Jumat, 20 April 2012

Penyelesaian Sengketa Newmont


Penyelesaian Sengketa Newmont
Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
SUMBER : KOMPAS, 20 April 2012


Perkara sengketa kewenangan lembaga negara antara pemerintah sebagai pemohon dan DPR serta BPK sebagai pihak termohon mengenai pembelian 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara memasuki babak persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Sengketa ini mengakibatkan terganggunya kepercayaan para pelaku bisnis dan ketidakpastian iklim investasi. Berlarutnya penyelesaian divestasi Newmont Nusa Tenggara (NNT) juga menyebabkan Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan negara dan memperbaiki pengelolaan sektor pertambangan umum.

Sebagai saksi ahli Mahkamah Konstitusi (MK)—dengan menyimak semua dokumen permohonan sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), keterangan ahli, DPR, dan BPK—kami menyimpulkan bahwa substansi SKLN sesungguhnya sangat sederhana. Persengketaan bermuara pada ”perlu tidaknya pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) meminta persetujuan DPR (lagi) untuk menggunakan dana investasi dan membeli 7 persen saham divestasi NNT”.

Di satu sisi, pemerintah menganggap sudah mendapat izin melalui persetujuan APBN 2011. Di sisi lain, DPR dan BPK menyatakan bahwa meski telah termuat dalam UU APBN 2011, tetap perlu persetujuan dari komisi terkait di DPR.

SKLN tidak perlu terjadi apabila kedua pihak, terutama Kementerian Keuangan dan DPR, memahami dengan baik mekanisme pembahasan APBN. Tugas dan kewenangan Komisi serta Badan Anggaran DPR dalam APBN dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009 mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) juga harus dimengerti dengan baik dan dipatuhi saksama.

Pengetahuan serta pemahaman siklus, proses, mekanisme pembahasan, dan persetujuan APBN diperlukan karena pemerintah menggunakan PIP yang merupakan badan layanan umum (BLU) untuk melaksanakan divestasi. Sebagai BLU, PIP merupakan bagian dari keuangan negara. Oleh karena itu, rencana kerja dan anggarannya harus mendapat persetujuan DPR dalam pembahasan APBN setiap tahun.

Sebagai bagian dari keuangan negara, BLU juga harus menyampaikan rencana bisnis dan investasi serta rencana kerja dan anggaran untuk disetujui komisi terkait dan disinkronisasikan oleh Badan Anggaran DPR dalam APBN. 

Materi Perbedaan

Ada lima butir perbedaan pendapat dari para pihak. Pertama, perlu tidaknya persetujuan DPR. DPR merujuk UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara pemerintah merujuk UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 8 Huruf f yang menyatakan pelaksanaan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN), UU Nomor 1 Tahun 2004 Pasal 7 Ayat 2, Pasal 41 Ayat 1-2 terkait fungsi BUN, dan PP Nomor 1 Tahun 2008 terkait landasan hukum operasional PIP.

Kedua, pemahaman mengenai investasi pemerintah dan penyertaan modal pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT merupakan investasi jangka panjang non-permanen oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Investasi—sesuai dengan ketentuan Pasal 41 Ayat 1, 2, dan 3 UU Perbendaharaan Negara—bukan merupakan penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta. BPK berpendapat sebaliknya, pembelian saham NNT melalui PIP adalah investasi jangka panjang dalam bentuk penyertaan modal pemerintah.

Ketiga, penggunaan dana PIP. DPR berpendapat pembelian saham NNT dengan menggunakan dana PIP tidak mencerminkan tujuan awal sebagai BLU, khususnya bidang dukungan infrastruktur. Pemerintah berpendapat bahwa dalam PP No 1/2008 tentang Investasi Pemerintah dinyatakan investasi yang dilakukan PIP tidak dibatasi hanya bidang infrastruktur, tetapi juga bidang lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Keempat, alokasi dana pembelian NNT pada APBN. BPK berpendapat bahwa pemerintah belum mengalokasikan dana pembelian saham NNT pada APBN 2011 dan pengalokasian dana investasi dilakukan tanpa rincian dan penjelasan memadai, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat 5 UU Keuangan Negara.

Pemerintah menyatakan, alokasi anggaran PIP sebagai satuan kerja Kementerian Keuangan sudah terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja dalam Bagian Anggaran (BA) 15 Kementerian Keuangan. Alokasi investasi PIP sebagai pelaksana investasi BUN juga terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan dalam BA (Bendahara Umum) 999 yang setiap tahun dibahas dengan DPR sebelum pengalokasian dalam APBN.

Kelima, kelembagaan PIP sebagai BLU. BPK menyimpulkan: kelembagaan PIP sebagai BLU tak sesuai dengan filosofi dan semangat pembentukan BLU , sebagaimana Pasal 68 Ayat 1 UU Perbendaharaan Negara. Lebih lanjut BPK menyimpulkan, PIP tidak memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat serta PIP hanya bertujuan untuk memupuk keuntungan. Pemerintah berpendapat PIP merupakan BLU yang mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan atau pelayanan masyarakat.

Perlu Persetujuan DPR

Hasil kajian kami menunjukkan: pertama, alokasi dana investasi untuk divestasi 7 persen saham NNT belum terinci dalam Rencana Kegiatan Investasi ataupun Rencana Bisnis dan Anggaran PIP 2011. Kedua, rincian Belanja Satuan Kerja Investasi Pemerintah pada APBN 2011 telah tercantum angka Rp 1 triliun sehingga belum mencukupi untuk pembelian 7 persen saham PT NNT.

Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK, kesepakatan Sales Purchase Agreement (SPA) yang ditandatangani 6 Mei 2011 untuk jual beli 7 persen saham divestasi NNT tahun 2010 dengan nilai 246.806.500 dollar AS atau sekitar Rp 2,3 triliun. Ketiga, belum ada kejelasan alokasi investasi PIP dalam BA999 seperti yang dirujuk pemerintah. Menurut data Realisasi Bisnis PIP 2011, kebutuhan dana investasi pembelian saham divestasi NNT diperoleh dari Pendapatan/Keuntungan PIP (sampai Juli sudah Rp 1,6 triliun).

Keempat, dengan mengutip keterangan Prof Dr Yusril Ihza Mahendra dalam dokumen Pendapat Ahli Pemerintah dalam Perkara SKLN tanggal 27 Maret pada halaman 8, ”... apabila alokasi dana investasi belum tersedia, atau telah tersedia tetapi belum mencukupi, maka penyediaan dana harus dibahas lebih dulu dengan DPR untuk disepakati bersama dan dituangkan dalam APBN atau APBN Perubahan”. Keterangan ini menyiratkan perlunya persetujuan DPR sebelum dituangkan dalam APBN apabila dana investasi belum tersedia atau belum cukup.

Kelima, dalam kesimpulan rapat Badan Anggaran dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan tentang APBN 2011 tanggal 2 November 2010, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari substansi UU APBN 2010, dinyatakan bahwa dana investasi yang disepakati pemerintah Rp 1 triliun. Namun, pemerintah dan DPR lalai menindaklanjuti setelah persetujuan APBN dicapai. Menurut UU MD3 pembahasan di tingkat Badan Anggaran harus didahului atau ditindaklanjuti dengan pembahasan oleh komisi terkait.

Keenam, Rencana Investasi PIP 2011 yang diterbitkan 30 Desember 2010 juga tidak menjelaskan rincian alokasi dana investasi untuk divestasi NNT.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses pembelian 7 persen saham NNT oleh pemerintah cq PIP masih memerlukan persetujuan komisi terkait DPR sebagai kelengkapan persetujuan APBN.

Divestasi pada Pusat

Meski demikian, divestasi NNT kepada pemerintah pusat adalah skema yang tepat untuk memastikan adanya kepentingan publik dalam pemanfaatan sumber daya alam milik negara. Proses pembahasan dan persetujuan komisi terkait ini perlu dijalankan untuk mendorong tujuan dan kemanfaatan investasi yang optimal.

Setiap investasi oleh PIP semestinya sesuai dengan bentuk dan tujuan pembentukan, seperti Pasal 1 Ayat 1 PP Nomor 23 Tahun 2005, yaitu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa tanpa mengutamakan mencari keuntungan.

Dalam rangka mengoptimalkan investasi pemerintah, disarankan agar bentuk hukum dari PIP yang merupakan BLU ditinjau kembali. Apabila berbentuk BLU, PIP harus mengemban misi sebagai lembaga pelayanan masyarakat nirlaba. Alternatifnya, pemerintah dapat menggunakan BUMN untuk membeli saham 7 persen NNT sehingga jadi aksi korporasi.

Divestasi 7 persen saham NNT oleh pemerintah kiranya perlu dipertimbangkan DPR. Kepemilikan 7 persen saham bisa jadi momentum perbaikan kebijakan energi untuk kemakmuran masyarakat. Meski masih terdapat pro-kontra manfaat investasi dana Rp 2,3 triliun untuk kepemilikan saham NNT, hal itu sebenarnya lebih merupakan wilayah eksekutif dalam kerangka kebijakan fiskal nasional.

Untuk itulah pemerintah perlu mendapat persetujuan DPR, baik dari sisi penggunaan dana negara maupun kebijakan teknis pilihan investasi. Kami menyarankan agar Mahkamah Konstitusi segera memutuskan penggunaan dana PIP melalui persetujuan DPR agar diperoleh pilihan investasi terbaik. Syukur-syukur dengan jalan damai dan kemudian pemerintah sebagai pemohon membatalkan SKLN serta membicarakannya dengan DPR sehingga lebih elegan.

Apa pun keputusannya, tidak ada yang menang dalam SKLN. Yang penting adalah pemerintah dan DPR duduk bersama menjalankan proses yang sesuai dengan perundangan. Kalau ada yang salah dalam rancangan kebijakan, ada baiknya dilakukan perbaikan.

Pada akhirnya, saya ingin mengutip pendapat ekonom terkemuka dari MIT, Prof Gregory Mankiw (2010), bahwa Fiscal policy is not made by angels, artinya kebijakan fiskal tersebut dibuat oleh manusia serta kesalahan perencanaan dan prosedur sangat mungkin terjadi perbaikan. Pepatah mengatakan: ”kesuksesan lahir dari perbaikan atas kesalahan”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar