Senin, 23 April 2012

Saatnya Kepolisian Menata Diri


Saatnya Kepolisian Menata Diri
Benny Susetyo, Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut
SUMBER : SINAR HARAPAN, 23 April 2012



Polri harus menata kembali keadaban kepolisian dalam melayani kepentingan publik.Citra polisi akhir-akhir ini agak merosot karena perilaku yang tidak pantas dalam menegakkan keadilan. Polri tidak lagi melayani masyarakat, tetapi orientasi pada kapital, sehingga hal itu membuat institusi kepolisian mendapatkan citra negatif. Publik berharap dengan pemisahan polisi dengan militer, wajah kepolisian dalam menegakkan aturan lebih berdimensi manusiawi. Realitas ini membuat wajah institusi menjadi tercoreng. Hal ini nyata dalam kasus geng motor di mana polisi tidak mampu memberikan perlindungan dan rasa aman. Ada kesan polisi tidak berdaya ketika menghadapi brutalisme geng motor.

Agenda mendesak dibandingkan keberhasilannya, polisi masih menyisakan begitu banyak agenda. Cara-cara menyelesaikan masalah hukum yang masih menonjolkan kekerasan juga menjadi sorotan tajam masyarakat dewasa ini. Keterlibatan oknum-oknum dalam pelanggaran hukum, seperti kriminalitas dan korupsi menjadi catatan penting selama ini. Hal tersebut membuktikan bahwa polisi masih belum menunjukkan kinerjanya yang maksimal. Keberhasilan menumpas terorisme di satu sisi ternyata justru diikuti perilaku terorisme di sisi lain yang semakin sadis dan beringas. Atas hal ini, tentu ada pendekatan yang perlu dikaji ulang agar terorisme bisa ditumpas bukan dalam permukaannya saja, namun sampai pada akar-akarnya.

Kekerasan tidak selalu berhasil menyelesaikan masalah. Berbagai kasus yang mengemuka juga makin menegaskan keterpurukan citra polisi semakin jauh. Masyarakat masih sering menganggap polisi sebagai aparat yang bengis daripada aparat yang bersahabat. Ini belum sesuai dengan slogan polisi yang menyatakan bahwa mereka adalah mitra masyarakat. Agenda berat bagi institusi kepolisian adalah bagaimana mengembalikan citra dan kewibawaan polisi yang semakin jatuh.

Ketidakpercayaan masyarakat kian tumbuh subur akibat kinerja yang buruk. Polisi belum bisa menampilkan dirinya sebagai aparat pengayom yang bisa menenteramkan masyarakat. Masalah lainnya adalah agenda penegakan hukum yang makin keruh akibat dihinggapi budaya kolusi, korupsi dan nepotisme. Menghadapi gejala yang sudah membudaya seperti ini tentu bukan hal ringan bagi polisi.

Perlu Reformasi cara pandang yang mendasar agar kewibawaan dan citra polisi kembali pulih. Apa yang kita hadapi bersama-sama sebagai bangsa saat ini adalah melorotnya martabat hukum dalam berbagai level. Martabat hukum semakin lama digerogoti oleh tingkah laku yang membunuh etika. Antikorupsi dan suap terus-menerus diteriakkan, tapi terus dicari cara baru yang lebih rapi dan secara sembunyi-sembunyi untuk mengelabuhi publik. Dalam sangkaan yang negatif, masih begitu banyak taktik korupsi yang belum terpublikasi. Dalam konteks seperti ini polisi memiliki tugas berat yang sangat menantang. Namun, hal tersebut tidak akan terealisasi apabila hal yang sama juga menghinggapi tubuh kepolisian. Masihkah ada kesempatan menyelamatkan republik ini dari kehancuran karena hukum yang terlalu sering diperjualbelikan?

Keadaban Hukum
Dengan cara apa agar masyarakat masih mempercayai wajah buruk hukum dan keadilan negeri ini? Itulah beragam pertanyaan publik yang lahir mengikuti perkembangan kebangsaan dewasa ini. Reformasi yang dicita-citakan belum berhasil membentuk jati diri menjadi bangsa yang berkarakter. Wajah hukum bopeng di sana-sini karena di dalam ruangannya dipenuhi dengan cara-cara dagang sapi.

Hukum sudah tidak lagi memiliki nilai keadaban. Hancurnya keadaban hukum merupakan cermin gagalnya pemerintahan saat ini dalam menciptakan sistem pemerintahan yang benar-benar bebas dari korupsi. Pemberantasan korupsi sering hanya permainan kata-kata. Punahnya keadilan sudah begitu lama, keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan oleh kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah, juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, melainkan untuk sebagian (yang bisa membelinya). Keadilan yang milik penguasa dan si empunya uang. Kita bisa menyaksikannya melalui berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot dan uang) yang menceraikannya.

Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat memperoleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini: adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua.

Hukum tak lagi bermartabat karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan. Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan “Orang Kuat” hukum tak lagi memiliki taring. Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah mengangkat yang ke atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini.

Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai “negara hukum“ sering kali hanya sebagai pemanis mulut. Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang “kedaulatan hukum” adalah deretan kepalsuan demi kepalsuan.

Keadilan tidak manifest dalam kenyataan. Dasar seni manifest di bumi kita ini adalah kekuatan, otot, kekuasaan, uang. Mampukah kepolisian mendobrak semua tata kebangsaan yang makin buruk ini?

Saatnya para pemimpin di Polri berbenah diri untuk menata kembali keadaban kepolisian dalam melayani kepentingan publik, bukan alat kekuasaan dan modal. Hal ini amat mendesak menyelamatkan citra polisi yang hampir kehilangan kewibawaan di mata publik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar