Senin, 24 Desember 2012

Dilema Penerapan UU Haji


Dilema Penerapan UU Haji
Samsul Ma’arif ;  Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU
REPUBLIKA, 21 Desember 2012


Haji merupakan ibadah yang menjadi kewajiban bagi seluruh umat Islam yang mampu. Karena men jadi kewajiban, jalan untuk dapat terlaksananya ibadah haji menjadi wajib pula. Atas dasar tersebut, pemerintah membentuk direktorat tersendiri yang khusus mengurusi ibadah haji di bawah Kementerian Agama.

Urusan ibadah haji yang melibatkan berbagai pihak, disoroti dalam setiap penyelenggaraannya, mulai dari pemondokan, pembayaran sampai dana abadi umat yang tidak jelas akhirnya. Bahkan, sorotan ini sampai adanya ide untuk swastanisasi pelaksanaan ibadah Haji. 

Dalam urusan haji yang begitu rumit ini, anggota DPR mencoba melindungi jamaah 
dengan membuat Undang-Undang (UU) Haji No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. Undang-Undang Haji yang diharapkan menjadi terobosan bagi masyarakat Islam ternyata telah menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah dan jamaah itu sendiri. Dalam UU Haji, setidaknya ada tiga unsur utama dalam penyelenggaraan ibadah haji, yaitu kebijakan, pelaksanaan, dan pengawasan. 

Unsur kebijakan dan pelaksanaan menjadi tanggung jawab nasional. Sedangkan unsur pengawasan dilakukan oleh badan atau lembaga independen, yaitu Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). 

Unsur kebijakan dan pelaksanaan selama ini telah dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai cara dan metode agar mencapai kinerja yang maksimal. Kinerja ini sudah mulai memperlihatkan hal-hal yang positif sehingga pelayanan atas hak jamaah haji menjadi meningkat, walaupun masih banyak yang tidak puas. Sementara itu, unsur pengawas menjadi dilema di masyarakat. UU yang sudah disepakati tersebut menimbulkan banyak kontroversi dan tidak dapat mengikat, baik ke luar maupun ke dalam. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya `kesepakatan' bersama antara DPR dan pemerintah untuk tidak mengangkat terlebih dahulu KPHI. Indikasinya, antara lain, panitia yang diberi amanat untuk melakukan seleksi calon anggota KPHI sudah melaksanakan tugas (Desember 2010). Akan tetapi, sampai saat ini (Desember 2012) belum ada surat keputusan dari Presiden mengenai pengangkatan calon anggota KPHI. Salah satu penyebabnya adalah tarik ulur di DPR yang sebenarnya peran mereka yang kurang begitu kuat. 

Dalam pandangan sebagian anggota DPR, proses pemilihan calon anggota KPHI adalah cacat. Sebab, KPHI diangkat oleh Presiden atas usul men- teri (sebagai ketua Tim Seleksi) dan mendapatkan pertimbangan dari DPR.

Hal ini seakan-akan KPHI adalah bagian dari pemerintah bukan bagian dari masyarakat yang diseleksi oleh DPR. Problem lainnya adalah unsur dari anggota KPHI yang berasal dari pemerintah yang jumlahnya tiga orang dari sembilan komisioner yang ada. Hal ini memberikan suatu sinyalemen bahwa KPHI tidak akan dapat bekerja dengan efektif sebab masih ada campur tangan dari pemerintah. 

Pola pandang atau paradigma seperti ini harus diubah. Sebab, dengan adanya unsur dari pemerintah yang berjumlah tiga orang, akan lebih mempermudah dalam komunikasi antara kebijakan, penyelenggaraan, dan pengawasan. Jika tidak ada unsur pemerintah, sistem komunikasi mereka tidak akan berjalan dengan baik. 
Sebagai contoh, kita lihat struktur dan nama-nama jabatan yang ada di Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Struktur yang ada di kementrian tersebut hampir semuanya `menandingi' struktur dari badan lain yang anggarannya menempel di kementerian tersebut, seperti KPI, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Dewan Pers, dan komisi lainnya. Dengan adanya unsur pemerintah ini, sistem pekerjaannya dapat diketahui dengan jelas.

Sedangkan DPR yang mempunyai fungsi sebagai pemberi pertimbangan adalah sesuatu yang sangat tepat. Jangan sampai terjadi seperti dalam pemilihan calon anggota komisioner yang lain, seperti Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komnas HAM, dan komisi-komisi lain yang sebenarnya telah merendahkan status anggota DPR.

Selain itu, ada yang harus menjadi kesadaran bersama, yakni ibadah haji adalah ibadah murni kepada Allah yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Hal ini berbeda dengan tugas instansi lain yang membutuhkan keputusan politik semata. Ibadah haji membutuhkan keputusan politik yang bijak berdasar kesadaran atas agama dan pertanggungjawaban besar di akhirat. 

Sebagai catatan akhir, dalam hal pelaksanaan UU Haji, ada rencana untuk melakukan pelanggaran pelayanan ibadah haji secara massal, baik dari anggota DPR maupun pemerintah. UU Haji telah memberikan amanat bahwa KPHI harus dibentuk paling lambat satu tahun sejak UU ini diundangkan (Pasal 65 Undang- Undang Haji No 13 Tahun 2008). 

UU yang ditandatangani oleh pre- siden RI pada 28 April 2008 ternyata sampai saat ini juga belum diwujudkan. Bahkan yang terjadi, ada sebagian anggota DPR yang meminta agar KPHI ditunda terlebih dahulu sebelum adanya revisi UU yang baru. Suatu langkah perbaikan harus dilakukan terlebih dahulu agar dapat dievaluasi, bukan evaluasi sebelum ada pelaksanaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar