Penyelesaian
Sengketa Newmont
Anggito Abimanyu, Dosen
Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
SUMBER : KOMPAS, 20 April 2012
Perkara sengketa kewenangan lembaga negara
antara pemerintah sebagai pemohon dan DPR serta BPK sebagai pihak termohon
mengenai pembelian 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara memasuki babak
persidangan di Mahkamah Konstitusi.
Sengketa ini mengakibatkan terganggunya
kepercayaan para pelaku bisnis dan ketidakpastian iklim investasi. Berlarutnya
penyelesaian divestasi Newmont Nusa Tenggara (NNT) juga menyebabkan Indonesia
kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan negara dan memperbaiki pengelolaan
sektor pertambangan umum.
Sebagai saksi ahli Mahkamah Konstitusi
(MK)—dengan menyimak semua dokumen permohonan sengketa kewenangan lembaga
negara (SKLN), keterangan ahli, DPR, dan BPK—kami menyimpulkan bahwa substansi
SKLN sesungguhnya sangat sederhana. Persengketaan bermuara pada ”perlu tidaknya
pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) meminta persetujuan DPR
(lagi) untuk menggunakan dana investasi dan membeli 7 persen saham divestasi
NNT”.
Di satu sisi, pemerintah menganggap sudah
mendapat izin melalui persetujuan APBN 2011. Di sisi lain, DPR dan BPK
menyatakan bahwa meski telah termuat dalam UU APBN 2011, tetap perlu
persetujuan dari komisi terkait di DPR.
SKLN tidak perlu terjadi apabila kedua pihak,
terutama Kementerian Keuangan dan DPR, memahami dengan baik mekanisme
pembahasan APBN. Tugas dan kewenangan Komisi serta Badan Anggaran DPR dalam
APBN dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 27/2009
mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) juga harus dimengerti dengan baik dan
dipatuhi saksama.
Pengetahuan serta pemahaman siklus, proses,
mekanisme pembahasan, dan persetujuan APBN diperlukan karena pemerintah
menggunakan PIP yang merupakan badan layanan umum (BLU) untuk melaksanakan
divestasi. Sebagai BLU, PIP merupakan bagian dari keuangan negara. Oleh karena
itu, rencana kerja dan anggarannya harus mendapat persetujuan DPR dalam
pembahasan APBN setiap tahun.
Sebagai bagian dari keuangan negara, BLU juga
harus menyampaikan rencana bisnis dan investasi serta rencana kerja dan
anggaran untuk disetujui komisi terkait dan disinkronisasikan oleh Badan
Anggaran DPR dalam APBN.
Materi Perbedaan
Ada lima butir perbedaan pendapat dari para
pihak. Pertama, perlu tidaknya persetujuan DPR. DPR merujuk UU No 17/2003
tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Sementara pemerintah merujuk UU Nomor 17 Tahun 2003 Pasal 8 Huruf f yang
menyatakan pelaksanaan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN), UU Nomor 1 Tahun
2004 Pasal 7 Ayat 2, Pasal 41 Ayat 1-2 terkait fungsi BUN, dan PP Nomor 1 Tahun
2008 terkait landasan hukum operasional PIP.
Kedua, pemahaman mengenai investasi
pemerintah dan penyertaan modal pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa
pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT merupakan investasi jangka panjang
non-permanen oleh Menteri Keuangan selaku BUN. Investasi—sesuai dengan
ketentuan Pasal 41 Ayat 1, 2, dan 3 UU Perbendaharaan Negara—bukan merupakan
penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta. BPK berpendapat sebaliknya,
pembelian saham NNT melalui PIP adalah investasi jangka panjang dalam bentuk
penyertaan modal pemerintah.
Ketiga, penggunaan dana PIP. DPR berpendapat
pembelian saham NNT dengan menggunakan dana PIP tidak mencerminkan tujuan awal
sebagai BLU, khususnya bidang dukungan infrastruktur. Pemerintah berpendapat
bahwa dalam PP No 1/2008 tentang Investasi Pemerintah dinyatakan investasi yang
dilakukan PIP tidak dibatasi hanya bidang infrastruktur, tetapi juga bidang
lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keempat, alokasi dana pembelian NNT pada
APBN. BPK berpendapat bahwa pemerintah belum mengalokasikan dana pembelian
saham NNT pada APBN 2011 dan pengalokasian dana investasi dilakukan tanpa
rincian dan penjelasan memadai, sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Ayat 5 UU
Keuangan Negara.
Pemerintah menyatakan, alokasi anggaran PIP
sebagai satuan kerja Kementerian Keuangan sudah terinci sampai dengan unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja dalam Bagian Anggaran
(BA) 15 Kementerian Keuangan. Alokasi investasi PIP sebagai pelaksana investasi
BUN juga terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, dan kegiatan
dalam BA (Bendahara Umum) 999 yang setiap tahun dibahas dengan DPR sebelum
pengalokasian dalam APBN.
Kelima, kelembagaan PIP sebagai BLU. BPK
menyimpulkan: kelembagaan PIP sebagai BLU tak sesuai dengan filosofi dan
semangat pembentukan BLU , sebagaimana Pasal 68 Ayat 1 UU Perbendaharaan
Negara. Lebih lanjut BPK menyimpulkan, PIP tidak memberikan pelayanan secara
langsung kepada masyarakat serta PIP hanya bertujuan untuk memupuk keuntungan.
Pemerintah berpendapat PIP merupakan BLU yang mengelola dana khusus dalam
rangka meningkatkan ekonomi dan atau pelayanan masyarakat.
Perlu Persetujuan DPR
Hasil kajian kami menunjukkan: pertama,
alokasi dana investasi untuk divestasi 7 persen saham NNT belum terinci dalam
Rencana Kegiatan Investasi ataupun Rencana Bisnis dan Anggaran PIP 2011. Kedua,
rincian Belanja Satuan Kerja Investasi Pemerintah pada APBN 2011 telah
tercantum angka Rp 1 triliun sehingga belum mencukupi untuk pembelian 7 persen
saham PT NNT.
Menurut Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK,
kesepakatan Sales Purchase Agreement (SPA) yang ditandatangani 6 Mei 2011 untuk
jual beli 7 persen saham divestasi NNT tahun 2010 dengan nilai 246.806.500
dollar AS atau sekitar Rp 2,3 triliun. Ketiga, belum ada kejelasan alokasi
investasi PIP dalam BA999 seperti yang dirujuk pemerintah. Menurut data Realisasi
Bisnis PIP 2011, kebutuhan dana investasi pembelian saham divestasi NNT
diperoleh dari Pendapatan/Keuntungan PIP (sampai Juli sudah Rp 1,6 triliun).
Keempat, dengan mengutip keterangan Prof Dr
Yusril Ihza Mahendra dalam dokumen Pendapat Ahli Pemerintah dalam Perkara SKLN
tanggal 27 Maret pada halaman 8, ”... apabila
alokasi dana investasi belum tersedia, atau telah tersedia tetapi belum
mencukupi, maka penyediaan dana harus dibahas lebih dulu dengan DPR untuk
disepakati bersama dan dituangkan dalam APBN atau APBN Perubahan”.
Keterangan ini menyiratkan perlunya persetujuan DPR sebelum dituangkan dalam
APBN apabila dana investasi belum tersedia atau belum cukup.
Kelima, dalam kesimpulan rapat Badan Anggaran
dengan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Keuangan tentang APBN 2011 tanggal
2 November 2010, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari substansi UU APBN
2010, dinyatakan bahwa dana investasi yang disepakati pemerintah Rp 1 triliun.
Namun, pemerintah dan DPR lalai menindaklanjuti setelah persetujuan APBN
dicapai. Menurut UU MD3 pembahasan di tingkat Badan Anggaran harus didahului
atau ditindaklanjuti dengan pembahasan oleh komisi terkait.
Keenam, Rencana Investasi PIP 2011 yang
diterbitkan 30 Desember 2010 juga tidak menjelaskan rincian alokasi dana
investasi untuk divestasi NNT.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
proses pembelian 7 persen saham NNT oleh pemerintah cq PIP masih memerlukan
persetujuan komisi terkait DPR sebagai kelengkapan persetujuan APBN.
Divestasi pada Pusat
Meski demikian, divestasi NNT kepada
pemerintah pusat adalah skema yang tepat untuk memastikan adanya kepentingan
publik dalam pemanfaatan sumber daya alam milik negara. Proses pembahasan dan
persetujuan komisi terkait ini perlu dijalankan untuk mendorong tujuan dan kemanfaatan
investasi yang optimal.
Setiap investasi oleh PIP semestinya sesuai
dengan bentuk dan tujuan pembentukan, seperti Pasal 1 Ayat 1 PP Nomor 23 Tahun
2005, yaitu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan
barang dan atau jasa tanpa mengutamakan mencari keuntungan.
Dalam rangka mengoptimalkan investasi
pemerintah, disarankan agar bentuk hukum dari PIP yang merupakan BLU ditinjau
kembali. Apabila berbentuk BLU, PIP harus mengemban misi sebagai lembaga
pelayanan masyarakat nirlaba. Alternatifnya, pemerintah dapat menggunakan BUMN
untuk membeli saham 7 persen NNT sehingga jadi aksi korporasi.
Divestasi 7 persen saham NNT oleh pemerintah
kiranya perlu dipertimbangkan DPR. Kepemilikan 7 persen saham bisa jadi
momentum perbaikan kebijakan energi untuk kemakmuran masyarakat. Meski masih
terdapat pro-kontra manfaat investasi dana Rp 2,3 triliun untuk kepemilikan
saham NNT, hal itu sebenarnya lebih merupakan wilayah eksekutif dalam kerangka
kebijakan fiskal nasional.
Untuk itulah pemerintah perlu mendapat
persetujuan DPR, baik dari sisi penggunaan dana negara maupun kebijakan teknis
pilihan investasi. Kami menyarankan agar Mahkamah Konstitusi segera memutuskan
penggunaan dana PIP melalui persetujuan DPR agar diperoleh pilihan investasi
terbaik. Syukur-syukur dengan jalan damai dan kemudian pemerintah sebagai
pemohon membatalkan SKLN serta membicarakannya dengan DPR sehingga lebih
elegan.
Apa pun keputusannya, tidak ada yang menang
dalam SKLN. Yang penting adalah pemerintah dan DPR duduk bersama menjalankan
proses yang sesuai dengan perundangan. Kalau ada yang salah dalam rancangan
kebijakan, ada baiknya dilakukan perbaikan.
Pada akhirnya, saya ingin mengutip pendapat
ekonom terkemuka dari MIT, Prof Gregory Mankiw (2010), bahwa Fiscal policy is not made by angels,
artinya kebijakan fiskal tersebut dibuat oleh manusia serta kesalahan
perencanaan dan prosedur sangat mungkin terjadi perbaikan. Pepatah mengatakan:
”kesuksesan lahir dari perbaikan atas
kesalahan”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar