Senin, 24 Desember 2012

Memecah Kebuntuan Infrastruktur


Memecah Kebuntuan Infrastruktur
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 24 Desember 2012



Kemacetan lalu lintas dan banjir yang parah di Jakarta, serta tumpukan penumpang yang telantar akibat listrik mati di Bandar Udara Soekarno-Hatta, pekan lalu, adalah bukti bahwa sungguh tidak ada toleransi lagi untuk segera membangun infrastruktur yang andal. Tak ada lagi ruang ”kemewahan” untuk menundanya lagi.

Statistik pun sudah banyak berbicara mengenai hal ini. Kapasitas penumpang Bandara Soekarno-Hatta yang hanya 20 juta orang per tahun kini menanggung beban 60 juta penumpang setahun. Tahun ini jumlah mobil baru yang terjual sekitar 1,1 juta unit tanpa diimbangi pembangunan jalan baru secara signifikan.

Sementara itu, belanja pemerintah untuk infrastruktur tahun 2013 hanya Rp 203 triliun. Sangat kurang karena dengan produk domestik bruto (PDB) Rp 8.000 triliun, Indonesia membutuhkan sedikitnya 5 persen atau Rp 400 triliun untuk membangun infrastruktur. Berarti masih diperlukan Rp 200 triliun dana infrastruktur yang diharapkan berasal dari sektor swasta ataupun BUMN.

Namun, peran swasta dan BUMN yang ditunggu seolah cuma wishful thinking, harapan tanpa kenyataan. Upaya terobosan untuk kerja sama pemerintah dan swasta melalui skema public-private partnership (PPP) juga sering kandas. Proyek yang mestinya bisa jadi acuan, yakni pembangunan monorel, malah terbengkalai. Pemerintah seyogianya punya sejumlah proyek yang diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi yang lain. Monorel dan mass rapid transportation (MRT) bisa menjadi proyek pilihan.

Proyek monorel di Jakarta hanya Rp 6 triliun. Kalaupun ada kenaikan harga, taruhlah Rp 8 triliun. Idealnya memang proyek ini bisa dikerjakan swasta. Namun, jika tidak sanggup, pilihan berikutnya adalah kerja sama pemerintah dengan swasta (skema PPP). Namun, saat tiang penyangga monorel mulai terpasang, ternyata timbul masalah. Pihak bank ragu mendanai karena hitung-hitungannya tidak layak. Harga tiket bakal tidak terjangkau.

Karena itu, pihak bank memerlukan garansi pemerintah. Jika ada apa-apa, pemerintah harus mau membayar kepada bank. Namun, pemerintah pada era Presiden Megawati Soekarnoputri menolak memberikan garansi. Hal ini logis karena pemberian garansi rawan moral hazard. Artinya, pihak kontraktor dan operator bisa seenaknya membangun dan mengoperasikan proyek ini karena semua risiko ditanggung pemerintah. Inilah esensi kebuntuan proyek monorel Jakarta.

Ada dua kemungkinan solusi. Pertama, pemerintah ambil alih proyek, tetapi tidak 
mudah dari sisi hitungan kompensasinya. Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkirakan, dana yang sudah keluar membangun penyangga monorel mencapai Rp 200 miliar. Jika pemerintah mengambil alih, angka inilah yang perlu dikeluarkan. 

Namun, pihak swasta punya hitungan lain. Jika dimasukkan faktor biaya peluang atau opportunity cost (seandainya dana itu dipakai untuk bisnis atau disimpan di bank), nilai sekarang Rp 600 miliar. Tidak ada titik temu di sini.

Kedua, skema kerja sama PPP terus dilanjutkan, tetapi pemerintah harus berani ”pasang badan” dengan memberikan garansi kepada pihak bank. Memang ada risiko moral hazard. Namun, jika pengawasan dan auditnya jelas, kekhawatiran ini dapat direduksi.

Opsi mana yang mau dipilih? Belum tahu. Namun, yang jelas, pemerintah tidak bisa terus-terusan berkutat pada ”lingkaran setan” ini. Semua opsi selalu ada risikonya. Tak ada the first best. Yang penting, bagaimana risiko ini dapat dimitigasi dan bagaimana proyek ini dikawal agar prosesnya tertib anggaran, administrasi, dan hukum.

Yang juga harus disadari ialah kelayakan proyek. Harga tiket yang agak kemahalan 
menjadi kendala. Perlu dipikirkan penyediaan subsidi tiket. Pilihannya ialah menyubsidi tiket monorel atau meneruskan subsidi BBM? Kalaupun subsidi tiket monorel ternyata lebih mahal, tidak berarti kebijakan subsidi tiket monorel tidak layak. 

Proyek ini hendaknya dianggap sebagai acuan bagi proyek infrastruktur yang lain. Jika proyek ini berhasil mewujudkan sarana angkutan massal yang bersih, nyaman, dan tepat waktu, akan menggairahkan masyarakat menumpang kendaraan umum dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

Dengan kata lain, tidak masalah jika proyek monorel ini terpaksa merugi dan harus disubsidi. Ini akan menjadi semacam biaya awal (sunk cost) yang memang diperlukan untuk membangun fondasi pelayanan transportasi publik yang berkualitas. Pelan tetapi pasti, masyarakat akan terbiasa menikmatinya sehingga selanjutnya pemerintah bisa pelan-pelan menaikkan harga tiket untuk menuju level impas. Masyarakat perlu diedukasi dan punya pengalaman. Pemerintah harus berani mengongkosinya.

Lalu, dari mana sumber subsidi berasal? Karena ini merupakan proyek pionir, pemerintah pusat harus menyediakan subsidi, berbagi beban dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ekonom selalu percaya, tidak ada makan siang yang gratis.

Selanjutnya, bagaimana industri perbankan harus bersikap? Industri ini terus melanjutkan tren positif kinerjanya di sepanjang 2012. Labanya terus naik signifikan, diimbangi dengan struktur permodalan yang kuat (rasio kecukupan modal/CAR 17 persen). Dengan kinerja ini, industri perbankan menjadi semacam benteng untuk meredam transmisi krisis yang berasal dari sisi eksternal.

Kini industri perbankan diminta untuk berprestasi lebih tinggi. Bank Indonesia meminta bank-bank untuk memberikan 20 persen kreditnya untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab, UMKM selalu menjanjikan margin bunga (net interest margin) yang tebal. Mereka akan ekspansi ke segmen ini.

Yang harus dilakukan bank-bank ialah lebih berani menggarap segmen infrastruktur. Kendala pengalaman atau eksposur bisa diatasi dengan membentuk konsorsium yang dipimpin pemain-pemain kawakan, seperti Bank Mandiri dan BNI. Kontribusi dalam pembangunan infrastruktur inilah yang harus menjadi prioritas berikutnya. BI perlu mendorong dan memberikan supervisi di wilayah ini untuk memecah kebuntuan. Kita sungguh tak sabar melihat monorel beroperasi di Jakarta dan kelak juga kereta bawah tanah. Semoga ini bukan mimpi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar