Sabtu, 14 April 2012

Salah Paham pada Vonis MK


Salah Paham pada Vonis MK
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi
SUMBER : SINDO, 14 April 2012


Sore itu, kira-kira dua tahun lalu, saya menonton salah satu televisi berita yang kebetulan memberitakan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru saja mengucapkan vonis atas satu perkara sengketa kewenangan antarlembaga negara.
Seorang pendukung pihak yang permohonannya “tidak dapat diterima” dalam perkara itu terlihat marah-marah saat diwawancarai wartawan. “Ternyata benar isu di daerah bahwa MK telah diintervensi pemerintah sehingga ‘menolak’ permohonan kami,” kata anggota tim pendukung yang permohonannya tidak dapat diterima itu. Pendukung yang tampak emosi itu salah dalam dua hal.

Pertama, anggapannya bahwa MK diintervensi pemerintah sehingga mengalahkan permohonannya. MK adalah MK yang selalu independen, tak bisa dipengaruhi siapa pun,termasuk oleh pemerintah. Sejak awal masuk ke MK, saya sudah menyatakan, MK akan dibangun dengan fondasi independensi, sebab takkan ada keadilan tanpa independensi peradilan.

Namun, harus diingat, independensi MK bukan hanya independen dan berani memutus berbeda dengan kepentingan pemerintah, tetapi juga independen dan berani berlawanan dengan pihak-pihak di luar pemerintah seperti tekanan DPR, partai politik (parpol),lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau tekanan opini pers. Bagi MK, semua tekanan atau insinuasi yang bermaksud memengaruhi takkan ada gunanya karena takkan pernah digubris.

Dalam pengalaman saya sampai sekarang, pihak yang mau menekan atau memengaruhi MK itu justru bukan pemerintah atau DPR dan parpol,melainkan pihak-pihak di luar itu semisal pihak yang beperkara atau LSM yang tak jelas atau opini pers. Mereka ini berusaha memengaruhi MK dengan mengirim surat pernyataan, SMS atau menelepon bahwa pihaknya benar dan harus dimenangkan.Ada juga yang datang sendiri atau mengirim kurir.

Adakalanya mereka juga mau menekan MK dengan membuat isu bahwa pemerintah telah menekan MK atau membuat insinuasi di pers bahwa MK sudah memihak karena tekanan atau karena pengaruh orang kuat. Bagi MK itu semua angin lalu yang tak pernah mampu memengaruhi independensi MK. Kedua, pendukung pihak yang kalah itu salah memahami vonis MK karena terang-terangan dia mengatakan MK “menolak”permohonannya. Padahal MK menyatakan bahwa permohonan itu “tidak dapat diterima.”

Bagi orang yang mengerti sedikit saja tentang hukum, dia pasti tahu bahwa “ditolak” itu berbeda dengan “tidak dapat diterima”. Jika sebuah perkara divonis “tidak dapat diterima”, berarti pokok perkaranya belum diperiksa karena permohonan itu tidak memenuhi syarat sehingga masih mungkin diperkarakan lagi meskipun tidak selalu bisa. Permohonan yang tidak dapat diterima, misalnya, permohonan yang materinya bukan menjadi wewenang (kompetensi) pengadilan tempat perkara itu diajukan.

Alasan lain dari permohonan yang tidak dapat diterima, misalnya, karena lewat waktu (kedaluwarsa) atau karena pemohonnya tidak punya kedudukan hukum (legal standing) untuk memerkarakan masalah tersebut. Kalau di dalam perkara sengketa kewenangan antarlembaga negara, yang memiliki legal standing dan bisa mengajukan perkara ke MK adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan sebagaimana disebut di dalam UUD 1945.

Jadi tidak sembarang orang atau lembaga bisa mengajukan perkara ke MK. Kalau orang atau lembaga yang mengajukan perkara itu tidak punya legal standing, perkaranya pasti “tidak dapat diterima” dan bukan “ditolak.”Kalau yang mengajukan perkara itu punya legal standing, perkaranya “bisa diterima” tapi pokok perkaranya bisa “ditolak” atau “dikabulkan”, tergantung pada pembuktiannya di persidangan.

Dalam pengalaman, banyak orang menyikapi putusan pengadilan tanpa paham nomenklatur atau istilah-istilah resmi yang harus dipergunakan di dalam hukum. Baru-baru ini ada kesalahpahaman yang agak serius saat MK mengabulkan permohonan uji materi atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam putusan itu disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan memiliki “hubungan keperdataan” bukan hanya dengan ibunya, tetapi juga dengan ayah biologisnya.

Situasi agak runyam karena kemudian ada pihak yang menyamakan begitu saja istilah hukum “hubungan keperdataan” dengan “hubungan nasab”. Padahal hubungan keperdataan itu tidak selalu berarti hubungan nasab. Hubungan keperdataan memang bisa melahirkan hubungan nasab, tetapi tidak semua hubungan keperdataan itu melahirkan hubungan nasab. Dalam hal perkawinan misalnya, anak yang lahir di luar perkawinan tetapi pernikahannya dilakukan secara sah menurut agamanya (seperti kawin siri), maka hubungan keperdataannya adalah hubungan nasab.

Tapi anak yang lahir di luar perkawinan karena perzinaan, perkosaan, atau bayi tabung yang bukan sperma suaminya tidak bisa memiliki hubungan nasab. Anak-anak seperti itu hanya bisa mempunyai hubungan keperdataan di luar hubungan nasab,seperti yang diatur di dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Masalah ini di dalam hukum sebenarnya sangatlah elementer sehingga kalau di fakultas hukum sudah diajarkan sejak tahun pertama mahasiswa ikut kuliah. Kegaduhan kerap kali terjadi karena ketidakpahaman dan ketidakpahaman kerap kali ditimbulkan oleh cara melihat konsep satu bidang dari bidang yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar