Sabtu, 29 Desember 2012

Bangsa Ayam Broiler


Bangsa Ayam Broiler
Khudori ;  Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 24 Desember 2012



Sampai semester ketiga tahun ini, belum tanda-tanda peningkatan produksi pangan yang spektakuler. Belum ada terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan skala besar (food estate) di Merauke mandek tersandera persoalan sosial-politik. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi, yang digagas Menteri BUMN Dahlan Iskan, belum banyak membantu. Bahkan, untuk urusan tender pupuk organik yang sebenarnya sepele, pemerintah tak becus.
Dua tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan target ambisius: swasembada jagung, kedelai, gula, dan daging, serta surplus beras 10 juta ton pada 2014. Waktu yang tersisa untuk mencapai target itu tidak lama lagi. Tapi tanda-tanda pencapaian masih jauh. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-tatih. Menurut angka ramalan II BPS, produksi padi, jagung, dan kedelai tahun ini masing-masing 68,96 juta ton (naik 4,87 persen dari 2011), 18,96 juta ton pipilan kering (7,47 persen), dan 783,16 ribu ton biji kering (-8 persen). Produksi gula kristal putih diperkirakan 2,5 juta ton dan produksi daging 399.320 ton. 
Swasembada beras relatif paling aman. Namun, untuk surplus 10 juta ton pada 2014, hal itu bukan pekerjaan ringan. Target swasembada jagung masih mungkin tercapai, asalkan semua kebijakan insentif peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar dilakukan secara konsisten, mulai ketersediaan benih unggul, pupuk yang tepat, hingga penanganan hama dan penyakit. Target swasembada daging juga mungkin dicapai asalkan konsisten mengembangkan breed lokal, menghindari pemotongan hewan betina muda, dan memberi akses modal kepada peternak. 
Target swasembada gula hampir pasti kandas. Sebab, persoalan kelembagaan yang melingkupi terlalu kusut, mulai tingkat usaha tani di hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai struktur pasar dan pemasaran yang penuh misteri. Target swasembada kedelai juga mustahil dicapai. Saat kebutuhan terus naik, produksi kedelai domestik justru anjlok. Hal ini terjadi karena fenomena "dekedelaisasi" -atau proses menjauh dari kedelai-hampir 20 tahun terakhir berlangsung tanpa jeda. Tiadanya insentif membuat petani secara massif melupakan kedelai. Pada 1992, luas panen kedelai masih 1.665.706 hektare, tahun ini tinggal 570.495 hektare (tinggal 34 persen dibanding pada 1992). Karena produktivitas naik lambat, konsekuensinya, produksi pun merosot: dari 1,869 juta ton (1992) menjadi 0,783 juta ton (2012) atau tinggal 42 persen.
Laju permintaan pangan di Indonesia sebesar 4,87 persen per tahun. Nilai ini hasil perpaduan pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52 persen. Agar kecukupan pangan tercapai, laju suplai pangan harus lebih besar daripada laju permintaan. Artinya, laju suplai atau pertumbuhan produksi mencapai 5 persen per tahun. Padahal tidak mudah menggenjot produksi pangan 5 persen per tahun. Itulah sebabnya, sampai saat ini Indonesia masih bergantung pada pangan impor. Ironisnya, sebagai negara agraris, dari tahun ke tahun tidak ada tanda-tanda penurunan ketergantungan pada impor pangan. Sampai akhir 2012, nilai impor diperkirakan mencapai US$ 9,704 miliar atau Rp 92,2 triliun, terdiri atas impor pangan (Rp 63,9 triliun), produk hortikultura (Rp 12,9 triliun), dan peternakan (Rp15,4 triliun). Peningkatan impor terbesar terjadi pada subsektor pangan. Saat krisis pangan meledak pada 2008, defisit subsektor pangan baru US$ 3,178 miliar. Pada 2011, defisit meledak lebih dari dua kali lipat menjadi US$ 6,439 miliar. Nilai impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging dan bakalan sapi, aneka buah-buahan, serta bawang putih. Saat ini Indonesia bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen kedelai, 72 persen susu, 54 persen gula, dan 18 persen daging sapi. Sebagian besar didatangkan dari negara-negara maju. 
Sampai sekarang belum ada tanda-tanda ketergantungan akut impor itu menurun. Membanjirnya komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor membuat produksi petani/peternak domestik terdesak. Hal ini bukan semata-mata soal daya saing, melainkan lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak adil dan minimnya proteksi dari negara. Hampir semua pangan penting, seperti gandum, beras, jagung, gula, kedelai, dan daging, harganya terdistorsi oleh berbagai bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor di negara maju. Akibatnya, harga di pasar internasional bersifat artifisial dan rendah. Karena tak ada perlindungan memadai, berbagai produk itu mengalir deras menyerbu 243 juta warga kita.
Proteksi yang dilakukan melalui penciutan jumlah pintu masuk impor dari delapan jadi empat lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15 Tahun 2012 dan Permentan 16/2012 serta penetapan kuota impor 20 komoditas hortikultura lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Ketentuan Produk Impor Hortikultura tidak banyak membantu karena inkonsistensi dalam aneka beleid itu. Di sisi lain, pemerintah agresif membuka berbagai perjanjian perdagangan bebas, baik bilateral maupun regional. Indonesia ibarat rumah besar dengan pintu yang terbuka lebar. Siapa pun bisa bebas keluar-masuk tanpa halangan berarti. Lihat saja aneka sayur, kentang, dan aneka benih, termasuk yang berbakteri dan berpenyakit, dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia.
Sampai semester ketiga tahun ini, belum tanda-tanda peningkatan produksi pangan yang spektakuler. Belum ada terobosan berarti. Upaya pengembangan lahan pangan skala besar (food estate) di Merauke mandek tersandera persoalan sosial-politik. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi yang digagas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan belum banyak membantu. Bahkan, untuk urusan tender pupuk organik yang sebenarnya sepele, pemerintah tak becus. Pemerintah juga terjebak paradigma "yang besar yang paling kuat dan memberi solusi". Ini paradigma peninggalan zaman kolonial. Padahal bukti-bukti empiris selama ratusan tahun menunjukkan hal yang sebaliknya: petani memberi solusi. Siapa yang memproduksi pangan 243 juta warga kalau bukan petani, peternak, pekebun, dan petambak?
Pada masa mendatang, ketika jumlah penduduk terus bertambah dan kebutuhan pangan meningkat, tantangan produksi pangan semakin kompleks. Lahan pertanian kian sempit dan kelelahan, produktivitas melandai karena degradasi lahan dan lingkungan, air kian langka, serta anomali iklim dan cuaca kian sulit diprediksi. Itu semua membuat produksi pangan berisiko tinggi. Pemilikan lahan yang sempit membuat kesejahteraan petani sebagai produsen tidak pernah membaik. Hal itu membuat konversi lahan sawah tetap berlangsung massif. Keberadaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan berbagai aturan turunannya tak berdaya. Eksistensi kepunahan sawah tinggal menunggu waktu. Masih menjadi pertanyaan besar apakah UU 18/2012 tentang Pangan bisa jadi obat mujarab atas aneka masalah pangan? Sepertinya, kita akan (tetap) jadi bangsa ayam broiler: bangsa pengimpor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar