Senin, 24 Desember 2012

Banyak Pilihan, Tak Banyak Perubahan


Laporan Akhir Tahun Internasional
Banyak Pilihan, Tak Banyak Perubahan
KOMPAS, 24 Desember 2012


Tahun 2011, dunia menyaksikan tumbangnya sejumlah pemimpin. Gelombang Musim Semi Arab menyingkirkan kepala negara yang terlalu lama bercokol dan menjadi diktator di Tunisia, Mesir, Libya, dan Yaman lewat tekanan massa yang turun ke jalan. Di Yunani, Italia, dan Spanyol, perdana menteri dipaksa turun karena salah urus negara di tengah memburuknya krisis ekonomi.

Tahun 2012, suara rakyat kembali menjadi panglima. Namun, kali ini perubahan ditempuh dengan jalan yang lebih terencana, yakni pemilihan umum. Sepanjang tahun ini, 59 negara menggelar pemilihan umum di tingkat kota, provinsi, dan pusat. Jumlahnya hampir sepertiga dari 193 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mencakup 53 persen dari populasi dunia. Sebanyak 26 negara memilih kepala negara.

Sebutan tahun 2012 sebagai tahun pemilu diperkuat oleh pemilihan atau pergantian kepemimpinan di empat dari lima negara anggota negara Dewan Keamanan PBB: Rusia, Perancis, Amerika Serikat, dan China. Empat negara ini menghasilkan 40 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Sesuai siklus pemilu setiap negara, peluang keempatnya menggelar pemilu atau pergantian kepemimpinan dalam tahun yang sama hanya terjadi sekali dalam 60 tahun.

Sejumlah negara penting di kawasan juga menggelar pemilihan pemimpin negara. Sebut saja Jepang, Korea Selatan, Hongkong, dan Taiwan di Asia Timur, Mesir di Timur Tengah, Meksiko di Amerika Tengah, Venezuela di Amerika Selatan, serta Senegal dan Ghana di Afrika.

Negara lain menggelar pemilihan anggota parlemen, seperti Libya dan Iran. Yang pantas dikenang, antara lain terjadi di Myanmar, negeri yang selama beberapa dekade dikuasai militer. Lewat pemilihan sela, tokoh prodemokrasi, Aung San Suu Kyi, untuk pertama kali menjadi anggota parlemen.

Tukar Nama

Namun, sebagian pemilu tak lebih dari sekadar menukar nama pemimpin, tanpa perubahan kebijakan berarti. Pemilu Rusia menjadi yang paling mudah diprediksi setelah Vladimir Putin kembali ke kursi presiden, jabatan yang dikuasainya pada 2000-2008.

Bagi sebagian orang, pemilu Rusia terlihat tak lebih dari tukar jabatan antara Putin, yang sejak 2008 menjadi Perdana Menteri, dan Presiden Dmitry Medvedev, yang kemudian menggantikan Putin menjadi PM.

Yang menarik, kemenangan Putin terjadi di tengah perubahan sosial di Rusia. Kritik kepada presiden bukan lagi hal tabu dan unjuk rasa lebih sering terjadi. Surat kabar Financial Times menyebutkan, kondisi ini menyulitkan Putin untuk terpilih lagi. ”Hasil pemilu menandai apa yang mungkin menjadi awal dari akhir era Putin,” tulis surat kabar itu.

Suksesi kepemimpinan dalam Kongres Partai Komunis China, November lalu, tentu saja tidak melalui pemilu demokratis. Hasilnya pun tanpa kejutan. Wakil Presiden Xi Jinping sejak jauh hari disiapkan menggantikan Presiden Hu Jintao. Begitu juga Wakil PM Li Keqiang yang akan menggantikan PM Wen Jiabao. Karena itu, sulit mengharapkan perubahan berarti dari pemimpin generasi kelima ”Negeri Tirai Bambu” ini.

Bagaimana dengan AS? Pemilu termahal dalam sejarah ini, Center for Responsive Politics menyebutkan, biayanya mencapai 6 miliar dollar AS (sekitar Rp 58 triliun) kembali dimenangi presiden petahana Barack Obama.

Kebijakan AS diprediksi tak banyak berubah, setidaknya empat tahun ke depan, meskipun Obama akan menghadapi banyak tantangan mewujudkan janji kampanye saat berhadapan dengan DPR AS yang didominasi Partai Republik.

Satu-satunya pergantian pemimpin yang memberikan perubahan pada empat negara besar itu terjadi di Perancis. Kandidat sosialis, Francois Hollande, merebut simpati rakyat dengan janji kampanye untuk menaikkan pajak hingga 75 persen bagi penduduk dengan penghasilan di atas 1 juta euro per tahun.

Hollande mengalahkan Nicolas Sarkozy, kandidat konservatif yang ditinggalkan pemilih karena kebijakan pengetatan anggaran. Namun, terpilihnya Hollande, yang kerap berseberangan pendapat dengan Kanselir Jerman Angela Merkel soal penanganan krisis ekonomi di zona euro, belum banyak memberikan perbaikan pada Perancis dan Uni Eropa secara keseluruhan.

Demokrasi pada hakikatnya adalah kekuasaan di tangan rakyat, yang dijalankan melalui pemilu yang jujur dan adil. Pemilu menjadi alat rakyat menghukum penguasa yang gagal membawa kesejahteraan, yang membuat mereka kembali pada kekuatan lama. Kemenangan Shinzo Abe dari Partai Demokrat Liberal (LDP) di Jepang dan Enrico Pena Nieto dari Partai Institusional Revolusioner (PRI) di Meksiko menjadi contohnya.

Jika aspirasi rakyat tersumbat oleh pemerintah yang represif, yang terjadi adalah meluapnya ketidakpuasan. Revolusi yang menyertai gelombang Musim Semi Arab, yang hingga kini masih terasa deritanya di Suriah, menjadi cermin bagi pemerintah yang mengabaikan suara rakyat.

Pemilu, pada akhirnya, memberikan peluang rakyat terlibat menentukan nasib mereka sendiri, meskipun akhirnya bergantung kepada pemimpin terpilih untuk membawa perubahan yang lebih baik. Seperti yang ditulis wartawan dan kolumnis Fareed Zakaria dalam majalah Foreign Affairs, ”Pemilu adalah hal yang utama dalam pemerintahan, tetapi itu bukan satu-satunya.”   (Johanes Waskita utama)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar