Jokowi dan
Pembelajaran Kontekstual
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Desember 2012
JOKO Widodo (Jokowi) pantas didapuk sebagai
guru yang sadar lingkungan. Apa yang ia lakukan sebagai Gubernur DKI patut
ditiru oleh pimpinan daerah lainnya, misalnya ketika dia melantik Wali Kota
dan Wakil Wali Kota Jakarta Timur di tengah-tengah perkampungan kumuh di
daerah Pulo Jahe. Di tengah-tengah rigiditas birokrasi yang terkesan jauh
dari keseharian masyarakat, apa yang dilakukan Jokowi merupakan angin segar
dalam rangka mengembalikan fungsi pemerintah yang seharusnya memiliki
kepekaan lingkungan sekitar.
Dalam perspektif pendidikan, jelas sekali
Jokowi adalah pendukung utama diberlakukannya pendekatan pembelajaran
kontekstual. Di tengah maraknya proses pendidikan yang lebih didominasi guru
sebagai satu-satunya sumber belajar, pembelajaran kontekstual
(contextual-based learning) adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran guru dan
siswa tentang pentingnya membenturkan bahan ajar dengan kondisi aktual yang
terjadi di sekeliling kehidupan siswa.
Tak bisa dihindari bahwa sistem pendidikan
kita sejauh ini masih belum mampu membentuk pengalaman belajar siswa secara
autentik. Banyak aktivitas belajar yang tak membentuk pengalaman belajar
siswa sehingga apa yang diperoleh siswa sering kali tak bermakna karena tidak
berkaitan dan bersumber dari lingkungan siswa itu sendiri. Hal itu disebabkan
kebanyakan guru masih minim dalam menentukan materi dan pengalaman belajar
yang dapat disesuaikan dengan karakteristik siswa dan/atau daerah.
Hasil penelitian John Dewey (1916)
menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik bila apa yang dipelajari
terkait dengan apa yang telah diketahui dan menyangkut kegiatan atau
peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Karena itu, pembelajaran kontekstual
jelas merupakan tuntutan terpenting dari skenario strategi pembelajaran dalam
rencana kurikulum baru 2013. Dengan kesadaran pentingnya kompetensi sikap
(attitude), melihat siswa sebagai subjek didik merupakan hal imperatif.
Sebagaimana Jokowi, para guru di ruang kelas
sepantasnya memiliki pola pikir yang sama bahwa pembelajaran bukanlah proses
kosong yang berdiri sendiri, melainkan harus dibenturkan dengan kondisi
aktual di sekeliling siswa. Karena itu, kreativitas guru dalam membangun
basis pengalaman siswa melalui proses belajar-mengajar harus menekankan
kemampuan pemecahan masalah. Guru harus memiliki kesadaran bahwa mengajar
merupakan proses pemantauan yang mampu mengarahkan siswa menjadi pembelajar
yang aktif dan terkendali.
Dalam pembelajaran kontekstual, sangat mungkin
bagi setiap guru untuk mengenalkan karakter kerja sama, saling menunjang, dan
menyenangkan dengan menggunakan berbagai sumber belajar yang terintegrasi
satu sama lain.
itu artinya bahwa setiap proses
belajar-mengajar harus berkaitan satu dengan lainnya (relating), memberikan
pengalaman atau mengalami (experiencing) yang dilanjutkan dengan bagaimana
cara menggunakan atau menerapkannya (applying). Strategi dasar pembelajaran
kontekstual ini jelas membutuhkan kerja sama (cooperating) antara guru dengan
guru, guru dan siswa, serta antarsiswa, agar terjadi proses peralihan ilmu
(transferring) dengan cara yang natural. Artinya, setiap guru harus meyakini
bahwa pendidikan merupakan proses yang harus terus berlangsung, tidak
berhenti pada hasil.
Kesadaran terhadap proses pendidikan dan
proses belajar-mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan
keyakinan setiap guru, yakni menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Tak cukup hanya dengan, misalnya, menguji
mereka dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar
adalah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal anak
dengan guru, orangtua, dan lingkungan tumbuh dari pengetahuan yang mereka
peroleh secara benar.
Selain itu, membiasakan mereka secara
terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh teladan
yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali
moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka
sendiri.
Jika para guru kita memiliki visi yang sama
dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem
pendidikan, dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan pernah takut
ketika dihadapkan pada sebuah ujian.
Bahkan dalam jangka panjang, proses pendidikan
yang benar melalui proses
mengalami secara aktif dan menyenangkan dapat
menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fleksibel,
terbuka, tegas, toleran, sportif, setia kawan, berani mengambil risiko, dan
memiliki integritas.
Pendek kata, proses pembelajaran kontekstual
adalah upaya untuk menyeimbangkan antara pikir dan rasa agar masa depan
Indonesia terlepas dari petaka kemanusiaan karena munculnya gejala saling
curiga dan tak menghormati perbedaan. Adagium tradisi dan budaya yang kerap
menyebut masyarakat Indonesia hidup saling menghormati seakan pupus oleh
begitu banyaknya penyimpangan perilaku tak berkeadaban seperti tawuran
antarwarga, warga melawan polisi, sekolah versus sekolah, dan yang lebih
parah dinodai pula dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem pendidikan kita memerlukan
roadmap baru dalam menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling
menghargai. Mungkin baik untuk menimbang pendekatan pembelajaran secara
kontekstual sebagai bagian dari strategi implementasi kurikulum pendidikan
kita yang lebih berorientasi kognitif ke arah yang ramah afektif dan
psikomotorik. Dalam praktiknya, semua mata ajar sains, sosial sains, humaniora,
dan seni-budaya harus proporsional diajarkan dengan membenturkan fakta yang
ada di sekitar anak-anak. Itulah hakikat pembelajaran kontekstual yang
sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar