Jumat, 20 April 2012

Ujian yang Didramatisasi


Ujian yang Didramatisasi
Saratri Wilonoyudho, Dosen Universitas Negeri Semarang;
Pemantau/Pengawas Unas 2012
SUMBER : KOMPAS, 20 April 2012


SENIN, 23 April 2012, ujian nasional (unas) tingkat SMP dimulai, menyusul kakaknya 16 April lalu. Jauh sebelum itu, kecemasan menghantui seluruh civitas akademika, mulai guru, kepala sekolah, apalagi sang murid. Kecemasan itu dapat diamati mulai ributnya pihak sekolah menyambut unas, baik dari sisi rasionalitas seperti terus mengadakan tryout maupun pengayaan, sampai ke tindakan ''spiritual'' seperti doa bersama, istighotsah, ESQ, dan seterusnya. Sebuah ''dramatisasi'' yang berlebihan.

Gambaran itu menunjukkan bahwa unas menjadi ''hantu'' yang menakutkan dan itu tentu saja berlawanan dengan tujuan pendidikan, yakni untuk memanusiakan manusia. Pendidikan pada dasarnya adalah upaya penanaman sikap hidup, pandangan hidup, nilai-nilai tentang kehidupan, dan keterampilan hidup. Pengembangan dunia pendidikan didahului acuan filosofis dan ideologis.

Acuan ideologis pendidikan menyangkut empat hal. Yakni, (1) mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban. (2) Mendukung diseminasi nilai keunggulan. (3) Mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan. (4) Menumbuhkembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.

Menurut Mochtar Buchori, dari acuan filosofis dan ideologis tersebut, baru dirumuskan kebijakan dasar dan strategi mengenai cara yang akan ditempuh untuk memperbarui sistem pendidikan nasional kita.

Dengan kata lain, dunia pendidikan harus menciptakan peluang bagi pembudayaan individu agar kapasitasnya berkembang. Bahkan, pakar-pakar seperti Betrand Russell, Paulo Freire, Ivan Illich, Montesory, Neil Postman, Ki Hadjar Dewantara, Moch. Sjafei, Dewi Sartika, dan sebagainya berbicara tentang pendidikan dari kacamata yang berbeda dan lebih luas, terutama berkaitan dengan ''pemerdekaan'' dari ''kebudayaan bisu''.

Paulo Freire (1972) bahkan lebih lantang berteriak mengenai kaitan antara ketidakadilan dan dunia pendidikan. Dia yakin bahwa kebodohan, kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan rakyat miskin, dan sebagainya disebabkan adanya sistem dominasi ekonomi, sosial, dan politik. Akibat dominasi tersebut, lahirlah ''kebudayaan bisu'', sehingga Freire yakin tidak ada yang namanya pendidikan netral. Pendidikan berfungsi sebagai suatu instrumen.

Harus diakui, terlepas dari maksud baik, pelaksanaan ujian nasional telah meneror anak didik, terutama bagi mereka yang kurang cerdas dan berasal dari sekolah yang tidak standar. Orang juga paham bahwa kondisi dan situasi serta mutu sekolah di negeri yang disekat geografis dan berbagai adat istiadat ini tidak sama. Sialnya, pada sisi lain, mereka harus menghadapi soal ujian nasional yang sama. Sekolah yang berada di pelosok pedalaman Papua harus berdiri dengan kepala tegak dan mampu bersaing serta berani menghadapi soal ujian yang sama dengan sekolah favorit di tengah Kota Jakarta yang berlimpah sarana-prasarana.

Banyak siswa stres, orang tua panik, serta guru dan kepala sekolah tertekan yang ujungnya melahirkan kejadian-kejadian yang lucu sekaligus memprihatinkan. Ada sekelompok anak sekolah di Bandung yang beramai-ramai meminta doa restu sopir angkot sambil membagikan bunga serta sungkem kepada mantan gurunya. Di Demak, ratusan siswa juga meminta ''restu'' Sunan Kalijaga. Bahkan, di antara mereka ada yang menjalani puasa ngebleng (tidak makan dan minum selama 24 jam) dan seterusnya. Pemandangan yang jamak terlihat, umumnya pihak sekolah mengadakan istighotsah atau berdoa bersama.

Sketsa singkat tersebut cukup menggambarkan bahwa ''teror'' ujian nasional benar-benar mencekam, ditambah berita yang tidak sedap dari media massa tentang siswa yang bunuh diri, kebocoran soal, ancaman pemindahan kepala sekolah jika tidak meluluskan 100 persen siswa, dan sebagainya.

Fenomena ujian nasional semakin menunjukkan kecengengan tunas-tunas bangsa ini. Pada 50-an, bapak saya dan beberapa temannya tetap bersemangat dan maju meski untuk menempuh ujian sekolah guru bantu juga terus diulang, apalagi ketika mengambil gelar sarjana muda (BA).

Demikian pula pada 80-an. Di sekolah saya, hampir 30 persen teman saya tidak naik kelas dan tidak stres. Artinya, mereka yang tidak naik kelas atau tidak lulus tetap bersemangat, menganggap sebagai proses, serta meneruskan pendidikan dan hasilnya mereka kini bertebaran di berbagai perguruan tinggi ternama di tanah air.

Meski demikian, bisa dipahami pula jika kini kondisinya telah berubah. Ujian nasional bagaikan jalan sakti untuk meraih kehidupan. Harus diakui pula, sistem ujian nasional tidak lahir dari kebudayaan dan filosofi pendidikan yang hakiki. Ujian nasional, sadar atau tidak, seakan dimaksudkan untuk menjaring sumber daya manusia yang lahir dari ideologi industri.

Karena itu, soal yang diujikan juga hanya terbatas pada mata pelajaran penting yang dibutuhkan dunia industri seperti matematika dan bahasa Inggris, sehingga (seakan) mata pelajaran lain seperti kesenian, agama, budaya, dan lainnya tidak penting karena memang tidak dibutuhkan dunia industri kapitalistik.

Tekanan ideologi industri adalah performance, skill atau keterampilan kerja, bahasa Inggris, dan aneka perhitungan matematis ekonomis yang rumit lainnya. Karena itu, nilai-nilai seni, kejujuran, kesalehan, empati, moral, serta etika seakan diperbolehkan absen dalam dunia industri. Karena itu, nilai-nilai dan filosofi pendidikan semacam itu tidak diujikan dalam ujian nasional.

Guru-guru mata pelajaran yang di-unas-kan mengalami tekanan berat karena harus mengejar target. Sebaliknya, guru-guru mata pelajaran kesenian agama, moral, budaya, dan sebagainya boleh santai karena tidak diperlukan dalam logika industri yang menganut paham dengan modal sekecil-kecilnya harus meraih keuntungan sebesar-besarnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar