Hasil KNKT
Mengenai Sukhoi
Chappy Hakim ; Chairman
CSE Aviation
|
SINDO,
26 Desember 2012
Beberapa hari lalu, Komite
Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengumumkan hasil penyelidikannya
tentang kecelakaan Sukhoi di Gunung Salak. Seperti biasa, bermunculanlah
berbagai komentar yang juga datang dari berbagai pihak.
Pada umumnya komentar yang merespons hasil penyelidikan tersebut bernada kurang puas dan bahkan cenderung bernada negatif. Negatif dalam arti kebanyakan orang berpendapat bahwa hasil yang diumumkan KNKT kelihatan sekali bertujuan untuk menyelamatkan proses produksi dan tentu saja penjualan pesawat Sukhoi Super Jet 100/SSJ-100 tersebut. Penilaian itu terutama merujuk pada proses pengumuman yang konon dihadiri pula oleh pihak Rusia dan pada hasil yang sama sekali tidak menyentuh “kualitas” dari pesawat terbang produksi terbaru Rusia SSJ-100. Mengenai tanggapan yang sinis dari hasil KNKT adalah mulai dari yang berkata bahwa hasil itu “sudah diatur” dengan pihak pabrik dan atau penjual SSJ-100 sampai dengan yang bernada ekstrem bahwa “memang cara yang paling mudah adalah menyalahkan sang pilot Rusia” yang tidak mungkin hadir untuk membela diri. Respons semacam itu sebenarnya biasa-biasa saja karena dalam banyak tulisan sebelum ini, saya pernah mengatakan bahwa pengumuman dari hasil penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang tidak akan pernah memberikan kepuasan kepada semua pihak.Penyebab utamanya adalah karena memang sulit untuk bisa menerangkan hal yang bersifat teknis penerbangan kepada masyarakat awam. Ditambah lagi saya juga pernah memberikan catatan bahwa dunia aviation adalah bisnis miliaran dolar yang melibatkan banyak sekali pihak yang berkepentingan dan sangat kuat posisinya–– walaupun sebenarnya proses penyelidikan dari penyebab kecelakaan pesawat terbang telah diatur sedemikian rupa dalam satu regulasi dan ketentuan yang bersifat dan berstandar internasional dengan satu sasaran yang mengarah pada “objektivitas”. Hal ini terutama sekali adalah karena memang proses penyelidikan dari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang hanya bertujuan agar kejadian serupa tidak akan terulang. Bukankah seorang filsuf terkenal George Santayana pernah mengatakan bahwa mereka yang tidak mampu mengingat masa lalu akan dikutuk untuk mengulanginya kembali. Dari sekian banyak pertanyaan, terutama yang menanyakan bagaimana tanggapan saya terhadap hasil penyelidikan yang telah diumumkan itu, belum atau tidak pernah saya jawab dengan serius.Pertama adalah karena saya sudah merasa dan untuk itu saya harus menghargai bahwa KNKT telah bekerja keras dan sangat serius dalam proses penyelidikan tersebut. Yangkeduaadalahkarena memang saya belum membaca secara lengkap hasil dari penyelidikan penyebab kecelakaan pesawat SSJ-100 itu. Setelah banyak media memuat sebagian besar dari hasil penyelidikan KNKT serta tanggapan-tanggapan yang bermunculan, saya pikir dan memandang perlu untuk juga memberikan sedikit komentar dengan tujuan “berbagi” dalam menyikapi hasil KNKT yang sudah diumumkan tersebut. Komentar sinis yang muncul sebenarnya dapat disimpulkan sebagai dua hal saja, yaitu ketidakpercayaan mereka tentang bagaimana seorang pilot jagoan (fighter pilot dan test pilot sebuah pabrik pesawat) yang sedang dalam proses menjual pesawat barunya (konon sangat canggih peralatannya) bisa begitu ceroboh untuk kemudian menabrak gunung? Masak iyaada pilot yang sangat berpengalaman terbang di kawasan pegunungan sambil ngobrol sehingga pesawatnya nabrakgunung? Yang kedua adalah kecurigaan adanya upaya untuk tidak menyalahkan sama sekali pihak-pihak lain,terutama ATC dengan peralatan komunikasi dan radar serta SDM yang seharusnya memiliki kemampuan dapat mencegah atau minimal memberi peringatan saat pesawat berada dalam situasi yang berbahaya. Untuk hal yang pertama, saya tidak memiliki data yang cukup untuk bisa membahasnya di sini. Akan tetapi, dari banyak pengalaman dan dari melihat hasil penyelidikan penyebab terjadinya kecelakaan pesawat terbang yang pernah terjadi, kerap ditemukan satu kesimpulan yang unbelievable, yang sulit untuk dapat dipercaya, yaitu kenyataan dari bagaimana mungkin seorang pilot senior dan bahkan instruktur bisa mengalami kecelakaan fatal dalam melaksanakan tugasnya. Khusus untuk kasus ini, sekali lagi, saya tidak mungkin memberikan komentar terhadap hasil penyelidikan KNKT karena selain tidak memiliki data yang cukup,saya sendiri tidak ikut serta dalam proses penyelidikan yang pasti tidak mudah. Namun saya percaya KNKT dapat dipastikan tidak akan mempertaruhkan reputasinya dalam mengumumkan hasil kesimpulan dari penyelidikan kecelakaan pesawat SSJ-100 itu. Pada setiap kalimat yang mengatakan perihal tersebut, sang investigator pasti memiliki alasan dan dukungan data yang cukup kuat untuk mengutarakannya. Mustahil mereka berilusi atau ngarang! Saya hanya bisa menganjurkan bagi mereka yang masih penasaran untuk dapat mempelajari lebih jauh dan lebih mendalam materi hasil penyelidikan KNKT. Untuk hal yang kedua,saya bisa membantu (dalam membahas lebih jauh) bagi mereka yang mengatakan tidak puas karena hasil KNKT dipandang sama sekali tidak mengoreksi tentang faktor lain selain pilot, terutama mengenai peran ATC dengan peralatan komunikasi, radar, dan bahkan mengenai SDM-nya. Sebenarnya bila diamati dengan teliti uraian hasil penyelidikan KNKT tentang peran dan atau kontribusi ATC dalam kejadian kecelakaan ini sudah sangat cukup jelas. Namun harus diakui bahwa khusus dalam bahasan mengenai peran ATC tidak atau kurang terlihat exposure-nya dibandingkan dengan penggunaan istilah “human factor” yang terlihat hanya menjurus semata kepada sang pilot. Paling tidak, bila kita sempat menyimak dengan cermat, dalam uraian hasil KNKT disebutkan tentang bagaimana “briefing yang seharusnya diberikan dalam proses perencanaan penerbangan tidak dilakukan dengan lengkap dan proporsional”. Di bagian lain juga disebutkan tentang bagaimana sang “pengawas lalu lintas udara di Jakarta Approach mengira bahwa yang sedang terbang tersebut adalah pesawat Sukhoi dari jenis pesawat tempur, bukan pesawat penumpang”. Kemudian disebutkan juga, karena menduga bahwa pesawat tersebut adalah “pesawat militer Angkatan Udara yang pasti sudah biasa terbang di atas Bogor area, mereka tidak ragu sedikit pun dalam memberi izin untuk turun ke 6000 ft”. Uraian selanjutnya juga menerangkan tentang bagaimana “kewalahannya sang controller yang saat itu hanya bertugas sendirian tanpa ditemani asisten dan supervisor yang mengakibatkan dia baru menyadari bahwa SSJ- 100 menghilang dari layar radarnya, 24 menit setelah kejadian”. Terakhir, disebutkan pula tentang bagaimana “runyamnya seseorang yang harus mengawasi sekaligus dalam satu kurun waktu mampu mengawasi 14 buah pesawat sekaligus!” Nah, dalam pembahasan ini, tanpa bermaksud menyudutkan siapa pun, kiranya memang sudah seharusnya kita mulai mengerjakan sesuai skala prioritas pembenahan ATC kita secara mendasar. Undang-undang sebenarnya telah mengamanatkan lebih dari dua tahun yang lalu agar ATC kita dikelola dalam satu wadah single provider agar pelayanan penerbangan nasional dapat segera memenuhi standar minimum keselamatan terbang internasional sebagaimana yang tercantum dalam regulasi International Civil Aviation Organization (ICAO). Mudah-mudahan! ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar