Senin, 24 Desember 2012

Musim Semi yang Tersandung Krisis Politik


Laporan Akhir Tahun Internasional
Musim Semi yang Tersandung Krisis Politik
KOMPAS, 24 Desember 2012


Rasa kecewa, bahkan frustrasi, kini mewarnai rakyat di wilayah yang dilanda ”Musim Semi Arab”, seperti Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman. Transisi demokrasi yang ditandai penyelenggaraan pemilu di negara-negara tersebut justru menyeret kekuatan-kekuatan politik ke dalam pertikaian yang berlarut-larut.

Masalah keseharian, seperti perbedaan pendapat soal pengelolaan pemerintahan, hingga isu strategis, seperti penyusunan konstitusi baru, menjadi faktor utama instabilitas di negara-negara tersebut saat ini.

Hal itu pada gilirannya berdampak negatif pada pembangunan ekonomi, yang justru merupakan elemen penting berkobarnya revolusi rakyat saat Musim Semi Arab tersebut. Rakyat tak hanya gagal merasakan kehidupan lebih baik, tetapi juga malah semakin terjebak dalam buruknya hubungan horizontal antarsesama elemen masyarakat.

Lemparan tomat dan batu ke arah Presiden Tunisia Moncef Marzouki dan Ketua Parlemen Mustapha Ben Jaafar pada peringatan dua tahun revolusi Tunisia, awal pekan lalu, menjadi contoh betapa rakyat Tunisia frustrasi karena tak kunjung ada perubahan yang lebih baik.

Di Libya, pemerintah pusat Tripoli tak juga mampu mengontrol seluruh negeri. Di sejumlah daerah, milisi bersenjata masih berkuasa. Tewasnya Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya Christopher Stevens, dalam serangan teror ke Konsulat AS di Benghazi, September lalu, adalah contoh lemahnya pemerintahan Libya.

Mesir Terbelah

Hal lebih buruk terjadi di Mesir. Revolusi di negeri ”Seribu Menara” itu malah tercoreng pertarungan sesama anak revolusi soal siapa yang berhak menyusun rancangan konstitusi baru.

Mereka yang semula berjuang bahu-membahu selama 18 hari segera terpecah dan saling bermusuhan setelah berhasil menumbangkan Presiden Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011. Media lokal Mesir segera mengidentifikasi kubu yang berpolemik, yakni kubu islamis dan sipil/liberal.

Kubu islamis yang dimotori Ikhwanul Muslimin (IM) menghendaki pemilu parlemen dan presiden digelar diikuti penyusunan rancangan konstitusi baru. Adapun kubu sipil/liberal ingin rancangan konstitusi baru diselesaikan sebelum pemilu parlemen dan presiden.

Di tengah perbedaan pendapat yang tajam itu, Dewan Agung Militer (SCAF) yang berkuasa di Mesir saat itu memutuskan referendum untuk meminta pendapat rakyat atas peta jalan masa transisi di Mesir.

Peta jalan itu antara lain berisi pemilu parlemen/presiden didahulukan. Anggota parlemen terpilih akan membentuk Dewan Konstituante beranggotakan 100 orang yang bertugas menyusun rancangan konstitusi baru. Dewan Konstituante menyerahkan rancangan itu kepada presiden terpilih, yang harus meminta pendapat rakyat melalui referendum untuk mengesahkannya menjadi konstitusi resmi.
Peta jalan itu disetujui sekitar 70 persen pemilih. Segera saja kubu sipil/liberal menuduh SCAF main mata dengan kubu islamis karena memaksakan referendum peta jalan yang menguntungkan kubu islamis.

Namun, hasil referendum itu akhirnya diterima kedua pihak. Kubu sipil/liberal berharap bisa meraih suara lebih baik dalam pemilu parlemen, yang akan berperan besar dalam pembentukan Dewan Konstituante.

Ternyata hasil pemilu parlemen tidak jauh beda dari referendum. Kubu islamis, yang terdiri atas IM, gerakan Salafi, dan Jemaah Islamiyah, meraih hampir 70 persen suara. Kekuatan kubu islamis makin nyata setelah dalam pemilu presiden, tokoh IM Muhammad Mursi meraih suara terbanyak.

Pukulan Telak

Hasil pemilu itu memukul telak kubu sipil/liberal. Mereka khawatir kekalahan dalam referendum dan pemilu akan menyulitkan mereka dalam pertarungan dengan kubu islamis dalam penyusunan konstitusi.

Dalam perdebatan untuk menyusun anggota Dewan Konstituante, kubu sipil/liberal meminta keanggotaan dewan dibagi rata, 50 persen untuk masing-masing kubu. Kubu islamis menolak hal ini dan berpendapat, anggota dewan konstituante harus mencerminkan hasil pemilu parlemen, yakni 70 persen kubu islamis berbanding 30 persen kubu sipil/liberal. Usulan itulah yang akhirnya disetujui parlemen.

Dalam perdebatan di berbagai sidang Dewan Konstituante, kubu sipil/liberal sering kalah suara. Banyak anggota dari kubu sipil/liberal akhirnya memilih walk out atau mundur.

Kubu islamis melihat aksi pengunduran diri itu sebagai manuver untuk menggagalkan upaya Dewan Konstituante menyelesaikan rancangan konstituante. Pada saat yang sama, kubu islamis mendapat bocoran berita bahwa Mahkamah Tinggi Konstitusi (MK) sudah menyiapkan keputusan untuk membubarkan Dewan Konstituante dan Majelis Syura yang didominasi kubu islamis.

Situasi politik pun memanas setelah Presiden Mursi menerbitkan dekrit pada 22 November. Isi dekrit itu memberi Mursi kekuasaan luar biasa, yang ditengarai sebagai upaya mencegah MK membubarkan Dewan Konstituante dan Majelis Syura. Dekrit tersebut memicu krisis politik terburuk di Mesir sejak tumbangnya Mubarak.
Jalan menuju demokrasi yang stabil di Mesir ternyata masih panjang dan berliku. (Musthafa Abd Rahman)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar