Bangsa Ayam
Broiler
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KORAN
TEMPO, 24 Desember 2012
Sampai semester
ketiga tahun ini, belum tanda-tanda peningkatan produksi pangan yang
spektakuler. Belum ada terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan
skala besar (food estate) di Merauke mandek tersandera persoalan
sosial-politik. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi, yang
digagas Menteri BUMN Dahlan Iskan, belum banyak membantu. Bahkan, untuk
urusan tender pupuk organik yang sebenarnya sepele, pemerintah tak becus.
Dua tahun
lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan target ambisius:
swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging, serta surplus beras 10 juta ton
pada 2014. Waktu yang tersisa untuk mencapai target itu tidak lama lagi. Tapi
tanda-tanda pencapaian masih jauh. Kinerja produksi pangan domestik masih
tertatih-tatih. Menurut angka ramalan II BPS, produksi padi, jagung, dan
kedelai tahun ini masing-masing 68,96 juta ton (naik 4,87 persen dari 2011),
18,96 juta ton pipilan kering (7,47 persen), dan 783,16 ribu ton biji kering
(-8 persen). Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton dan
produksi daging 399.320 ton.
Swasembada
beras relatif paling aman. Namun, untuk surplus 10 juta ton pada 2014, hal
itu bukan pekerjaan ringan. Target swasembada jagung masih mungkin tercapai,
asalkan semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas
benar-benar dilakukan secara konsisten, mulai ketersediaan benih unggul,
pupuk yang tepat, hingga penanganan hama dan penyakit. Target swasembada
daging juga mungkin dicapai asalkan konsisten mengembangkan breed lokal,
menghindari pemotongan hewan betina muda, dan memberi akses modal kepada
peternak.
Target
swasembada gula hampir pasti kandas. Sebab, persoalan kelembagaan yang
melingkupi terlalu kusut, mulai tingkat usaha tani di hulu, perdagangan dan
distribusi di tengah, sampai struktur pasar dan pemasaran yang penuh misteri.
Target swasembada kedelai juga mustahil dicapai. Saat kebutuhan terus naik,
produksi kedelai domestik justru anjlok. Hal ini terjadi karena fenomena
"dekedelaisasi" -atau proses menjauh dari kedelai-hampir 20 tahun
terakhir berlangsung tanpa jeda. Tiadanya insentif membuat petani secara
massif melupakan kedelai. Pada 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706
hektare, tahun ini tinggal 570.495 hektare (tinggal 34 persen dibanding pada
1992). Karena produktivitas naik lambat, konsekuensinya, produksi pun merosot:
dari 1,869 juta ton (1992) menjadi 0,783 juta ton (2012) atau tinggal 42
persen.
Laju
permintaan pangan di Indonesia sebesar 4,87 persen per tahun. Nilai ini hasil
perpaduan pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5
persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52 persen. Agar
kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar daripada laju
permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi mencapai 5 persen
per tahun. Padahal tidak mudah menggenjot produksi pangan 5 persen per tahun.
Itulah sebabnya, sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada pangan
impor. Ironisnya, sebagai negara agraris, dari tahun ke tahun tidak ada
tanda-tanda penurunan ketergantungan pada impor pangan. Sampai akhir 2012,
nilai impor diperkirakan mencapai US$ 9,704 miliar atau Rp 92,2 triliun,
terdiri atas impor pangan (Rp 63,9 triliun), produk hortikultura (Rp 12,9
triliun), dan peternakan (Rp15,4 triliun). Peningkatan impor terbesar terjadi
pada subsektor pangan. Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit
subsektor pangan baru US$ 3,178 miliar. Pada 2011, defisit meledak lebih dari
dua kali lipat menjadi US$ 6,439 miliar. Nilai impor paling besar disumbang
gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka
buah-buahan, serta bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100
persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72 persen susu, 54 persen gula, dan
18 persen daging sapi. Sebagian besar didatangkan dari negara-negara maju.
Sampai
sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun.
Membanjirnya komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor membuat
produksi petani/peternak domestik terdesak. Hal ini bukan semata-mata soal
daya saing, melainkan lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak adil
dan minimnya proteksi dari negara. Hampir semua pangan penting, seperti
gandum, beras, jagung, gula, kedelai, dan daging, harganya terdistorsi oleh
berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor
di negara maju. Akibatnya, harga di pasar internasional bersifat artifisial
dan rendah. Karena tak ada perlindungan memadai, berbagai produk itu mengalir
deras menyerbu 243 juta warga kita.
Proteksi yang
dilakukan melalui penciutan jumlah pintu masuk impor dari delapan jadi empat
lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2012 dan Permentan 16/2012
serta penetapan kuota impor 20 komoditas hortikultura lewat Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Produk Impor Hortikultura
tidak banyak membantu karena inkonsistensi dalam aneka beleid itu. Di sisi
lain, pemerintah agresif membuka berbagai perjanjian perdagangan bebas, baik
bilateral maupun regional. Indonesia ibarat rumah besar dengan pintu yang
terbuka lebar. Siapa pun bisa bebas keluar-masuk tanpa halangan berarti.
Lihat saja aneka sayur, kentang, dan aneka benih, termasuk yang berbakteri
dan berpenyakit, dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia.
Sampai
semester ketiga tahun ini, belum tanda-tanda peningkatan produksi pangan yang
spektakuler. Belum ada terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan
skala besar (food estate) di Merauke mandek tersandera persoalan
sosial-politik. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi yang
digagas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan belum banyak membantu.
Bahkan, untuk urusan tender pupuk organik yang sebenarnya sepele, pemerintah
tak becus. Pemerintah juga terjebak paradigma "yang besar yang paling
kuat dan memberi solusi". Ini paradigma peninggalan zaman kolonial.
Padahal bukti-bukti empiris selama ratusan tahun menunjukkan hal yang
sebaliknya: petani memberi solusi. Siapa yang memproduksi pangan 243 juta
warga kalau bukan petani, peternak, pekebun, dan petambak?
Pada masa mendatang, ketika
jumlah penduduk terus bertambah dan kebutuhan pangan meningkat, tantangan
produksi pangan semakin kompleks. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan,
produktivitas melandai karena degradasi lahan dan lingkungan, air kian
langka, serta anomali iklim dan cuaca kian sulit diprediksi. Itu semua
membuat produksi pangan berisiko tinggi. Pemilikan lahan yang sempit membuat
kesejahteraan petani sebagai produsen tidak pernah membaik. Hal itu membuat
konversi lahan sawah tetap berlangsung massif. Keberadaan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan
berbagai aturan turunannya tak berdaya. Eksistensi kepunahan sawah tinggal
menunggu waktu. Masih menjadi pertanyaan besar apakah UU 18/2012 tentang
Pangan bisa jadi obat mujarab atas aneka masalah pangan? Sepertinya, kita
akan (tetap) jadi bangsa ayam broiler: bangsa pengimpor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar