Perempuan
dan Pembangunan
Dewi Aryani, Anggota Komisi VII DPR Fraksi PDI
Perjuangan,
Ketua PP Ikatan Sarjana
NU, dan Duta UI untuk Reformasi Birokrasi Indonesia
SUMBER
: REPUBLIKA, 23 April 2012
Bandingkan dengan tulisan Dewi Aryani di SINDO 21 April 2012 (Perempuan & Pembangunan)
Lebih
dari 60 tahun yang lalu Bung Karno telah memberikan angin sejuk dan harapan
besar bagi bangsa Indonesia melalui lima butir dasar negara, yaitu Pancasila,
yang dikatakannya sebagai pijakan karakter keindonesiaan kita. Masing-masing
butir syarat dengan makna dan sangatlah dangkal ketika kita memahaminya hanya
sebatas frasa semata.
Melalui
kelima sila tersebut, Bung Karno menginginkan agar bangsa Indonesia selalu
melandaskan pembangunan nasional dan pembangunan karakter bangsanya. Salah satu
butir yang harus melekat dan tidak boleh disegregasikan (dipisahkan) dalam
pembangunan nasional (nation building)
dan pembangunan karakter bangsa (capacity
building) adalah sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.”
Semangat
sila ini mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kesetaraan atas kondisi keberagaman
yang dimiliki bangsa. Dalam kaitannya dengan nation building dan capacity
building, sila kelima tersebut setidaknya menekankan pada dua hal. Pertama
bahwa pembangunan harus dilandaskan pada ke adilan dan kemerataan distribusi
kue pembangunan. Kedua, masing-masing elemen masyarakat berhak atas akses yang
setara untuk memberikan sumbangsihnya bagi pembangunan.
Mahatma
Gandhi, seperti yang dikutip dalam buku Sarinah, pernah berkata, “Banyak sekali
pergerakan kita kandas di tengah jalan karena ketiadaan perempuan di dalamnya.”
Melalui pernyataannya itu, Gandhi ingin mengingatkan rakyat India bahwa
keterlibatan perempuan dalam pembangunan bangsa adalah hal mutlak dan tidak
tergantikan.
Saat
inipun perbincangan tentang peran dan posisi perempuan dalam pembangunan
berkeadilan (equitable development)
sedang marak dan terus dikampanyekan oleh banyak negara di Timur dan Barat.
Negara-negara tersebut menyadari bahwa perempuan menjadi determinan dan unsur
yang paling signifikan dalam menciptakan pembangunan berkeadilan.
Permasalahan
yang lahir kemudian adalah bahwa urgensi peran perempuan dalam pembangunan
masih diakui, bahkan oleh kebanyakan perempuan itu sendiri. Banyak perempuan
yang lebih memilih untuk mengambil bagian domestik sebagai keahliannya. Bahkan,
terkadang mereka sendiri yang mengerdilkan kemampuan dan peran mereka dalam
pembangunan.
Padahal,
Bank Dunia dalam laporannya yang berjudul “Engendering
Development—Through Gender Equality in Rights, Resources, and Voice” (2001)
te lah memaparkan bahwa kesetaraan peran laki-laki dan perempuan telah ber kontribusi
dalam pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan.
Bank
Dunia juga menjelaskan bahwa kepastian pendidikan dan kesehatan bagi perempuan
akan cenderung meningkatkan pendapatan keluarga. Menurut Bank Dunia, perempuan
yang sehat dan berpendidikan akan lebih mampu menciptakan kegiatan-kegiatan
produktif, menemukan pekerjaan pada sektor formal, dan mendapatkan penghasilan
yang lebih besar daripada perempuan lain yang memiliki pendidikan dan kualitas
kesehatan yang rendah.
Di
sisi lain, perempuan yang memiliki kualitas kehidupan yang baik juga berperan
penting dalam menciptakan generasi bangsa yang lebih baik pada masa mendatang
melalui peran mereka sebagai ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anak
mereka.
Karena
itu, untuk memperkuat dan meningkatkan posisi dan peran perempuan dalam
pembangunan berkeadilan, setidaknya ada tiga pekerjaan rumah yang sampai saat
ini harus diselesai kan, baik oleh pemerintah, masyarakat umum, maupun
perempuan itu sendiri.
Pertama,
pekerjaan rumah untuk pemerintah adalah untuk menciptakan instrumen kebijakan
yang pro terhadap keterlibatan wanita dalam pembangunan. Akses bagi wanita
untuk sekaligus menjadi objek dan aktor pembangunan harus setara dengan
laki-laki. Sebagai objek pembangunan, wanita harus mendapatkan kesejahteraan
dan penghidupan yang layak melalui jaminan pendidikan dan kesehatan.
Kedua,
bagi masyarakat umum, pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah
menghilangkan anggapan perempuan sebagai makhluk kelas dua yang sebaiknya
“dirumahkan”. Perempuan dinilai hanya bertugas melayani suami dan mendidik
anak.
Peran
melayani suami dan mendidik anak memang benar menjadi tugas perempuan, namun
manakala peran perempuan dalam ranah publik dibatasi dan dianggap tabu, itulah
yang salah. Akibat anggapan ini, terkadang keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan
pembangunan dianggap tidak di perlukan dan tidak diperhatikan. Karena itu,
anggapan ini harus sedikit demi sedikit dihilangkan sehingga tercipta iklim sosial
yang mendukung ke terlibatan perempuan dalam kegiatankegiatan pembangunan.
Dukungan
pemerintah dan masyarakat umum saja tidak cukup untuk meningkatkan peran
perempuan dalam pembangunan berkeadilan. Ia harus melibatkan yang ketiga, yakni
perempuan itu sendiri. Inilah pekerjaan rumah bagi perempuan untuk menciptakan
dan melahirkan kemampuan dan kemauan para perempuan untuk meng ubah dan
memperbaiki nasibnya dalam upaya menghilangkan stigma negatif tentang
perempuan.
Para
perempuan harus banyak belajar dari RA Kartini sebagai pemikir dan pelopor
emansipasi wanita. Sebenarnya masih banyak sosok perempuan lain yang dapat kita
jadikan teladan karena prestasi dan sumbangsihnya bagi bangsa ini. Namun, satu
hal yang harus ditekankan adalah bahwa anggapan terhadap perempuan sebagai kaum
marginal tidak akan berubah manakala perempuan itu sendiri tidak mampu
menunjukkan kemampuannya untuk berkarier dan berprestasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar