Sabtu, 14 April 2012

Haruskah Paranoid kepada TV Swasta?


Haruskah Paranoid kepada TV Swasta?
Morissan, Kandidat PhD pada School of Communication, Universiti Sains Malaysia
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 14 April 2012
Bandingkan dengan artikel Morissan yang dimuat di SINDO 11 April 2012


SEJAK diberlakukan 10 tahun yang lalu, Undang-Undang Penyiaran No 32 Tahun 2002 telah berperan penting meningkatkan jumlah lembaga penyiaran televisi dan radio di Tanah Air secara signifikan. Hal yang paling mencolok ialah munculnya banyak stasiun TV lokal di berbagai penjuru Tanah Air yang jumlahnya kini diperkirakan telah mencapai lebih dari 200 stasiun.

Namun selama perjalanannya sejak dilahirkan hingga kini, undang-undang (UU) itu telah menimbulkan banyak perdebatan dalam pelaksanaannya, mulai perdebatan mengenai keberadaan lembaga penyiaran, kewenangan pemerintah dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pelaksanaan sistem penyiaran berjaringan, isu kepemilikan, hingga perdebatan mengenai implementasi yang belum jelas dari UU itu.

Sebagian perdebatan itu telah bisa diselesaikan (atau setidak-tidaknya tampak terselesaikan) dan sebagian lain belum. Belakangan ini muncul ide untuk merevisi UU itu. DPR saat ini dikabarkan tengah menampung masukan dari berbagai pihak bagi kemungkinan rencana revisi UU penyiaran itu.

Salah satu isu mengemuka yang membayangi rencana revisi UU penyiaran ialah isu kepemilikan, terutama masalah konsentrasi kepemilikan lembaga penyiaran khususnya kepemilikan pada lembaga penyiaran televisi swasta. Fenomena yang terjadi belakangan ini, yaitu pembelian saham (akuisisi) suatu lembaga penyiaran oleh pemilik lembaga penyiaran lain, telah menarik perhatian sejumlah kalangan terutama para pengamat, akademisi, dan organisasi kemasyarakatan tertentu yang memberikan perhatian kepada perkembangan media massa.

Perhatian mereka tertuju pada fenomena perubahan kepemilikan dan kontrol terhadap stasiun TV nasional. Jika pada awalnya terdapat 10 lembaga penyiaran televisi swasta yang dikontrol 10 pemilik, sekarang ke-10 lembaga penyiaran itu ‘hanya’ dikontrol lima pemilik. Mereka menentang perkembangan ini karena khawatir akan mengancam demokratisasi media, mengancam prinsip keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), dan keragaman isi media (diversity of content). Terlebih menjelang pertarungan politik Pemilu 2014, sebagian pihak merasa khawatir pemilik media akan dapat dengan mudah mengendalikan opini publik untuk kepentingan pemilik atau partai politik tertentu yang dekat dengan pemilik media tertentu. Pertanyaannya sekarang ialah: apakah kekhawatiran itu beralasan? Apakah kekhawatiran itu didukung data-data akademik ataukah sakadar persepsi?

Dewasa ini banyak orang berpandangan keliru dengan menganggap media massa segala-galanya. Terdapat pan dangan bahwa politisi atau partai politik yang menguasai media massa, khususnya televisi, pasti akan memenangi pertarungan politik (pemilu). Itu merupakan pandangan yang sering kali keliru.

Kita masih ingat, dalam persaingan merebut posisi Ketua Umum Partai Demokrat, Andi Mallarangeng yang menguasai dan mendominasi iklan kampanye di berbagai stasi un televisi kala itu harus kalah dari Anas Urbaningrum yang jumlah iklannya jauh lebih kecil. Fakta juga menunjukkan banyak calon gubernur, bupati/wali kota peserta pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) yang mengeluarkan iklan lebih besar ternyata harus kalah dari pesaing lain yang dana iklannya lebih kecil.

Peraturan penyiaran di banyak negara di dunia mengakui keberadaan televisi swasta yang diberi sifat komersial. Tujuan utama lembaga penyiaran swasta ialah mendapatkan pemasang iklan. Kepentingan publik hanya dapat dipuaskan selama kepentingan itu sejalan dengan kepentingan pemasang iklan. Dengan alasan itulah banyak negara memiliki stasiun televisi dan radio publik untuk mengimbangi `pengaruh' televisi komersial. UU memberikan sifat independen, netral, dan tidak komersial kepada lembaga penyiaran publik. Kewajiban untuk menjadi `independen' dan `netral' merupakan kewajiban lembaga penyiaran publik, bukan lembaga penyiaran swasta. Itu berlaku di negara demokratis mana pun.

Politisi atau orang yang terkait dengan partai politik dilarang keras memegang ja batan di lembaga penyiaran publik. Namun, hal itu tidak berlaku di lembaga penyiar an swasta. Siapa pun boleh mendirikan dan memiliki lembaga penyiaran swasta termasuk politisi atau tokoh partai politik. Tentu saja politisi pemilik lembaga penyiaran, atau politisi yang dekat dengan pemilik lembaga penyiaran, cenderung memanfaatkan media mereka untuk mencapai tujuan politik. Namun perlu diketahui, hal itu normal-normal saja di negara demokratis. Jika ada pihak yang berpandangan kondisi itu merupakan hal yang tidak normal, justru itu yang aneh. Lembaga penyiaran yang berpihak ke suatu partai politik merupakan hal yang sah-sah saja karena hal itu juga berlaku di banyak negara demokratis lainnya, bahkan di negara-negara yang tingkat demokrasinya lebih maju daripada Indonesia.

Di Italia, politikus dan pengusaha media, Silvio Berlusconi, memanfaatkan jaringan media massa yang dimilikinya untuk mendukung kampanye pemilu sehingga ia terpilih sebagai PM. Itulah keuntungan politisi yang memiliki jaringan media massa. Analogi yang sama juga berlaku pada calon incumbent (masih menjabat) yang memiliki peluang lebih baik untuk dapat kembali memenangi pemilu, kecuali jika pesaingnya kandidat yang luar biasa.

Namun di lain pihak, memiliki media dan menjadi incumbent tidak otomatis menjadi jaminan meraih kemenangan dalam pemilu. Di Inggris, raja media Rupert Murdoch memanfaatkan jaringan media miliknya untuk mendukung pemerintah yang berkuasa. Namun, surat kabar The Sun, milik Rupert Murdoch, pernah pula secara terang-terangan menyatakan menarik dukungannya kepada Partai Buruh yang berkuasa dan mengalihkannya kepada David Cameron dari Partai Konservatif yang berkuasa saat ini.

Pandangan yang mengkhawatirkan terjadinya penggalangan opini publik sebagai akibat dari konsolidasi dan akui sisi kepemilikan media massa terasa berlebihan, jika tidak ingin dikatakan paranoid. Masyarakat dianggap tidak memiliki kemampuan berpikir dan menganalisis sendiri. Masyarakat dianggap tidak mampu memilah media mana yang objektif dan independen serta media mana yang memiliki agenda politik. Begitulah media di era demokrasi, maka jangan paranoid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar