Senin, 16 April 2012

Meluruskan Desentralisasi


Meluruskan Desentralisasi
Achmad Maulani, Peneliti Ekonomi Politik
pada Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Staf Ahli DPR
SUMBER : SUARA MERDEKA, 16 April 2012


ANCAMAN keras tampaknya akan dilakukan Kemendagri terhadap daerah-daerah yang terancam bangkrut. Akhir April ini kementerian itu akan mengumumkan daerah-daerah yang dianggap kolaps, untuk kemudian mengambil tindakan tegas, yakni melikuidasi daerah-daerah yang diangap kolaps untuk dimerger dengan daerah terdekat atau diambil alih pusat.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) merilis bahwa ada 291 kabupaten/ kota yang porsi belanja pegawai dalam APBD lebih dari 50%. Bahkan, yang lebih ironis, 11 dari daerah-daerah tersebut menghabiskan belanja pegawai lebih dari 70%. Akibatnya, beberapa daerah terancam kolaps karena tidak memiliki anggaran.
Sebelumnya, evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap daerah otonomi baru (DOB) juga menunjukkan bahwa sekitar 80% DOB berkinerja buruk dan tidak mampu menghimpun pendapatan asli daerah. Beberapa DOB bahkan dinilai gagal. Daerah-daerah itu hanya sibuk membentuk pemerintahan dan berbelanja peralatan tetapi pada saat bersamaan mereka mengabaikan peningkatan pelayanan masyarakat.

Sebanyak 31 di antara total 57 DOB dievaluasi/ disurvei. Dari jumlah tersebut, 14 DOB atau 45,16%dari total sampel berkinerja tidak baik, bahkan buruk. Daerah-daerah tersebut tidak sanggup menghimpun pendapatan asli daerah. Sebanyak 80% DOB itu bergantung pada pendanaan transfer dari pemerintah pusat.

Mencermati masalah itu sangat jelas bahwa sasaran final otda, berupa peningkatan layanan masyarakat justru tidak terpenuhi. Makna penting di balik itu, telah terjadi defisit dalam memaknai otda. Desentralisasi telah salah arah. Otonomi diartikan pemekaran semata. Pembentukan daerah baru lebih sering berdasar pertimbangan dan desakan politik semata-mata tanpa melihat kelayakan sisi ekonomi ataupun kewilayahan.

Kesimpulan sederhana yang bisa diambil, demokrasi ternyata harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus pula berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan. Demokrasi bukan sekadar pemberian kesempatan yang sama (equal opportunities). Dalam konteks otonomi, demokrasi bukan sekadar memekarkan daerah tanpa perencanaan matang.

Mengoreksi Arah

Selain nihilnya aspek kesejahteraan sebagai parameter dan output final otonomi, merebaknya kasus korupsi setelah otda diberlakukan, banyaknya perda yang tidak kondusif bagi iklim investasi dan pemda yang cenderung menggunakan segala cara untuk menggenjot PAD, dan rendahnya komitmen elite daerah mewujudkan kesejahteraan jelas menunjukkan melencengnya arah desentralisasi dan defisitnya makna otda.

Kebijakan otda yang diatur undang-undang memang merupakan langkah pembaruan besar dalam sejarah desentralisasi dan pemerintahan daerah. Tetapi, berdasar segi kebijakan maupun aspek implementasi, UU tersebut memiliki sejumlah kelemahan yang mengakibatkan seringnya irasionalisasi politik dalam pelaksanaannya.
Dalam 10 tahun pelaksanaan otda tampaknya banyak kelemahan dari sisi kebijakan ataupun implemetasi yang harus dikoreksi secara saksama. Antara lain, aspek kelembagaan dan akuntabilitas DPRD. Minimnya ruang partisipasi publik dalam mengontrol kebijakan dan sedikitnya kebijakan yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat juga harus dikoreksi.

Karena itu, penting ditegaskan output dari seluruh kebijakan otda harus bermuara pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Regulasi apa pun yang diproduksi, harus mampu melahirkan format terbaik pada masa depan. Kebijakan pemekaran ketika tidak memberikan manfaat nyata kepada masyarakat dan hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu harus dihentikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar