Sabtu, 14 April 2012

Validitas Fakta Pengadilan Nazaruddin


Validitas Fakta Pengadilan Nazaruddin
Firman Wijaya, Praktisi Hukum
SUMBER : SINDO, 14 April 2012


Hampir satu tahun publik Indonesia benarbenar dihebohkan oleh kasus korupsi yang melibatkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Kasus ini menyedot energi publik yang dibingungkan dengan berbagai pernyataan dan analisis sehingga kebenaran fakta bercampur dengan rumor dan gosip.

Name makes news” adalah sebuah strategi jitu yang digunakan untuk memikat perhatian publik dan tidak jarang menimbulkan efek psikologis dan efek reaktif yang mampu “menekan” lembaga penegak hukum untuk mengusut kasus ini sampai kepada orang “yang katanya”disebut-sebut.Bahkan lembaga tinggi negara pun ikut rajin mendorong kasus ini agar dapat diungkap secara transparan dan terang-benderang.Kredibilitas dan akuntabilitas aparat hukum pun terus diwacanakan seolah-olah ada persoalan serius mengenai hal ini.

Yang menarik dan kemudian menjadi substansi kasus ini saat proses persidangan kasus ini diungkap dan dimonitor secara terbuka oleh media kepada publik,muncul dua kutub perspektif fakta yang membingungkan publik. Perspektif pertama adalah fakta persidangan versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan fakta persidangan versi Nazaruddin yang dibangun penasihat hukumnya melalui saluran media dan persidangan. Perdebatan dan silang argumentasi persidangan sejatinya telah menggiring publik dan hakim pada pilihan kedua kutub perspektif fakta tersebut.

Bahkan kondisi itu tidak jarang mengakibatkan sasaran tuduhan ekstrem dan minor dialamatkan kepada hakim tindak pidana korupsi yang menangani kasus tersebut. Name make news dengan mengaitkan sejumlah nama dan berpuncak pada nama Anas Urbaningrum sejauh mana layak dipercaya atau tidak dalam suatu pengungkapan kasus secara scientific crime investigating bagi hakim tentunya adalah sejauh hakim mendudukkan fakta tersebut dalam perspektif keyakinan hakim.

Selayaknya mesin penemu kebenaran (baca: uji validitas fakta),sederet kesaksian ditampilkan dan disajikan dalam persidangan. Maka fakta kesaksian tersebut bagi hakim akan masuk dalam kategori beyond reasonable doubt (meyakinkan seorang hakim) ataukah justru beyond shadow of doubt (justru menimbulkan keraguan dan ketidakyakinan hakim)? Pada posisi inilah name make news akan diuji, apakah pihak yang disebut-sebut itu patut dilibatkan dalam suatu kasus ini atau tidak.

Dalam perspektif hukum pidana, apakah dapat dibangun suatu asumsi seseorang yang kebetulan bersama-sama dengan orang lain dalam suatu komunitas organisasi dapat ditafsirkan pastilah merupakan pelaku kolektif tindak pidana? Jawabannya tentu akan diuji hakim dengan prinsip liability based on fault (pertanggungjawaban pidana karena kesalahan). Siapa berbuat dia harus bertanggungjawab dan tidak mungkin seseorang dipaksa dipidana jika dirinya tidak bersalah (geen straftzonder schulds).

Bahkan terakhir jika ada keraguan akan kesehatan kejiwaan seseorang,hukum pidana tidak boleh dijatuhkan (noncompes mentis). Bahkan kemampuan bertanggung jawab seseorang menjadi titik tekan untuk menilai ada tidaknya keinsyafan dan kesadaran akan perilakunya. Hal ini akan diukur dari bobot perbuatannya sejauh mana kerusakan dan kerugian yang ditimbulkannya serta seberapa sering perbuatan itu dilakukan.

Pembuktian Fakta

Dalam persidangan M Nazaruddin tersebut ada 13 karyawan dari Grup Permai yang dihadirkan dalam persidangan. Yang menarik, ke-13 saksi ini terbagi dua dalam dua kelompok kesaksian yang berbeda. Kelompok pertama adalah Mindo Rosalina Manulang (Direktur Anak Negeri),Yulianis (Wakil Direktur Keuangan Grup Permai), Oktarina Furi (staf keuangan dan pimpinan proyek).

Para saksi ini menerangkan pemilik Grup Permai adalah M Nazaruddin. Sementara kelompok kedua yang terdiri atas Nurhasyim (adik kandung M Nazaruddin), Gerhana Sianipar (Dirut PT Exartech), Baskoro (manajer gedung),Dayat,Aan, dan Heri (sopir) yang dihadirkan sebagai saksi meringankan terdakwa membantah bahwa pemilik Grup Permai adalah M Nazaruddin. Mereka juga berdalil tidak ada Grup Permai,yang ada adalah perusahaan konsorsium Anugrah Nusantara.

Masyarakat dan penegak hukum tentunya sangat membutuhkan pegangan mana sesungguhnya kesaksian yang layak dipercaya.Ruang pembuktian persidangan sejatinya adalah uji validitas kesaksian guna mengukuhkan kebenaran dan menghapus berbagai keraguan. Suatu kesaksian tidaklah boleh “katanya-katanya” (hearsay evidence), apalagi “katanya dari katanya” atau double hearsay/- double auditu.

Kesaksian adalah pengungkapankebenaran (realityevidence), bukan pseudo evidence, spekulasi, apalagi imajinasi. Karena itu tahap persidangan kasus M Nazaruddin saat ini dan menjelang putusan adalah babak yang sangat penting. Berbagai fakta dan spekulasi nonhukum (politis dan sosio-logis) semestinya memberi ruang bagi proses pengadilan untuk bekerja. Apakah benar name make news, termasuk aliran dana ke kongres partai,punya relevansi, akurasi, dan otentikasi dengan delik yang dituduhkan?

Apakah alibi-alibi dan faktafakta yang berkembang memiliki konsistensi satu sama lain? Semisal locus delicti (tempat kejadian) dan tempos(waktu kejadian) antarperistiwa,yaitu Kongres Partai Demokrat di Bandung dilaksanakan pada Juni 2010, sementara tender proyek dan dugaan pemberian sejumlah fee berkisar pada bulanDesember2010sampai2011. Berbagai ketentuan hukum acara sebenarnya sudah memberikan arah dan pedoman pembuktian.

Dalam berbagai persidangan sesungguhnya masyarakat sering diberi pemahaman bahwa suatu kesaksian menurut ketentuan 185 KUHAP tidak sekadar apa yang diucapkan dan dinyatakan, tetapi menjadi sangat penting untuk memercayai suatu kesaksian dengan melihat apa alasan serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat memengaruhi kesaksian seperti status sosial dan lingkup pekerjaan seorang saksi.

Demikian pula mengenai permintaan fee dan pemberian feeproyek dalam kasus ini,apakah merupakan illegal provit ataukah illegal provit yang hanya dapat dikenai sanksi moral ataukah sanksi pidana? Dalam mainstream legalitas hukum pidana, hakim akan bekerja dan menilai fakta sebagai apa yang tertulis dan menjadi adressat/sasaran serta jangkauan delik (Lex Certa, Lex Scripta danLex Stricta). Pada akhirnya rasionalitas hukum sang hakim akan memastikan apakah suatu fakta yang diajukan oleh siapa pun akan menjelaskan persoalan ataukah justru membuangbuang waktu dan menimbulkan praduga-praduga yang tidak perlu.

Terkait dengan tudingan dengan name make news seperti terhadap Anas Urbaningrum yang merupakan simbol organisasi kepartaian, yakni Ketua Umum Partai Demokrat, maka tentu penting teks dan konteks ketentuan Pasal 185 KUHAP tersebut menguji validitas pembuktian sejauh mana tingkat relevansi alat bukti yang dikaitkan dengan dugaan posisi Anas Urbaningrum. Sesuai dengan tuntutan jaksa, perkara korupsi M Nazaruddin sesungguhnya adalah tindak pidana korupsi biasa,yaitu adanya penyuapan dan atau penerimaan hadiah.

Kasus ini menyentak karena bersentuhan dengan lingkaran kekuasaan. Sepanjang persidangan, publik sudah tahu bagaimana Nazaruddin mengait-ngaitkan dirinya pada kekuasaan, yang ternyata menjadi modusnya dalam dugaan kasus korupsi yang dia lakukan sendiri. Sasaran tembak Nazaruddin berfokus pada Anas Urbaningrum yang sepanjang persidangan tak terbukti sama sekali dengan apa yang dituduhkan terdakwa. Hanya saksi meringankan yang berusaha mengaitkan nama Anas Urbaningrum.

Inilah yang makin meyakinkan publik dan kita harus mendorong majelis hakim agar memvonis terdakwa Nazaruddin sesuai dengan kadar pidananya. Jangan sampai Nazaruddin divonis berdasarkan cerita-cerita yang dia coba bangun sendiri tanpa landasan fakta itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar