Sabtu, 29 Desember 2012

Mengubah Diri dalam Natal


Mengubah Diri dalam Natal
Tom Saptaatmaja ;  Alumnus STFT Widya Sasana Malang
dan Seminari St Vincent de Paul
JAWA POS, 25 Desember 2012



NATAL dalam perspektif iman kristiani merupakan peristiwa solidaritas dan cinta Sang Pencipta dengan manusia. Manusia yang berdosa diselamatkan berkat kelahiran Yesus di sebuah kandang di Bethlehem, Palestina. Keselamatan ini dimungkinkan karena ''Allah mencintai kita'', yang menjadi tema Natal bersama antara Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) 2012.

Maka, KWI dan PGI mengimbau setiap umat kristiani untuk peduli dengan sesamanya. Mungkin ada yang menyebut ajaran cinta dan solidaritas sudah basi dan dianggap tak relevan. Semua sibuk dengan urusan sendiri. 

Apalagi, mentalitas zaman ini adalah "lu-lu, gue-gue". Simak saja, kemajuan ekonomi kita hanya membuat segelintir kelompok bisa menikmati kesejahtreraan. Ada kesenjangan kaya miskin yang mengusik nurani.

Cermin bagi Kita 

Sementara itu, di depan televisi, tampak seorang pengusaha kakap atau konglomerat media tengah menikmati hari-harinya menjadi politikus dengan bergabung di sebuah parpol, yang semboyan utamanya hendak melakukan gerakan perubahan di negeri ini. Banyak tokoh dan cerdik pandai bergabung dalam parpol itu. Orang yang tak pernah mendengar jeritan sebagian buruh di perusahaan-perusahaannya pasti mengagumi kiprahnya. Malah baru-baru ini dia menggelar pesta besar-besaran dengan mengundang komposer sekaligus penyanyi ternama David Foster di tengah upah rendah sebagian buruhnya yang berada jauh di bawah ketentuan UMK yang berlaku. Jelas ini cermin tiadanya cinta yang kuat kepada yang lemah. 

Maka, sebaiknya si konglomerat lebih dahulu memulai gerakan perubahan dengan menyejahterakan para buruh sendiri sebelum melakukan perubahan di negeri ini. Ini senada dengan ungkapan, ''sebelum mengubah orang lain, ubahlah dirimu terlebih dahulu''.

Bukan hanya ingkar janji, mereka juga terkenal amat rakus demi kepentingan diri mereka sendiri. Mereka lebih suka melayani dan memperkaya ego daripada melayani dan menyejahterakan rakyat. Ambisi akan jabatan dan uang (politik kekuasaan) masih menjadi orientasi utama. Politik yang mulia, yakni demi mengupayakan kesejahteraan bersama (bonum commune), tersisih. Belum lagi korupsi serta berbagai penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Menyedihkan bahwa setelah 67 tahun merdeka, ternyata masih terdapat 32 juta warga miskin. Malah jika memakai kriteria miskin Bank Dunia, yakni orang yang hidup kurang dari USD 2 per hari, hampir separo dari 140 juta penduduk kita miskin.

Tujuh Dosa Kapitalisme 

Kekayaan alam yang melimpah seharusnya bisa dikelola untuk kesejahteraan rakyat sesuai amanat konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Tapi, kerakusan korporasi dan kesalahan regulasi justru membuat para penduduk asli, seperti di Papua dan Kalimantan, kian merana. Sumber pangan mereka sudah dijadikan kawasan tambang. 

Mencari air saja kian sulit. Maklum, sekitar 70 persen sumber air negeri ini sudah dikuasai asing sejak penerapan UU No 07/ 2004 tentang Sumber Daya Air.

Itu hanya satu contoh dari regulasi dan sistem perekonomian yang bercorak neoliberal kapitalistis, cinta kasih antarelemen menjadi memudar. Maka, Dr Verkuyl sudah pernah mengingatkan tentang tujuh dosa kapitalisme liberalistis yang harus dikendalikan agar tidak menimbulkan bencana. Yakni, (1) Mammonisme, kecenderungan untuk memberhalakan uang; (2) Pemusatan kekuasaan di tangan segelintir orang, yaitu pemimpin industri besar yang mengakibatkan sengitnya persaingan; (3) Seperti dikatakan dewan-dewan Gereja dalam konferensinya di Amsterdam pada 1960-an, ''akan meng­utamakan keuntungan yang diperoleh orang yang berkuasa di lapangan ekonomi dengan mengesampingkan pemenuhan kebutuhan dan permintaan masyarakat akan komoditas''; (4) Mengutamakan cara berproduksi yang cenderung mengabaikan moral; (5) Anonimitas, memberikan kesempatan segelintir orang bermodal mencari untung tanpa bekerja keras seperti pemilik saham dari sebuah perusahaan besar; (6) Pencemaran kerja, upah dianggar sebagai biaya produksi sehingga cenderung mencari tenaga kerja yang murah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya; (7) Jika salah urus akan menimbulkan meluasnya dan meningkatnya pengangguran, yaitu bilamana timbul krisis. (Dr J Verkuyl dalam Komunisme, Kapitalisme, dan Injil Kristus, BPK, Jakarta, 1967).

Mari, teladan Yesus yang selalu penuh cinta dan solider dengan yang kecil dan lemah menjadi inspirasi bagi setiap uamat kristiani. Sebab, bila kehidupan kita penuh kelimpahan, sementara di kiri kanan ada banyak yang kekurangan, di sinilah sebenarnya Yesus sedang mengetuk dan mengundang kita untuk bertindak. 

Yang menanggapi undangan-Nya berarti akan sungguh menikmati buah Natal. Sedangkan yang tidak menanggapi, sebuah hukuman abadi sudah disediakan. Pada setiap umat kristiani, Angelus Silesius (1657) mengingatkan, ''Andai Yesus dilahirkan beribu-ribu kali di Bethlehem, namun jika Dia tidak pernah lahir di dalam dirimu, selamanya kau tidak akan menemukan keselamatan.'' 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar