Menghakimi
Si Kaya
Effnu Subiyanto, Mahasiswa
Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : KOMPAS, 20 April 2012
Ada pandangan yang harus diluruskan di negeri
kita akhir- akhir ini. Kelompok orang yang kebetulan kaya jadi bulan-bulanan
sebagai kambing hitam meningkatnya subsidi BBM. Bahkan, saking antipatinya terhadap kaum kaya
ini, beberapa waktu lalu Majelis Ulama Indonesia memfatwakan haram atau dosa
bagi mereka membeli bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Sebelumnya, Bank Dunia ikut serta memberikan
pendapat: bahwa 80 persen total subsidi BBM 2011 senilai Rp 126,59 triliun
dinikmati oleh 50 persen orang kaya Indonesia. Sementara itu, persentase orang
miskin dan sangat miskin mendapat bagian subsidi 16 persen dan 1 persen saja.
Namun, data lain meragukan kalkulasi Bank Dunia karena BBM bersubsidi Indonesia
sebetulnya dinikmati pengendara sepeda motor 40 persen, sisanya jenis kendaraan
bukan roda dua.
Akan tetapi, sekarang berkembang isu berbeda.
Kelompok sejahtera ditunjukkan dengan memiliki mobil ukuran mesin di atas 2.000
cc, usia kendaraan di bawah 10 tahun, dan umumnya kendaraan pribadi akan
dilarang membeli BBM bersubsidi.
Persamaan Hak
Sungguh mengagetkan: nasib sedikit beruntung
dengan menjadi kaya ternyata disebut sumber bencana. Dituduh jadi biang jebolnya
APBN tentu tak mengenakkan, siapa pun orangnya.
Menjadi kaya tentu saja bukan gratis.
Sebagian di antara mereka melalui perjuangan siang-malam. Jika demikian, tentu
saja sangat pantas jika mereka jadi kaya.
Lain halnya jika kekayaan itu diperoleh dari
hasil korupsi atau menilap rekening bank. Kelompok ini tak hanya haram hukumnya
menikmati subsidi, untuk hidup pun seharusnya tidak diperbolehkan. Namun,
adakah orang kaya Indonesia karena hasil korupsi? Ternyata tidak ada! Sistem
pengadilan Indonesia tak mampu membuktikannya. Jadi, korupsi itu hanya rumor
karena tak pernah ada statement hukum yang menyatakan hal ini.
Jika demikian, baik orang miskin maupun yang
kebetulan kaya seharusnya memiliki hak sama di republik ini. Mereka sama-sama
rakyat, sama-sama yang harus dilindungi negara hak dan kewajibannya. Mereka
bukan warga negara kelas dua atau warga negara yang harus dikebiri hak-haknya
hanya karena menjadi kaya.
Bahkan, negara seharusnya berterima kasih
kepada kalangan kaya karena mereka turut serta membantu meringankan beban
negara. Orang kaya juga bisa menjadi simbol negara bahwa pemerintah yang
berkuasa ternyata berfungsi. Mereka bisa dijual jadi komoditas politik ke dalam
dan luar negeri, alat propaganda, serta pencitraan yang efektif.
Kelompok ini bukan tidak mungkin juga
berperan penting dalam memutar roda ekonomi. Ratusan, bahkan ribuan, orang
miskin setiap hari bergantung hidup kepada mereka. Dapur orang miskin tetap
mengepul karena ada pekerjaan yang disediakan mereka. Tidakkah peran orang kaya
tidak kalah penting?
Statistik Sesat
Ketakutan pemerintah soal ”salah sasaran”
subsidi BBM ini sebetulnya berlebihan dan tidak berdasar. Alat statistik formal
pemerintah, yakni Badan Pusat Statistik (BPS), berulang-ulang merilis jumlah
penduduk miskin berkurang tahun demi tahun.
Menurut BPS, hanya 30,02 juta rakyat miskin
pada tahun lalu. Data ini berulang kali disiarkan dengan bangga oleh pemerintah
karena sebelumnya jumlah angka kemiskinan 31,02 juta jiwa pada 2010. Dengan
bangga BPS menyebut angka kemiskinan turun 14,2 persen pada 2009, turun lagi
13,3 persen pada 2010, dan tetap turun 3,22 persen kendati kecil pada 2011.
Jika penduduk miskin ”hanya” 12,49 persen, artinya 87,51 persen rakyat
Indonesia di kelompok sejahtera dan kaya!
Jika keyakinan pemerintah sangat tinggi
dengan angka statistik BPS itu, treatment pemerintah seharusnya sangat mudah.
Menurut standar Bank Dunia, garis kemiskinan internasional berpenghasilan 2
dollar AS per hari. Agar mereka tidak disebut miskin, berikan 30,02 juta orang itu
2 dollar AS per hari.
Dengan jumlah penduduk miskin ”hanya” 30,02
juta, pemerintah cukup butuh Rp 194,5 triliun per tahun. Agar hemat, dana 2
dollar AS per hari itu untuk setiap satu keluarga. Jika rata-rata satu keluarga
terdiri atas tiga orang, pemerintah ”hanya” perlu mencadangkan Rp 64,8 triliun
per tahun.
Anggaran subsidi BBM dalam APBN-P 2012 bahkan
lebih besar karena akan mencapai Rp 137,4 triliun dari total subsidi energi Rp
225,4 triliun. Dari hitungan sederhana ini, sebaiknya subsidi BBM dicabut saja
semuanya, tetapi seluruh penduduk miskin ditanggung negara. Toh, hanya perlu Rp
64,8 triliun, APBN masih surplus Rp 72,6 triliun.
Ini tentu saja jika pemerintah yakin data dan
perhitungan BPS valid. Jika pemerintah pun meragukan sendiri jumlah penduduk
miskin itu, artinya pemerintah tak akan berani mencabut subsidi itu meski
mencapai lebih dari pagu Rp 137,4 triliun.
Bukti ada di depan mata, tetapi subsidi itu
tetap ada. Ini berarti angka BPS tak diyakini keakuratannya oleh pemerintah.
Gonjang-ganjing perhitungan siapa yang berhak mendapatkan kompensasi BLSM pun
juga tidak jelas sama sekali.
Dalam hal ini dituntut kebijaksanaan
pemerintah bahwa untuk mengegolkan ide tertentu sebaiknya tidak dengan
cara-cara menyudutkan kelompok tertentu. Orang kaya, bukan kaya, miskin, dan
apa pun bentuk warga negara memiliki hak yang sama. Mereka berhak menikmati apa
pun kebijakan karena kebijakan berlaku umum.
Alternatif
Kecurigaan salah sasaran konsumsi BBM
bersubsidi ini disebabkan infrastruktur pemerintah sendiri yang tidak siap.
Jika memang BBM bersubsidi hendak ditujukan untuk memfasilitasi khusus
transportasi publik yang kini amburadul itu, bangunlah SPBU di dalam
terminalnya sekalian. Mobil orang kaya akan segan masuk ke areal itu.
Cara ini juga berhasil ketika BBM ditujukan
ke kalangan nelayan. Rata-rata SPBU dibangun di area pelabuhan-pelabuhan
rakyat. Jika pun terjadi kebocoran, masih dalam kewajaran.
Sekarang tak perlu berpolemik dan ribut:
perbaiki fasilitas transportasi publik agar mereka kembali hidup. Berilah
subsidi maksimal kepada mereka, bangunlah SPBU di dalamnya. Senyampang
mengurangi subsidi, dengan menghidupkan transportasi publik yang baik, murah,
dan aman, juga akan mengurai kemacetan jalan yang sangat parah ini.
Harapan rakyat, masalah BBM ini tidak menjadi
simalakama: ditentang naik terus barangnya tidak ada di pasaran, akhirnya harga
melejit malah melebihi rencana kenaikan. Ini sudah terjadi di banyak daerah
Indonesia. Semoga ini bukan politik mutung pemerintah model baru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar