Problem
Besar Indonesia
Sulardi, Doktor Ilmu Hukum,
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
SUMBER : REPUBLIKA, 19 April 2012
Melacak
teori-teori terjadinya negara, baik yang muncul pada masa sebelum masehi maupun
abad-abad setelahnya, ditemukan bahwa kelahiran negara terjadi karena adanya
kesepakatan di antara warga. Kesepakatan bisa terjadi secara evolutif seperti
pemikiran Aristoteles bahwa negara terjadi karena bergabungnya
keluarga-keluarga, kemudian menjadi desa, kemudian desa-desa bergabung yang
berakhir menjadi kota.
Kota
inilah yang dikenal sebagai bentuk negara kota pada awal-awal negara
dilahirkan. Demikian halnya dengan gagasan mutakhir mengenai terjadinya negara,
yakni melalui perjanjian masyarakat. Konstruksi perjanjian masyarakat inilah
yang berpengaruh terhadap model pemerintahan menjadi otoriter atau demokratis
di kemudian hari.
Setelah
negara terbentuk maka dibangunlah cara-cara untuk menentukan para pemimpin
negara. Salah satu cara yang banyak dianut oleh berbagai negara adalah
penyelenggaraan pemilihan umum. Cara inilah yang dianggap paling demokratis dibanding
dengan cara-cara yang lainya. Dengan penentuan pemimpin suatu negara melalui
pemilihan umum maka berarti pemimpin suatu negara mendapatkan kepercayaan dan
pengesahan dari warga negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan
cara-cara yang ditawarkan berdasar pada konstitusi.
Pada
tataran faktual, negara-negara baru yang bermunculan pada abad ke19 dan
seterusnya adalah negara-negara yang merdeka atau negara yang dimerdekakan.
Negara kita adalah termasuk negara yang merdeka dan menentukan pilihan melalui
dasar negara Pancasila sebagai negara demokrasi.
Demokrasi
dipercaya oleh bangsa ini untuk membentuk pemerintahan dan penyelenggaraan
pemerintahan. Penyelenggaraan pemilihan umum di negara ini telah diawali pada
1955 hingga 2009. Sejak penyelenggaraan pemlihan umum 1955 sampai dengan
pemilihan umum 2009, terlihat model pemilihan yang terus-menerus diperbaiki
sesuai keinginan zaman.
Bukti
sejarah ketatanegaraan kita telah mengajarkan pada kita semua bahwa berbagai
pemilhan umum tersebut telah memengaruhi corak penyelenggaraan pemerintahan
negara ini. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, bangsa ini telah terjebak pada
penyelenggaraan pemerintahan yang otoriter dan sentralistis, baik yang dibangun
pada Pemerintahan Orde Lama, masa presiden Soekarno berkuasa, maupun masa Orde
Baru di bawah pimpinan Pak Harto.
Pusaran Problem
Pemerintahan
yang dibangun setelah era reformasi pun belum juga mampu membangun negara
seperti yang diinginkan pada awal terbentuknya negara ini.
Kegagalan demi kegagalan ditunjukkan oleh rezim-rezim pemerintahan setelah rezim Orde Baru. Bahkan, akhir-akhir ini saat pemerintahan belum mampu mewujudkan cita-cita bangsa, belum mampu memenuhi hak-hak warganya, belum mampu memberikan jaminan hidup yang lebih baik pada warganya justru muncul masalah yang sangat serius, yakni pemalsuan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hasil pemilihan umum, khususnya di Dapil 1 Sulawesi Selatan.
Kegagalan demi kegagalan ditunjukkan oleh rezim-rezim pemerintahan setelah rezim Orde Baru. Bahkan, akhir-akhir ini saat pemerintahan belum mampu mewujudkan cita-cita bangsa, belum mampu memenuhi hak-hak warganya, belum mampu memberikan jaminan hidup yang lebih baik pada warganya justru muncul masalah yang sangat serius, yakni pemalsuan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hasil pemilihan umum, khususnya di Dapil 1 Sulawesi Selatan.
Terkuaknya
pemalsuan dokumen negara ini merupakan aib yang sangat serius terhadap
eksistensi negara. Sebab, sejak awal, para pendiri negara ini meyakini bahwa
demokrasi merupakan cara terbaik dalam pembentukan pemerintahan. Apa jadinya
apabila pemilihan umum yang merupakan salah satu wujud berdemokrasi dalam suatu
negara itu justru hasilnya dipalsukan. Pemalsuan surat keputuasan Mahkamah
Konstitusi ini menghasilkan anggota DPR yang palsu juga. Pada saat anggota DPR
yang palsu itu terlibat dalam pengambilan keputusan maka hasil pengambilan
keputusan itu pun kepalsuan juga.
Bangsa
ini, sudah tidak bisa lagi meneteskan air mata. Terlalu keruh air mata untuk
menangisi apa yang terjadi di negara ini. Dari awal kemerdekaan, sampai dengan
66 tahun usianya, pemerintahan yang dibangun di dalam ne gara ini belum juga
mampu mewujudkan cita-cita bangsa ini. Bahkan, semakin tua umurnya, justru
tidak meng arah pada hasil yang lebih baik, tetapi malah menunjukkan hasil yang
menjauh dari keinginan para pendiri bang sa dan negara ini.
Penyelenggara
negara, di bawah naungan dasar negara Pancasila yang berkeadilan justru
menampakkan ketidakadilan yang bengis bagi warganya. Segala hal bertumbuh
berbanding sebaliknya dari apa yang dikehendaki oleh Pancasila. Pancasila
menghendaki Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terjadi antarpemeluk agama saling
menghujat, bahkan saling menyalahkan antarumat agama yang satu terhadap umat
yang lainnya.
Muatan
Pancasila yang begitu indah sangat sulit ditemukan aplikasinya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara di negara ini. Pancasila menghendaki persatuan, yang
ditemui justru ta wuran antarpemuda, antarwarga, antarpelajar, bahkan
antaraparat negara.
Pancasila
menghendaki permusyawaratan, tetapi yang terjadi justru anarki, egoistis, dan
mau menangnya sendiri. Pancasila menghendaki kemanusiaan, tetapi yang terjadi
tiap hari bangsa ini disuguhi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan
penindasan manusia terhadap manusia lain. Pancasila menghendaki keadilan, namun
bangsa ini seperti tidak mengenali lagi apa itu keadilan.
Problem bangsa dan negara ini amat besar dan
berat, tetapi hanya segelintir tokoh yang menyadari bahwa negara ini di ambang
kehancuran dan kemusnahan. Semua itu terjadi bukan karena bangsa lain yang
menghendaki, justru penyelenggara negara inilah yang meng arahkan kemudi pada
kehancuran dan pembubaran. Sungguh merupakan problem besar suatu negara ketika
penyelenggara negara tidak menyadari bahwa kehancuran sudah berada di depan mata.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar