Hari Ibu,
Belajar dari dan Bersama Ibu
Qaimah Umar ; Ibu tiga orang anak dan Guru di SDN
Harapan Baru IV Bekasi
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Desember 2012
‘Jangan mencari yang
besarbesar, cukup mengerjakan yang kecil-kecil dengan cinta yang besar. Makin
kecil yang kita hadapi, harus makin besar cinta yang kita berikan’. (Mother Theresa, Come Be My Light: The Private Writings of the Saint
of Calcutta)
KUTIPAN bijak tersebut dari Bunda Theresa sangat
sesuai dengan kebutuhan pendidikan karakter bagi anak-anak Indonesia. Apalagi
jika dilihat dari situasi kelam dunia pendidikan kita, di saat keteladanan
dan cinta sejati mulai senyap dan hilang, kita benar-benar membutuhkan
inspirasi cerdas yang dapat membangunkan jiwa. Apa yang dikatakan Bunda
Theresa tentang mengerjakan hal-hal kecil dengan cinta yang besar sangat
identik dengan apa yang dilakukan hampir seluruh ibu di muka bumi ini.
Seorang ibu hampir dapat dipastikan selalu
mengerjakan hal-hal kecil, seperti memperhatikan anak-anak dan keluarga
mereka, tetapi dengan cinta yang sangat besar. Cinta seorang ibu terhadap
anaknya tak akan mungkin berakhir karena perhatian dan cinta mereka justru
datang dari hal-hal kecil. Hal-hal kecil selalu bermuasal dari keseharian
yang ada di sekitar kita. Karena itu, contoh kecil ini sangat baik dan
memungkinkan untuk ditransformasi dalam praktik pengajaran di sekolah, yaitu
memperhatikan para siswa dari hal-hal yang kecil, kemudian mendiskusikan
secara bersama masalah-masalah yang muncul.
Moral Cinta Ibu
Ada banyak alasan bagi kita untuk
mempersoalkan bagaimana nasib pendidikan moral dan budi pekerti dikembangkan
dan diajarkan kepada anak-anak kita di sekolah. Setiap bentuk anomali
perilaku anak-anak di sekolah, baik dalam bentuk tawuran antarsiswa,
penyalahgunaan obat terlarang, penyimpangan perilaku seksual, hingga
penistaan peran guru melalui Facebook, misalnya, selalu disikapi dengan
pendekatan serbaformal, termasuk di antaranya usulan tentang perlunya membuat
model kurikulum pengembangan pendidikan moral dan budi pekerti. Selain
kurikulum, sepertinya tidak ada lagi cara lain untuk memperbaiki perilaku
menyimpang siswa.
Pertanyaannya adalah kurikulum yang bagaimana
lagi yang ingin kita buat untuk pendidikan moral dan budi pekerti di sekolah?
Para pegiat dan pemikir pendidikan sejak lama gundah tentang suasana
pendidikan yang berlangsung di sekolah.
Ivan Illich dan Paolo Freire bahkan mengkritik
dengan pedas sekali bahwa sekolah telah menjadikan para siswa seperti robot
karena mereka kurang dilatih untuk memberikan respons kreatif. Lebih hebat
lagi, bahkan keduanya juga menuduh sekolah telah memasung kebebasan dan
kreativitas serta membunuh daya pikir anak.
Sejak lama sistem sekolah lebih
banyak menggunakan pendekatan kognitif, tetapi abai dalam menumbuhkan dan
melatih aspek afektif dan psikomotorik siswa secara tajam.
Soal di sekolah lebih banyak menuntut siswa
untuk hanya menjawab benar dan salah, tetapi lalai dalam melakukan autokritik
terhadap pelembagaan ujian, meskipun saat ini, katanya, pemerintah telah
memberlakukan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang seharusnya memberi
ruang yang lebih banyak bagi guru dan siswa untuk mendesain pola
pembelajaran. Kenyataannya? Kurikulum masih sentralistis, terlalu banyak
mengatur `ini boleh dan itu tidak boleh', sehingga antara guru dan birokrasi
pendidikan kita menjadi setali tiga uang; saling memengaruhi untuk
menumbuhkan budaya kepatuhan tanpa inovasi yang berarti.
Jika saja persoalan moral dilandasi atas dasar
pembelajaran kita dalam melihat cinta kasih seorang ibu terhadap anaknya,
sebenarnya tak akan sulit mempraktikkannya dalam proses belajar mengajar. Jika
pendekatan seorang ibu lebih banyak menggunakan hati dan cinta, bisa dibayang
kan apa yang akan terjadi jika semua guru lebih memberikan cinta dan hati
mereka daripada sekadar memenuhi kewajiban. Saya tidak memiliki kapasitas dan
pretensi untuk menjawab model kurikulum pendidikan moral dan budi pekerti
yang seharusnya. Namun, saya ingin mencoba merekonstruksi ulang
pertanyaan tersebut dengan kalimat ‘dari manakah kesadaran dan tanggung jawab
para guru terhadap pendidikan moral dan budi pekerti harus dimulai’. Jawaban singkatnya,
belajarlah dari cara ibu kita memberikan cinta dan kasih sayang mereka kepada
kita.
Buruk Rupa Guru
Utomo Dananjaya (2005) dalam salah satu
tulisannya mengatakan guru ternyata lebih kejam daripada ibu tiri. Lha, kok
bisa? Bayangkan, karena birokrasi yang rigid dan tak peduli tentang
kreativitas, guru sering kali menjadi objek ‘pemerasan’ para kepala dinas dan
pengawas. Pemerasan dilakukan kepala dinas karena kebutuhan atas nama program
sertifikasi; guru dipaksa untuk berlomba mencari sertifikat, dan indikasi
bahwa program sertifikasi merupakan sebuah objek pemerasan terendus ketika
praktik plagiarisme mencuat dalam program sertifikasi di banyak provinsi.
Beberapa
waktu lalu di Riau, sebanyak 1.700 guru ketahuan memalsukan sertifikat dan
karya tulis (copy paste) orang
lain. Ironisnya, tim sukses orang-orang yang membantu para guru dalam melakukan
praktik kecurangan itu diduga ialah para pejabat di tingkat dinas pendidikan
dan kantor depag.
Di sekolah, para guru juga diperas pengawas
yang kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya quality assurance (bukan quality
control!). Dengan demikian, guru dipaksa untuk secara kaku mengikuti
desain kurikulum yang standar isi dan standar kom petensinya diterjemahkan
secara kaku dalam praktik dan proses belajar mengajar. Aki batnya, guru
seperti tak punya waktu untuk membuat desain pembelajaran yang kreatif
sehingga kerjanya hanya melulu memberi pekerjaan rumah (PR) kepada para
muridnya. PR biasanya diambil dari buku-buku kumpulan soal dan jawaban
sehingga lebih banyak rumusan benar-salah, pilihan ganda, dan soal isian.
Akhirnya setali tiga uang lagi; guru merasa diperas dan dibebani dinas dan
pengawasnya. Maka, pada saat yang sama, guru juga memberikan beban PR yang
tidak pernah putus kepada siswanya. Di mana dan kapan guru memiliki
kesempatan untuk menempatkan pelajaran moral dan budi pekerti jika situasinya
seperti ini?
Dalam sebuah survei yang dilakukan Phi Delta
Kappa/ Gallup study pada 2004 menyebutkan 73% responden setuju tentang
kelemahan mendasar pendidikan, yaitu bertumpu pada ketiadaan guru yang baik
hati alias mengajar tidak dengan rasa cinta. Survei tersebut juga menunjukkan
bahwa jika karena kondisi terpaksa/ mendesak seseorang harus berhenti dari
profesinya sebagai seorang guru, jawaban yang paling banyak dipilih ialah
karena alasan rendahnya gaji dan fasilitas (67%), kekakuan birokrasi (21%),
kesulitan dalam menghadapi orangtua siswa (8%), dan alasan kondisi siswa
(4%). Artinya, hanya 4% sebenarnya guru yang selalu memiliki keterikatan
secara emosional terhadap siswa mereka (Rosanne Liesveld and Jo Ann Miller:
2005).
Cerita dan fakta tersebut ingin menunjukkan
bahwa keterikatan (engagement)
secara psikologis atau emosional sesungguhnya musuh guru itu sendiri. Dalam
konteks pendidikan di sekolah dasar, mari kita bertanya, lebih banyak mana
guru kita yang memberi PR dan yang memeluk serta mencium siswanya setiap hari
di kelas? Atau guru-guru kita memang benar seperti dugaan Paulo Freire, yang
menganggap siswa-siswi mereka sebagai tahanan (prisoners) atau pekerja
(employees) yang harus selalu ditekan untuk belajar dan belajar, tetapi bukan
dididik.
Di sinilah sesungguhnya pembeda antara
pengajar dan pendidik. Guru dengan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi
biasanya memperlakukan siswa mereka sebagai teman, anak, atau bahkan relawan
sehingga unsur tekanan dan pemaksaan tidak terjadi dalam proses belajar
mengajar. Sebab, ikatan emosional yang lebih akan menyebabkan hubungan
guru-siswa menjadi lebih akrab, dinamis, dan mudah membuat mereka memahami
sekaligus mematuhi aturan yang ada.
Pertanyaan selanjutnya ialah adakah contoh
tipe guru yang otoritatif dan penuh keikhlasan dalam mengajar sehingga mampu
menciptakan anak didik yang berhasil secara emosional dan material? Sangat
banyak tipe guru seperti itu, salah satu contohnya sosok Harfan Effendy Noor
dan Muslimah Hafsari atau Bu Mus, yang digambarkan secara kasatmata oleh
Andrea Hirata dalam buku dan fi lm Laskar Pelangi.
Bagi Andrea Hirata, kedua sosok gurunya itu
selalu tampak berbahagia ketika mengajar, pandai bercerita, tegas, dan
berwibawa. ‘Mereka adalah kesatria tanpa pamrih, pangeran keikhlasan, dan
sumur jernih ilmu pengetahuan di ladang yang ditinggalkan. Sumbangan mereka
laksana manfaat yang diberikan pohon fi licium yang menaungi atap kelas... dan
memberi napas kehidupan bagi ribuan organisme dan menjadi tonggak penting
mata rantai ekosistem’.
Wahai para guru, marilah kita becermin pada
wajah ibu kita, yang memiliki cinta dan keikhlasan begitu besar, meski yang
diurusnya terkesan kecil. Selamat Hari
Ibu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar