Senin, 24 Desember 2012

Hari Ibu, Belajar dari dan Bersama Ibu


Hari Ibu, Belajar dari dan Bersama Ibu
Qaimah Umar ;  Ibu tiga orang anak dan Guru di SDN Harapan Baru IV Bekasi
MEDIA INDONESIA, 24 Desember 2012



‘Jangan mencari yang besarbesar, cukup mengerjakan yang kecil-kecil dengan cinta yang besar. Makin kecil yang kita hadapi, harus makin besar cinta yang kita berikan’. (Mother Theresa, Come Be My Light: The Private Writings of the Saint of Calcutta)

KUTIPAN bijak tersebut dari Bunda Theresa sangat sesuai dengan kebutuhan pendidikan karakter bagi anak-anak Indonesia. Apalagi jika dilihat dari situasi kelam dunia pendidikan kita, di saat keteladanan dan cinta sejati mulai senyap dan hilang, kita benar-benar membutuhkan inspirasi cerdas yang dapat membangunkan jiwa. Apa yang dikatakan Bunda Theresa tentang mengerjakan hal-hal kecil dengan cinta yang besar sangat identik dengan apa yang dilakukan hampir seluruh ibu di muka bumi ini.

Seorang ibu hampir dapat dipastikan selalu mengerjakan hal-hal kecil, seperti memperhatikan anak-anak dan keluarga mereka, tetapi dengan cinta yang sangat besar. Cinta seorang ibu terhadap anaknya tak akan mungkin berakhir karena perhatian dan cinta mereka justru datang dari hal-hal kecil. Hal-hal kecil selalu bermuasal dari keseharian yang ada di sekitar kita. Karena itu, contoh kecil ini sangat baik dan memungkinkan untuk ditransformasi dalam praktik pengajaran di sekolah, yaitu memperhatikan para siswa dari hal-hal yang kecil, kemudian mendiskusikan secara bersama masalah-masalah yang muncul.

Moral Cinta Ibu

Ada banyak alasan bagi kita untuk mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa, penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga penistaan peran guru melalui Facebook, misalnya, selalu disikapi dengan pendekatan serbaformal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku menyimpang siswa.

Pertanyaannya adalah kurikulum yang bagaimana lagi yang ingin kita buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah? Para pegiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana pendidikan yang berlangsung di sekolah.
Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa seperti robot karena mereka kurang dilatih untuk memberikan respons kreatif. Lebih hebat lagi, bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan dan kreativitas serta membunuh daya pikir anak. 
Sejak lama sistem sekolah lebih banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan melatih aspek afektif dan psikomotorik siswa secara tajam.

Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa untuk hanya menjawab benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan autokritik terhadap pelembagaan ujian, meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola pembelajaran. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu banyak mengatur `ini boleh dan itu tidak boleh', sehingga antara guru dan birokrasi pendidikan kita menjadi setali tiga uang; saling memengaruhi untuk menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.

Jika saja persoalan moral dilandasi atas dasar pembelajaran kita dalam melihat cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya, sebenarnya tak akan sulit mempraktikkannya dalam proses belajar mengajar. Jika pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan hati dan cinta, bisa dibayang kan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih memberikan cinta dan hati mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban. Saya tidak memiliki kapasitas dan pretensi untuk menjawab model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti yang seharusnya. Namun, saya ingin mencoba merekonstruksi ulang pertanyaan tersebut dengan kalimat ‘dari manakah kesadaran dan tanggung jawab para guru terhadap pendidikan moral dan budi pekerti harus dimulai’. Jawaban singkatnya, belajarlah dari cara ibu kita memberikan cinta dan kasih sayang mereka kepada kita.

Buruk Rupa Guru

Utomo Dananjaya (2005) dalam salah satu tulisannya mengatakan guru ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Lha, kok bisa? Bayangkan, karena birokrasi yang rigid dan tak peduli tentang kreativitas, guru sering kali menjadi objek ‘pemerasan’ para kepala dinas dan pengawas. Pemerasan dilakukan kepala dinas karena kebutuhan atas nama program sertifikasi; guru dipaksa untuk berlomba mencari sertifikat, dan indikasi bahwa program sertifikasi merupakan sebuah objek pemerasan terendus ketika praktik plagiarisme mencuat dalam program sertifikasi di banyak provinsi. 

Beberapa waktu lalu di Riau, sebanyak 1.700 guru ketahuan memalsukan sertifikat dan karya tulis (copy paste) orang lain. Ironisnya, tim sukses orang-orang yang membantu para guru dalam melakukan praktik kecurangan itu diduga ialah para pejabat di tingkat dinas pendidikan dan kantor depag.

Di sekolah, para guru juga diperas pengawas yang kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya quality assurance (bukan quality control!). Dengan demikian, guru dipaksa untuk secara kaku mengikuti desain kurikulum yang standar isi dan standar kom petensinya diterjemahkan secara kaku dalam praktik dan proses belajar mengajar. Aki batnya, guru seperti tak punya waktu untuk membuat desain pembelajaran yang kreatif sehingga kerjanya hanya melulu memberi pekerjaan rumah (PR) kepada para muridnya. PR biasanya diambil dari buku-buku kumpulan soal dan jawaban sehingga lebih banyak rumusan benar-salah, pilihan ganda, dan soal isian. 

Akhirnya setali tiga uang lagi; guru merasa diperas dan dibebani dinas dan pengawasnya. Maka, pada saat yang sama, guru juga memberikan beban PR yang tidak pernah putus kepada siswanya. Di mana dan kapan guru memiliki kesempatan untuk menempatkan pelajaran moral dan budi pekerti jika situasinya seperti ini?

Dalam sebuah survei yang dilakukan Phi Delta Kappa/ Gallup study pada 2004 menyebutkan 73% responden setuju tentang kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei tersebut juga menunjukkan bahwa jika karena kondisi terpaksa/ mendesak seseorang harus berhenti dari profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih ialah karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%), kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa (4%). Artinya, hanya 4% sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller: 2005).

Cerita dan fakta tersebut ingin menunjukkan bahwa keterikatan (engagement) secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Dalam konteks pendidikan di sekolah dasar, mari kita bertanya, lebih banyak mana guru kita yang memberi PR dan yang memeluk serta mencium siswanya setiap hari di kelas? Atau guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, yang menganggap siswa-siswi mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja (employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi bukan dididik.

Di sinilah sesungguhnya pembeda antara pengajar dan pendidik. Guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi biasanya memperlakukan siswa mereka sebagai teman, anak, atau bahkan relawan sehingga unsur tekanan dan pemaksaan tidak terjadi dalam proses belajar mengajar. Sebab, ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan guru-siswa menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami sekaligus mematuhi aturan yang ada.

Pertanyaan selanjutnya ialah adakah contoh tipe guru yang otoritatif dan penuh keikhlasan dalam mengajar sehingga mampu menciptakan anak didik yang berhasil secara emosional dan material? Sangat banyak tipe guru seperti itu, salah satu contohnya sosok Harfan Effendy Noor dan Muslimah Hafsari atau Bu Mus, yang digambarkan secara kasatmata oleh Andrea Hirata dalam buku dan fi lm Laskar Pelangi.

Bagi Andrea Hirata, kedua sosok gurunya itu selalu tampak berbahagia ketika mengajar, pandai bercerita, tegas, dan berwibawa. ‘Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka laksana manfaat yang diberikan pohon fi licium yang menaungi atap kelas... dan memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting mata rantai ekosistem’.

Wahai para guru, marilah kita becermin pada wajah ibu kita, yang memiliki cinta dan keikhlasan begitu besar, meski yang diurusnya terkesan kecil. Selamat Hari Ibu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar