Senin, 23 April 2012

Mencermati RUU KKG


Mencermati RUU KKG
A Ilyas Ismail, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI UIA Jakarta
SUMBER : REPUBLIKA, 23 April 2012



Beberapa pekan terakhir, banyak pihak mendiskusikan RUU KKG yang merupakan usul inisiatif DPR, khususnya Komisi VIII DPR. RUU KKG ini penting untuk dibahas agar tidak menimbulkan polemik dan kontroversi yang tidak perlu dalam masyarakat. Dengan dijiwai semangat “Hari Kartini“ pada April ini, pembahasan RUU KKG semakin memperoleh momentumnya yang amat tepat.

Pada era baru saat ini, discourse mengenai kesetaraan dan keadilan gender amat penting. Ada dua alasannya. Pertama, masalah kesetaraaan dan keadilan gender kini menjadi isu global. Kedua, karena paham patriarchy atau masculine culture yang ribuan tahun berpengaruh di dunia, menurut Fritjof Capra (The Turning Point, Science, Society, and Culture), kini mulai ditinggalkan orang. Kata penulis kondang John Naisbitt, paham kesetaraan dan keadilan gender bergerak ke arah “kepemimpinan wanita“, yang tanda-tandanya sudah terlihat sejak pengujung abad lalu dan kini makin fenomenal.

Dilihat dari sisi ini, RUU KKG datang tepat pada waktunya atau malah mungkin agak terlambat. Tapi, terlambat masih lebih baik ketimbang tidak sama sekali. RUU KKG yang terdiri atas 10 bab dan 79 pasal memuat, antara lain, asas dan tujuan, hak-hak perempuan, kewajiban negara, pengarusutamaan gender (PUG), dan partisipasi masyarakat, serta satu bab tentang ketentuan peralihan.

Pasal Karet (Krusial)

Secara umum, RUU KKG memuat hal-hal yang secara umum sudah diterima dan berkembang dalam masyarakat kita. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikritisi secara serius, khususnya menyangkut soal perkawinan dan hak memilih pasangan (Pasal 12). Pada hemat penulis, Pasal 12 adalah pasal yang paling krusial dalam RUU KKG ini. Masalahnya menyangkut tiga hal sebagai berikut ini.

Pertama, pasal ini bisa dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda (multitafsir). Padahal, norma hukum harus tegas dan jelas serta tidak boleh bersifat multitafsir (multy-interpretable).

Kedua, pasal ini memberi peluang terhadap kemungkinan pernikahan beda agama. Padahal, pernikahan beda agama telah dilarang oleh fatwa MUI, juga dilarang dan dipandang tidak sah oleh UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lebih jauh lagi, semangat Pasal 12 ini memberi peluang terhadap kemungkinan pernikahan sejenis. Ini sangat dilarang agama (Islam) dan bertentangan dengan budaya bangsa.

Ketiga, Pasal 12 selain interpretable juga potensial bertabrakan dengan ketentuan dan UU lain yang sudah ada. Sebuah UU, seperti diketahui, tak boleh bertentangan dengan UU lain yang berlaku dan terlebih lagi tak boleh bertentangan dengan konstitusi, serta nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia.

Selain Pasal 12, ada hal lain yang perlu dipertegas dalam RUU ini, yaitu soal penghapusan diskriminasi dalam pendidikan (Pasal 14, poin c). Dalam pasal ini tidak disebutkan secara tegas (eksplisit) penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Padahal, seperti diketahui, diskriminasi yang selama ini terjadi tak hanya dalam hukum dan politik semata, tetapi juga dalam bidang pendidikan.

Saran dan Masukan

Sesuai judulnya, RUU KKG mengedepankan ide kesetaraan dan keadilan gender. Namun, secara implisit, RUU KKG lebih mementingkan kesetaraannya ketimbang keadilannya. Hal ini, menurut hemat penulis, yang membuat RUU KKG sulit diterima.

Selain soal nama, soal asas (Pasal 2), hemat penulis, juga kurang tepat. Dalam pasal ini, tidak dikemukakan asas yang sangat penting, yaitu asas kebaikan bersama (mashlahah `ammah), asas persaudaraan (ukhuwah), serta asas kerja sama dan saling membantu (al-ta`awun). Sesungguhnya, kita sulit berbicara kesetaraan dan keadilan gender bila kita mengabaikan asas-asas di atas.

Ketiga asas ini lebih penting dari pada asas manfaat (poin d) karena secara filosofis, asas manfaat diturunkan dari paham pragmatisme yang melihat sesuatu dari kepentingan sesaat atau suatu pola pikir yang bergerak dalam durasi yang pendek. Sedangkan, ketiga asas yang penulis sebutkan tadi diturunkan dari filsafat hukum (Islam) yang menekankan kebaikan lebih luas, yaitu kebaikan universal (kulliyat) dan bukan kebaikan partikular (juz'iyyat).

Hal lain yang perlu digarisbawahi ialah soal pengarusutamaan gender (PUG). Disebutkan, “PUG dilaksanakan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah.“ (Pasal 16) terdiri atas menteri, kepala lembaga, dan seterusnya (Pasal 17 dari poin a hingga h). Dalam RUU ini, tidak diatur dan sama sekali tidak disebut-sebut keberadaan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Menurut penulis, ini agak aneh dan ganjil (absurd). Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, sesuai nomenklatur dan domainnya serta supaya tidak ada contradictio in terminis, perlu diberi kedudukan dan porsi khusus dalam RUU KKG ini.

Hal lain yang juga perlu ditekankan dalam RUU KKG adalah soal peran serta masyarakat. Disebutkan, “Setiap orang dapat berperan serta dalam upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.“ (Pasal 66 ayat 1). Pada hemat penulis, pasal ini tidak kuat, bahkan sangat lemah, untuk dapat mendorong adanya dukungan dan peran serta dari masyarakat dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.

Padahal, kita mengetahui bahwa dukungan dan partisipasi masyarakat dalam soal ini sangat penting. Penulis percaya bahwa tanpa dukungan dari berbagai elemen masyarakat secara luas, upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender ini tidak akan berjalan dengan sukses.

Terakhir, penulis mengusulkan agar RUU KKG ini tidak perlu disahkan secara tergesa-gesa, tetapi perlu dibahas secara lebih dalam dan mendapat masukan secara lebih luas dari berbagai elemen masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar