoh bahwa Kain hanya mau living with Habil. Kisah saudara-saudara Yusuf yang menjual Yusuf menjadi budak adalah tragedi gaya hidup living with. Sekalipun Yusuf adalah saudara kandung, ia telah mengganggu kenyamanan dan kehormatan para saudaranya. Maka, Yusuf pantas untuk disingkirkan dan dibinasakan.

Konon pada suatu hari di Belfast, Irlandia, pastor Katolik, pendeta Protestan, dan rabbi Yahudi sedang berdebat sengit mengenai teologi. Saking serunya, malaikat datang menjumpai mereka, lalu berkata, "Tuhan memberkati kalian! Sekarang ajukan satu permintaan damai yang akan Tuhan kabulkan". Sang Pendeta berkata, "Biar semua orang Katolik lenyap dari pulau indah ini, maka damai akan terjadi". Sang Pastor tak mau kalah berkata, "Jangan ada satu orang Protestan pun tinggal di bumi suci Irlandia, maka damai akan datang di pulau ini". Sang Rabbi diam saja, lalu malaikat bertanya kepadanya, "Apakah kamu tidak punya permohonan sendiri?" Sang Rabbi menjawab dengan kalem dan tenang, "Tidak! Perhatikan dan kabulkan saja permintaan kedua temanku, niscaya bumi akan damai". Cerita tersebut ditulis oleh Anthony de Mello dalam buku Doa Sang Katak 1. Damai terjadi kalau bisa menyingkirkan orang lain, kejam nian? Begitulah living with.

Yang kedua kusebut living for. Sikap tindak gaya hidup ini sangat dihindari, bahkan tidak disukai oleh orang. Maklum, gaya hidup ini tidak mengutamakan, apalagi mengejar kenyamanan beserta segala yang menguntungkan diri sendiri. Almarhumah Mother Theresa menjadi contoh hidup nyata orang yang menjalani living for di sepanjang hidupnya. Di mana pun beliau datang berkunjung, pernah di Beirut dan Jalur Gaza, dia selalu peduli dan mencari mereka yang telantar untuk dilayani dengan penuh kasih sayang. Almarhum Romo J.B. Mangunwidjaja juga contoh orang yang living for (hidup untuk) orang lemah Kali Code, Jogja. Memang tidak banyak orang yang bersedia mengabdikan hidup untuk sebanyak-banyaknya orang. Apa pun yang terjadi, aku akan tetap mengabdikan diriku untuk peduli dan menolong orang lain! Inilah spirit living for, memeluk bukan membekuk.

Natal dirayakan sebagai peristiwa yang diimani bahwa Allah menjadi manusia. Sungguh-sungguh manusia, bukan sekadar coba-coba jadi manusia. Yesus lahir dan hidup untuk kita dan dunia ini. Yesus benar-benar merasakan apa yang dirasakan oleh manusia; betul-betul menghidupi segala yang dihidupi oleh manusia, terlebih lagi derita-sengsara umat manusia (yang dihindari banget oleh kita, manusia modern saat ini). Oleh karena itu, Yesus sangat mengenal kehidupan manusia dengan segala suka-duka, tawa-tangis, susah-sedih.

Meskipun habitus gaduh sedang mengitari kehidupan berbangsa dan bernegara kita, Natal tetap hadir dengan berita Yesus lahir dan hidup untuk kita. Kabar Natal juga mengajak kita menjalani hidup untuk sebanyak-banyaknya orang. Marilah kita terus berjuang tidak hanya hidup dengan orang lain, tetapi juga mengutamakan hidup untuk orang lain sebagai panggilan hidup kita.

Selamat Hari Natal 2012! Selamat menjalani hidup untuk orang lain! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar