Menyalakan
Api Pendidikan
Rahman Andi Mangussara, Direktur Eksekutif STIFIn Institute
SUMBER : REPUBLIKA, 19 April 2012
Sistem
pendidikan kini terlihat malah mematikan daya pikir dan kreativitas anak-anak.
Namun, poisisi lemah dan tak adanya pi lihan, membuat masyarakat—terutama yang
lemah—menerima apa adanya. Pendidikan yang tadinya merupakan satu-satunya
mekanisme bagi masyarakat kebanyakan untuk menaiki tangga hierarki sosial
menjadi tidak berguna.
Sistem
pendidikan pada umumnya dan pendidikan dasar-menengah khususnya, bukannya
mengembangkan anakanak, tapi sebaliknya memaksa otak anak-anak mengikuti
kurikulum, itu pun hanya untuk mereka yang memiliki kecerdasan analitis dan
hapalan. Sebaliknya, anak-anak dengan kecerdasan imajinasi, kreativitas dan kemampuan
interpersonal yang bertumpu pada otak kanan tidak mendapat tempat sama sekali.
Pendidikan
menjadi sesuatu yang kering dan sekadar menciptakan anak-anak sebagai tukang.
Padahal, menurut budayawan Irlandia pemenang Nobel Sastra William Butler Yeats,
pendidikan bukan soal mengisi ember, melainkan menyalakan api.
Air
yang begitu deras dituangkan merata ke ember anak-anak yang belum tentu sama
kecerdasannya. Harap diingat bahwa setiap anak memiliki satu kecerdasan dominan
dari lima kecerdasan yang dibawa lahir, yakni kecerdasan menghapal, analitis,
imajinatifkreatif, interpersonal, dan serbabisa (instinct).
Setiap
kecerdasan itu memiliki keunggulan berbeda yang sudah barang tentu mensyaratkan
pendekatan yang berbeda pula dalam pengembangannya.
Anak
dengan tipe kecerdasan menghapal dan analitis yang selama ini mendapat tempat
dalam kurikulum kita, tentu ber beda pendekatannya dengan anak dengan mesin
kecerdasan imajinatif – kreatif serta yang andal mengelola orang. Dapat
dibayangkan betapa tersiksanya anak-anak kita setiap hari yang jika dibiarkan
bisa membuat stres.
Implikasi
nyata dari sistem pendidikan yang mematikan kreativitas itu adalah penempatan
murid-murid yang jago ilmu eksakta di atas murid-murid yang andal di
bidang-bidang lain, seperti kreatif, musik, dan seni budaya. Yang kita sebut
dan bangga-banggakan sebagai murid teladan adalah mereka yang juara di
olimpiade matematika, fisika, atau sejenisnya. Keberhasilan pendidikan seorang
anak hanya dilihat dari selembar hasil ujian nasional semata.
Belum
lagi masalah pembagian sekolah berdasarkan hierarkinya menjadi taraf
internasional (dan variannya, RSBI dan kelas internasional) versus reguler.
Berdasarkan penelitian baru-baru ini, sekolah dengaan label internasional itu tidak membuat anak lebih pintar, gurugurunya setali tiga uang. Yang sudah pasti hasilnya adalah terjadinya semacam diskriminasi. Anak-anak yang sekolah di internasional mendapat fasilitas lebih seperti ruang kelas berpendingin.
Berdasarkan penelitian baru-baru ini, sekolah dengaan label internasional itu tidak membuat anak lebih pintar, gurugurunya setali tiga uang. Yang sudah pasti hasilnya adalah terjadinya semacam diskriminasi. Anak-anak yang sekolah di internasional mendapat fasilitas lebih seperti ruang kelas berpendingin.
Selain
menyangkut sistem, masalah lain dalam pendidikan kita adalah kualitas dan gaji
guru. Kompetensi guru-guru kita kebanyakan masih rendah dan bisa dibilang di
bawah standar. Ironisnya, masalah ini bukannya tak diketahui oleh Kementerian
Pendidikan. Gaji guru juga tak kalah peliknya.
India dan Cina
Sistem
yang tak sempurna, jika tak mau mengatakan jelek, ditambah kualitas guru yang
tidak memadai, menyempurnakan permasalahan dunia pendidikan kita. Api tak akan
menyala dalam kondisi seperti ini. Kita hanya akan sibuk mengisi ember.
Sementara negara lain yang sudah menyalakan api berada jauh di depan kita.
Coba
kita lihat India dan Cina. India dan khususnya Cina adalah dua negara tetangga
yang sudah lama menyalakan api pendidikannya. Kedua negara ini, dalam satu
dekade ke depan, diperkirakan akan menjadi sumber utama tenaga-tenaga terampil
dan ahli di berbagai bidang. Tidak ada keraguan bahwa India saat ini memiliki
tenaga andal di berbagai bidang teknologi, termasuk teknologi informasi.
Di
Cina, cerita sukses pendidikannya malah lebih hebat lagi. Reformasi ekonomi
yang diluncurkan Deng Xiaoping kurang lebih 30 tahun silam dibarengi perbaikan
sistem pendidikan yang di min ta mempersiapkan tenaga-tenaga cakap. Mungkin
kita akan bertanyata nya jika di bidang teknologi tenagatenaga Cina memang
terlatih dan ahli, bagaimana dengan bidang seni-budayanya?
Cina
adalah pasar seni lukis terbesar dunia yang sudah mengalahkan negara maju,
seperti London. Pelukis-pelukis Cina dengan lukisannya yang khas dan mahal-mahal
itu kini mulai menarik perhatian dunia. Pertunjukan musikmus ik klasik dan
opera yang senimannya adalah keluaran sekolah musik di Cina, tidak diragukan
lagi.
Institusi
pendidikan Cina, menurut Dekan Lee Kuan Yew School of Public Policy, National
University of Singapoore Kishore Mahbubani, sudah dilirik oleh orang-orang
asing dan lembaga sejenis di negara lain. Bahkan, mahasiswa Indo nesia yang
belajar di Cina kini lebih banyak daripada yang ke Amerika.
Sementara itu, universitas ternama di Amerika
mulai menjalin kerja sama dengan universitas di Cina. Bahasa Cina dalam
beberapa dekade mendatang, di perkirakan, akan menjadi lingua franca atau bahasa percakapan dunia menggan tikan bahasa
Inggris, setidak-tidaknya menjadi bahasa kedua dalam pergaulan dunia. Tidak ada
peradaban besar dunia yang tak memiliki pendidikan andal, karena hanya itulah
cara untuk menguasai dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar