Senin, 24 Desember 2012

Pendidikan Korupsi melalui Pendidikan


Pendidikan Korupsi melalui Pendidikan
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel;
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur
SINDO, 24 Desember 2012

  

Praktek korupsi di negeri ini telah begitu rupa sehingga mengakibatkan kehidupan berbangsa dan bernegara kian rapuh. Indikatornya, meski satu persatu kasus korupsi berhasil diungkap aparat penegak hukum, namun kasus serupa justru bermunculan. 

Ibarat satu kasus berhasil diselesaikan, seribu kasus lain menunggu proses pengadilan. Tidak mengherankan jika ada begitu banyak mantan pejabat dan pejabat yang masih aktif dari kalangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif ditangkap dan ditahan akibat melakukan tindak pidana korupsi. Yang mutakhir adalah penetapan Andi Mallarangeng sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pusat olahraga Hambalang. Penetapan Andi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini layak diapresiasi. 

Itu karena saat ditetapkan sebagai tersangka posisi Andi adalah menteri yang masih aktif di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Di samping itu, Andi dikenal sebagai salah seorang yang sangat dekat dengan Presiden SBY. Andi juga tercatat sebagai sekretaris Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Adapun ketua Dewan Pembinanya tidak lain Presiden SBY. Fakta ini menunjukkan betapa dekat hubungan personal dan profesional Presiden SBY dan Andi. Publik layak berharap agar perkembangan kasus korupsi proyek Hambalang tidak berhenti di sini. 

Penetapan Andi sebagai tersangka harus menjadi entry point bagi aparat untuk mengungkap lebih jauh praktik korupsi dalam kasus lain yang selama ini telah menjadi perhatian publik. Jika aparat pengadilan mampu membuktikan dugaan yang dipersangkakan, meminjam istilah Lord Acton, maka itu berarti Andi telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Dua abad silam, dalam surat yang ditulis pada Bishop Mandell Creighten, Lord Acton pernah menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan korupsi dan kekuasaan. Acton berkata jelas sekali: power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. 

Ungkapan ini berarti bahwa orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut pasti akan menyalahgunakannya. Karena praktik korupsi telah begitu rupa menggerogoti bangsa ini, maka semangat memberantas korupsi harus terus dikobarkan.Para pejuang antikorupsi tidak boleh pesimistis hanya karena melihat begitu banyak kasus korupsi. Ini berarti perang melawan korupsi harus tetap menjadi agenda besar bangsa. Sebab, korupsi merupakan salah satu penyakit peradaban yang dapat melumpuhkan bangunan sebuah bangsa dan negara. 

Harus ada kesepahaman di kalangan pejuang antikorupsi bahwa korupsi adalah masalah yang sangat membahayakan bagi masa kini dan masa depan bangsa. Agar keinginan untuk memberantas korupsi tercapai maka yang harus dilakukan para pejuang antikorupsi adalah menggunakan ilmu dan strategi yang tepat. Senada dengan itu, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan pernah mengingatkan bahwa memerangi korupsi tidak cukup jika hanya ditempuh dengan cara menggelorakan gemuruh perlawanan dan pekik antikorupsi. 

Peringatan Anies ini penting dikemukakan karena salah satu faktor yang sangat mungkin memengaruhi lambatnya kinerja lembaga-lembaga antikorupsi adalah belum menggunakan strategi yang tepat. Salah satu pilihan strategi yang dapat dijadikan alternatif untuk memberantas korupsi adalah melalui pendidikan. Ada tiga alasan yang dapat dikemukakan dalam hal ini. Pertama, lembaga pendidikan memiliki seperangkat pengetahuan (knowledge) untuk memberikan pencerahan terhadap kesalahan dalam pemberantasan praktik korupsi. Sejauh ini definisi korupsi baru dipahami sebatas pada pengertian yang bersifat legal-formal. 

Sementara praktik korupsi dalam berbagai bentuk telah tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat mulai tingkat atas hingga rakyat jelata pun mengenal praktik korupsi dalam berbagai budaya. Dalam konteks budaya yang beragam, masyarakat bahkan menyamarkan praktik korupsi dengan beberapa istilah. Seperti dikemukakan Mochtar Lubis (1988), ekspresi korupsi telah mewujud dalam praktek pemberian uang sogokan, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar atau pelumas, dan parsel lebaran.

Bahkan untuk mengelabui hukum, pemberian imbalan terkadang tidak langsung diberikan pada pejabat resmi, melainkan melalui istri, anak, kerabat, dan teman dekatnya. Berkaitan dengan budaya ini lembaga pendidikan dapat menekankan agar pejabat publik dan masyarakat berhati-hati dengan ekspresi korupsi yang terselubung. Kedua, lembaga pendidikan penting dilibatkan dalam pemberantasan korupsi karena memiliki jaringan (networking) yang kuat hingga ke seluruh penjuru Tanah Air. 

Pelibatan lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi akan menjadikan usaha pemberantasan korupsi sebagai gerakan yang bersifat masif. Apalagi jika dalam gerakan tersebut seluruh sumber daya institusi pendidikan dapat dilibatkan mulai pimpinan, dosen/guru, mahasiswa/ siswa, karyawan, dan stakeholders yang ada. Dengan gerakan yang masif diharapkan pada saatnya nanti bangsa ini dapat keluar dari problem korupsi. Ketiga, jika dilihat secara jujur sejatinya praktik korupsi di negeri ini banyak melibatkan kalangan terdidik. 

Mereka umumnya alumni dari satuan lembaga pendidikan. Bahkan di antara mereka juga pernah mengenyam pendidikan tinggi. Kasus yang menimpa Andi seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan. Orang dengan latar belakang pendidikan mapan sekalipun dapat diduga terlibat praktik korupsi. Itu bisa jadi karena sistem di negeri ini sudah sangat korup.

Akibatnya, siapa pun yang masuk sistem pasti akan sulit menghindari budaya korupsi. Andi dan kalangan terdidik lain yang ditetapkan sebagai tersangka atau bahkan yang telah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi bisa jadi merupakan korban dari sistem administrasi negara yang tidak pernah dikuasainya dengan baik. Ini karena tatkala kalangan terdidik belajar di lembaga pendidikan, belum mendapat materi tentang tindakan yang termasuk kategori korupsi. 

Jika hipotesis ini benar, berarti ikhtiar untuk memasukkan materi pendidikan antikorupsi dalam kurikulum pendidikan mutlak dilakukan. Ikhtiar untuk mengembangkan materi pemberantasan korupsi di setiap satuan pendidikan ini harus didukung agar lembaga pendidikan tidak dikatakan turut memproduksi koruptor. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar