Guru sang
Event Organizer di Kurikulum Baru
Patrisius Istiarto Djiwandono ; Guru
Besar Pendidikan Bahasa
Universitas Ma Chung, Malang
|
JAWA
POS, 24 Desember 2012
RANCANGAN Kurikulum 2013, yang
sekarang memasuki tahap uji publik, mendorong kegiatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Konsep ini sudah ada pada dekade 1980-an dengan label
cara belajar siswa aktif (CBSA). Penerapan metode ini memerlukan wawasan
teoretis dan pijakan empiris, disertai pemikiran kritis untuk mengetahui
seberapa jauh cara belajar tersebut bisa dilakukan.
Pembelajaran yang efektif berisi proses yang pada akhirnya membawa perubahan tingkah laku dan tingkat pengetahuan dalam diri si anak didik. Perubahan ini tidak bisa hanya dicapai melalui ceramah satu arah oleh guru. Para ahli lebih dari tiga dekade lalu telah melahirkan konsep-konsep pembelajaran yang mengoptimalkan daya pikir dan kreativitas sang murid untuk menambah keterampilan dan pengetahuannya. Salah satunya adalah konsep belajar Experiential Learning yang digagas oleh Kolb (1984). Melalui experiential learning, murid didorong untuk mengalami sendiri rangkaian proses yang membawa mereka pada meningkatnya pengetahuan. Bukannya berceramah sepanjang jam pelajaran, guru hanya akan memberikan dasar-dasar pengetahuan dan prinsip-prinsip utama suatu bidang bahasan, kemudian membiarkan para murid melakukan pengamatan, melakukan eksperimen sederhana, diskusi dengan teman sekelas, bahkan mengakses sumber belajar lain, seperti Google atau seperangkat sumber online lainnya, untuk sampai pada pemahaman suatu konsep sosial atau sains tertentu. Studi-studi tentang efektivitas semua pendekatan tersebut dalam 7-10 tahun terakhir menunjukkan bahwa peran guru tetap sangat sentral dalam kelas. Tanpa peran guru sebagai pemimpin, kegiatan belajar menjadi kacau. Murid menjadi bingung manakala menemui informasi yang bertentangan, frustrasi karena merasa tidak menemukan jawaban untuk kesulitannya, atau bahkan apatis karena merasa tidak mendapat apa-apa dari kegiatan tersebut. Perbedaannya dengan praktik pembelajaran di masa lalu yang terpusat pada guru adalah dia tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan dan "kebenaran" di kelas. Guru bukan menjadi figur yang hanya menuangkan seperangkat informasi kepada para murid yang kemudian ditransfer ke buku catatan mereka dan direproduksi ketika ulangan tiba. Di sini guru menjadi semacam event organizer yang dengan taktis membagi sesi belajar menjadi beberapa tahap: penyampaian prinsip-prinsip utama suatu bidang bahasan, penugasan ke kegiatan pengamatan atau eksperimen dengan panduan yang jelas tentang tujuan kegiatan tersebut, monitoring kegiatan belajar, pemberian bantuan manakala sang murid mengalami kesulitan, dan akhirnya semacam sesi pleno untuk menyimak presentasi para murid tentang temuannya dan cara nalarnya, serta sedikit penegasan, klarifikasi, atau koreksi terhadap cara bernalar dan hasil yang disajikan. Jacobson dan Ruddy (2004) mengusulkan serangkaian pertanyaan sederhana namun akan cukup efektif dalam membuka wawasan pikir para murid: "apakah kalian memperhatikan bahwa...", "apakah hal itu juga terjadi dalam kehidupan sehari-hari", dan "bagaimana kalian dapat menerapkannya ke dalam kehidupan sehari-hari." Masa kritis dalam pendekatan pembelajaran experiential ini adalah ketika murid mengalami kesulitan. Guru sebaiknya tidak memberikan jawaban langsung, tapi mengarahkan cara bernalar dan cara mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang tersedia. Misalnya, guru menjumpai bahwa beberapa muridnya tidak mengerti kata baru dalam suatu bacaan berbahasa asing. Sang guru bisa menuntun mereka untuk mencari kamus daring seperti Cambridge atau Webster yang menyajikan informasi sangat lengkap tentang makna suatu kata. Namun, manakala yang terasa oleh guru adalah kebingungan atau bahkan prosedur bernalar yang salah arah, sang guru sebaiknya menghentikan kegiatan sejenak untuk mengingatkan anak didiknya akan tujuan utama yang ditetapkan di awal sesi. Sudah saatnya dinas-dinas pendidikan di tingkat kota dan kabupaten merangkul ahli-ahli kependidikan dari berbagai perguruan tinggi untuk bersama-sama menyiapkan para guru menerapkan Kurikulum 2013 dengan benar. Juga perlu pendampingan berkelanjutan untuk memberikan solusi bagi guru terhadap masalah-masalah konkret di kelasnya. Kondisi ideal pendekatan di atas adalah kelas yang tidak sangat besar, guru yang sudah terlatih, siap mengubah pola pikir dari figur yang hanya berceramah menjadi figur yang cakap dalam mengendalikan setiap tahap pembelajaran, serta materi yang memang dirancang khusus untuk belajar lewat pengalaman, termasuk koneksi internet. Bahkan, jika semua sudah relatif bisa mendapat bekal yang sama untuk memulai, masih ada faktor evaluasi nasional yang selama ini selalu menjadi perdebatan hangat, yakni ujian nasional. Hendaknya ujian nasional dirancang sedemikian rupa sehingga tetap bisa mengakomodasi dan bahkan memupuk sikap kolaboratif, mandiri, dan kreatif yang terkandung dalam pengalaman belajar experiential di kelas. Berita terbaru tentang format evaluasi yang berciri observasi, bertanya, menalar, dan bereksperimen diharapkan bisa diterapkan dalam pembelajaran di kelas sehingga terbentuk rangkaian yang koheren dari penetapan tujuan, pengalaman belajar, sampai format evaluasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar