Jumat, 20 April 2012

Problem Besar Indonesia


Problem Besar Indonesia
Sulardi, Doktor Ilmu Hukum,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang
SUMBER : REPUBLIKA, 19 April 2012


Melacak teori-teori terjadinya negara, baik yang muncul pada masa sebelum masehi maupun abad-abad setelahnya, ditemukan bahwa kelahiran negara terjadi karena adanya kesepakatan di antara warga. Kesepakatan bisa terjadi secara evolutif seperti pemikiran Aristoteles bahwa negara terjadi karena bergabungnya keluarga-keluarga, kemudian menjadi desa, kemudian desa-desa bergabung yang berakhir menjadi kota.

Kota inilah yang dikenal sebagai bentuk negara kota pada awal-awal negara dilahirkan. Demikian halnya dengan gagasan mutakhir mengenai terjadinya negara, yakni melalui perjanjian masyarakat. Konstruksi perjanjian masyarakat inilah yang berpengaruh terhadap model pemerintahan menjadi otoriter atau demokratis di kemudian hari.

Setelah negara terbentuk maka dibangunlah cara-cara untuk menentukan para pemimpin negara. Salah satu cara yang banyak dianut oleh berbagai negara adalah penyelenggaraan pemilihan umum. Cara inilah yang dianggap paling demokratis dibanding dengan cara-cara yang lainya. Dengan penentuan pemimpin suatu negara melalui pemilihan umum maka berarti pemimpin suatu negara mendapatkan kepercayaan dan pengesahan dari warga negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan cara-cara yang ditawarkan berdasar pada konstitusi.

Pada tataran faktual, negara-negara baru yang bermunculan pada abad ke19 dan seterusnya adalah negara-negara yang merdeka atau negara yang dimerdekakan. Negara kita adalah termasuk negara yang merdeka dan menentukan pilihan melalui dasar negara Pancasila sebagai negara demokrasi.

Demokrasi dipercaya oleh bangsa ini untuk membentuk pemerintahan dan penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemilihan umum di negara ini telah diawali pada 1955 hingga 2009. Sejak penyelenggaraan pemlihan umum 1955 sampai dengan pemilihan umum 2009, terlihat model pemilihan yang terus-menerus diperbaiki sesuai keinginan zaman.

Bukti sejarah ketatanegaraan kita telah mengajarkan pada kita semua bahwa berbagai pemilhan umum tersebut telah memengaruhi corak penyelenggaraan pemerintahan negara ini. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, bangsa ini telah terjebak pada penyelenggaraan pemerintahan yang otoriter dan sentralistis, baik yang dibangun pada Pemerintahan Orde Lama, masa presiden Soekarno berkuasa, maupun masa Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto.

Pusaran Problem

Pemerintahan yang dibangun setelah era reformasi pun belum juga mampu membangun negara seperti yang diinginkan pada awal terbentuknya negara ini.
Kegagalan demi kegagalan ditunjukkan oleh rezim-rezim pemerintahan setelah rezim Orde Baru. Bahkan, akhir-akhir ini saat pemerintahan belum mampu mewujudkan cita-cita bangsa, belum mampu memenuhi hak-hak warganya, belum mampu memberikan jaminan hidup yang lebih baik pada warganya justru muncul masalah yang sangat serius, yakni pemalsuan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait hasil pemilihan umum, khususnya di Dapil 1 Sulawesi Selatan.

Terkuaknya pemalsuan dokumen negara ini merupakan aib yang sangat serius terhadap eksistensi negara. Sebab, sejak awal, para pendiri negara ini meyakini bahwa demokrasi merupakan cara terbaik dalam pembentukan pemerintahan. Apa jadinya apabila pemilihan umum yang merupakan salah satu wujud berdemokrasi dalam suatu negara itu justru hasilnya dipalsukan. Pemalsuan surat keputuasan Mahkamah Konstitusi ini menghasilkan anggota DPR yang palsu juga. Pada saat anggota DPR yang palsu itu terlibat dalam pengambilan keputusan maka hasil pengambilan keputusan itu pun kepalsuan juga.

Bangsa ini, sudah tidak bisa lagi meneteskan air mata. Terlalu keruh air mata untuk menangisi apa yang terjadi di negara ini. Dari awal kemerdekaan, sampai dengan 66 tahun usianya, pemerintahan yang dibangun di dalam ne gara ini belum juga mampu mewujudkan cita-cita bangsa ini. Bahkan, semakin tua umurnya, justru tidak meng arah pada hasil yang lebih baik, tetapi malah menunjukkan hasil yang menjauh dari keinginan para pendiri bang sa dan negara ini.

Penyelenggara negara, di bawah naungan dasar negara Pancasila yang berkeadilan justru menampakkan ketidakadilan yang bengis bagi warganya. Segala hal bertumbuh berbanding sebaliknya dari apa yang dikehendaki oleh Pancasila. Pancasila menghendaki Ketuhanan Yang Maha Esa, yang terjadi antarpemeluk agama saling menghujat, bahkan saling menyalahkan antarumat agama yang satu terhadap umat yang lainnya.

Muatan Pancasila yang begitu indah sangat sulit ditemukan aplikasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negara ini. Pancasila menghendaki persatuan, yang ditemui justru ta wuran antarpemuda, antarwarga, antarpelajar, bahkan antaraparat negara.

Pancasila menghendaki permusyawaratan, tetapi yang terjadi justru anarki, egoistis, dan mau menangnya sendiri. Pancasila menghendaki kemanusiaan, tetapi yang terjadi tiap hari bangsa ini disuguhi pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, dan penindasan manusia terhadap manusia lain. Pancasila menghendaki keadilan, namun bangsa ini seperti tidak mengenali lagi apa itu keadilan.

Problem bangsa dan negara ini amat besar dan berat, tetapi hanya segelintir tokoh yang menyadari bahwa negara ini di ambang kehancuran dan kemusnahan. Semua itu terjadi bukan karena bangsa lain yang menghendaki, justru penyelenggara negara inilah yang meng arahkan kemudi pada kehancuran dan pembubaran. Sungguh merupakan problem besar suatu negara ketika penyelenggara negara tidak menyadari bahwa kehancuran sudah berada di depan mata. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar